16 Agustus 2023
18:53 WIB
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, Konstitusi belum mengatur perihal presiden yang akan menjabat jika pemilihan umum (pemilu) terpaksa ditunda. Sebab, jabatan Presiden dibatasi lima tahun.
Ia menjelaskan, bila terjadi sesuatu di luar dugaan yang membuat pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, seperti terjadi bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya atau tidak tepat pada waktunya, maka merujuk Konstitusi yang ada, tidak ada presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu.
Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan Bamsoet, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut dan lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilu.
“Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilu tertunda, sedangkan masa jabatan presiden, wakil presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?” ujarnya, dalam pidatonya dalam acara Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023, di gedung MPR/DPR/DPD RI, Rabu (16/8).
Masalah-masalah seperti itu, diungkapkan Bamsoet, belum ada jalan keluar konstitusionalnya setelah perubahan UUD 1945. Jadi, hal ini perlu perhatikan sungguh-sungguh semua pihak.
Sementara itu, pelaksanaan pemilu lima tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E UUD 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
“Sebagaimana kita ketahui, pemilihan umum terkait dengan masa jabatan anggota-anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden. Masa jabatan seluruh menteri anggota kabinet, juga akan mengikuti masa jabatan presiden dan wakil presiden yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar hanya selama lima tahun,” katanya.
Pada masa sebelum perubahan UUD 1945, disinggung Bamsoet, MPR masih dapat menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam Konstitusi.
“Apakah setelah perubahan Undang-Undang Dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara,” kata dia.
Ia menambahkan, sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.
“Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara, sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu,” pungkasnya.