c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

NASIONAL

18 Februari 2022

14:40 WIB

Belanda Minta Maaf Ke Indonesia Atas Kekerasan Perang 1945-49

Belanda minta maaf dan mengakui melakukan kekerasan secara sistematik, melampaui batas, dan tidak etis, dalam mengambil kendali Indonesia, bekas jajahannya, pasca-Perang Dunia II

Belanda Minta Maaf Ke Indonesia Atas Kekerasan Perang 1945-49
Belanda Minta Maaf Ke Indonesia Atas Kekerasan Perang 1945-49
Warga mengamati relief tragedi Rawagede 1947 di Monumen Perjuangan Rawagede, Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat, Kamis (9/12/2021). Antara Foto/M Ibnu Chazar

AMSTERDAM – Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Kamis (17/2) waktu setempat, meminta maaf kepada Indonesia atas penggunaan kekerasan oleh militer Belanda selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949. 

Permintaan maaf itu disampaikan Rutte pada konferensi pers di Brussel, ibu kota Belgia.
 
Seperti dikutip dari Reuters, Jumat (18/2), Rute mengatakan pemerintahnya mengakui seluruh temuan yang dihasilkan sebuah tinjauan sejarah yang sangat penting. 

Menurut studi tersebut, Belanda melakukan kekerasan secara sistematik, melampaui batas, dan tidak etis, dalam upayanya mengambil kembali kendali atas Indonesia, bekas jajahannya, pasca-Perang Dunia II.

Baca juga: Mistik Noni Belanda Berkaki Kuda Di Benteng Vredeburg

Studi sendiri didanai oleh pemerintah Belanda pada 2017 dan dilakukan oleh sebuah panel beranggotakan akademisi dan ahli dari kedua negara. Berbagai temuan dalam tinjauan itu dipresentasikan pada konferensi pers, Kamis, setelah sejumlah temuan penting bocor pada, Rabu (16/2) malam.
 
Untuk diketahui, studi tersebut menyatakan Belanda telah menggunakan kekerasan berlebihan dalam perang untuk merebut kembali kekuasaan atas bekas jajahannya pada periode itu. Hal terungkap lebih dari 70 tahun kemudian.
 
Laporan tersebut menyebutkan pula, tentara Indonesia juga menggunakan kekerasan yang "intens" ketika mengobarkan perang gerilya dan awalnya membidik kelompok minoritas Indo-Belanda dan Maluku. 

Namun, pemerintah Belanda belum pernah melakukan pemeriksaan menyeluruh atau mengakui tanggung jawabnya.
 
Sekedar mengingatkan, pada 2013, duta besar Belanda untuk Indonesia merilis permintaan maaf atas tindakan-tindakan eksekusi. 

Kemudian, selama kunjungannya pada 2020, Raja Willem Alexander mengungkapkan permintaan maaf yang mengejutkan atas "kekerasan berlebihan" selama perang.

Baca juga: Benteng Martello, Bukti Pertahanan Belanda Di Pesisir Jakarta

Kompensasi
Pada Oktober 2020, pemerintah Belanda mengatakan, mereka akan menawarkan kompensasi senilai 5.000 euro (sekitar Rp81,4 juta) kepada warga negara Indonesia yang orang tuanya dieksekusi selama perang. Pada 2013, kompensasi telah diberikan kepada sejumlah janda.
 
Kedua negara kini menikmati hubungan ekonomi yang kuat, namun perang tersebut masih menjadi topik yang sensitif di kalangan korban dan veteran. Pada 1969, pemerintah Belanda mengatakan, pasukannya telah bertindak secara benar selama perang.
 
Namun kenyataannya, angkatan bersenjata Belanda menggunakan kekerasan ekstrem secara sering dan terstruktur dalam bentuk eksekusi tanpa proses hukum. 

Termasuk, “perlakuan buruk dan penyiksaan, penahanan dalam kondisi tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian dan penghancuran properti dan pasokan pangan, serangan udara yang tidak proporsional dan penembakan artileri, serta penangkapan dan penahanan massal secara acak” bunyi laporan itu.

Baca juga: Lima Museum di Jakarta Yang Cocok Untuk Anak-Anak
 
Disebutkan pula, tindakan militer diambil berdasarkan konsultasi dengan pemerintah Belanda, dengan dukungan masyarakat dan media (Belanda) yang tidak kritis. Kesemuanya ini tak lepas dari akar "mentalitas kolonial".
 
"Jelas bahwa di setiap jenjang, Belanda tanpa ragu menerapkan standar berbeda pada… 'subjek-subjek' kolonial," kata ringkasan laporan tersebut. 

Presiden Jokowi menerima kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti di Istana Negara, Jakarta, (10/3/2020). Dok. Antara Foto


Revolusi Kemerdekaan
Sekadar informasi, Pameran Revolusi Kemerdekaan Indonesia dibuka di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda, pada Kamis (10/2) dan berlangsung dari 11 Februari hingga 5 Juni 2022.

Menurut keterangan tertulis dari KBRI Den Haag, pameran dibuka secara resmi oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dan Menteri Muda Kebudayaan dan Media Belanda Gunay Uslu.
 
Pameran yang difokuskan pada peristiwa revolusi kemerdekaan Indonesia selama periode 1945-1949 itu, menampilkan rekaman peristiwa bersejarah. 

Dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, hingga kembalinya Presiden Soekarno ke Indonesia pada 28 Desember 1949 setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia.
 
Rekaman sejarah tersebut ditampilkan melalui lebih dari 200 koleksi seni dan benda bersejarah yang mewakili pandangan 20 pelaku dan saksi sejarah. Mulai dari pejuang, seniman, diplomat, politisi, hingga jurnalis. 

Dalam sambutannya lewat video, Nadiem mengatakan, pengalaman pelaku sejarah perlu didengar dan dipelajari kembali.
 
"Terdapat pernyataan di mana mereka yang tidak bisa belajar dari sejarahnya akan mengulangi kembali kesalahannya. Pameran Revolusi ini dapat digunakan sebagai medium untuk mempelajari kembali sejarah," kata Nadiem.

Gunay Uslu mengatakan dirinya melihat, Belanda dan Indonesia memiliki sejarah bersama yang berdampak bagi masyarakat kedua negara.

"Pameran Revolusi ini diharapkan dapat membuka mata dan hati serta mendekatkan masyarakat kedua negara," kata dia.
 
Sementara itu, Duta Besar RI untuk Belanda Mayerfas berpandangan, pameran ini dapat membuka perspektif masyarakat kedua negara dalam melihat suatu periode sejarah.
 
"Pameran Revolusi dapat memberikan perspektif yang lebih luas dalam melihat sejarah, termasuk dari sudut pandang pelaku sejarah yang terlibat, benda seni dan benda bersejarah dari masa tersebut,” ucap Mayerfas.

Baca juga: Silat Betawi, Bertahan Dengan Filosofi

Koleksi Seni
Menurut Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits, pameran dapat terlaksana atas kerja keras dari kurator yang berasal dari Belanda dan Indonesia. 

"Seluruh koleksi dalam pameran dikurasi oleh empat kurator, yaitu Harm Stevens dan Marion Anker dari Rijksmuseum Belanda, serta Direktur Museum Universitas Pelita Harapan Amir Sidharta dan sejarawan Bonnie Triyana," ujar Dibbits.

Koleksi seni dan benda bersejarah yang dipamerkan, selain berasal dari berbagai museum dan institusi di Belanda, juga dipinjamkan dari sejumlah museum di Indonesia. Seperti Museum Affandi Yogyakarta, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Art Council, Museum Seni Rupa Jakarta, Museum Komunikasi dan Informatika Jakarta, dan Museum Universitas Pelita Harapan Tangerang.

Sejumlah koleksi yang ditampilkan di antaranya adalah kamera yang merekam Rapat Akbar di Lapangan Ikada, dokumen dinas intelijen Belanda di masa kolonial, dan album foto pribadi wartawan senior Rosihan Anwar.

Ada juga lukisan/sketsa Perundingan Linggarjati yang dibuat Henk Ngantung, lukisan karya Sudarso tentang potret Tanja Dezentje, warga Belanda yang menjadi WNI dan turut berjuang sebagai wakil Indonesia dalam diplomasi kemerdekaan RI.

Pameran juga menampilkan instalasi seni dari Timoteus Anggawan Kusno, seniman asal Yogyakarta. Instalasi tersebut menggambarkan perjuangan Indonesia di masa kolonial sebelum revolusi kemerdekaan dengan menampilkan obyek yang berasal dari masa kolonial, termasuk pigura lukisan potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Di samping itu, sebagai bagian dari pameran, telah diterbitkan buku berjudul "Revolusi! Indonesia Independent" yang berisi tulisan kontribusi dari para kurator.

 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar