17 Juli 2025
20:06 WIB
ART Curhat Ke DPR Pernah Alami Pelecehan Hingga Kerja Tanpa Libur
Pekerja rumah tangga atau PRT kesulitan mendapatkan kontrak kerja, dan mereka kebanyakan akan dipecat ketika coba memintanya ke pemberi kerja
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Nofanolo Zagoto
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT menggelar aksi teaterikal di depan g edung DPR, Jakarta, Rabu (1/2/2023). Antara Foto/Galih Pradipta
JAKARTA - Pekerja rumah tangga (PRT) bersama Partai Buruh mendesak Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera disahkan. Para PRT mengaku kerap mengalami pelecehan dan diskriminasi saat melakukan pekerjaan rumah tangga.
Salah seorang perwakilan PRT, Yuni Sri Rahayu, menyampaikan telah mengalami berbagai bentuk kekerasan sebagai PRT. Mulai dari kekerasan psikologis, ekonomi sampai pelecehan seksual.
"Tapi saya harus bertahan di dalam 15 tahun ini bekerja, karena pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan pilihan saya, dan sudah jadi pekerjaan prioritas saya untuk rumah tangga saya, ekonomi keluarga saya," kata Yuni di Ruang Baleg DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (17/7).
Ia bercerita pernah mengalami pelecehan seksual, hingga pemotongan upah lantaran telat bekerja selama 5 menit. Yuni sempat ketakutan untuk menceritakan peristiwa pelecehan seksual itu kepada keluarganya.
Karena kondisi ekonomi keluarga, Yuni memilih melanjutkan pekerjaan tersebut. Karena saat itu, upah yang ia dapat sangat membantu untuk pertumbuhan ekonomi keluarga yang masih minim, khususnya untuk kebutuhan sekolah anak.
"Sampai suami pun sebenarnya nggak tahu, karena apa ketakutan saya saat saya berbicara adanya pelecehan dan seksual di tempat kerja, saya tidak akan bisa untuk bekerja lagi. Saya berharap tidak ada lagi eksploitasi seperti itu," jelas dia.
Yuni pun berharap RUU PPRT dapat segera disahkan, sebab negara memiliki kewajiban untuk melindungi pekerja domestik sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 ayat 2.
Selain itu, Yuni ingin PRT diakui sebagai pekerja informal, yang ditandai dengan adanya kontrak kerja antara PRT dan pemberi kerja. Pasalnya, kebanyakan PRT kesulitan mendapatkan kontrak kerja.
"Banyak kawan-kawan meminta kontrak kerja, tetapi malah di-PHK, dan dalam bentuk PHK ini berhenti mendadak sepihak. Jadi banyak kendala setelah kita di-PHK, banyak para PRT ini mayoritas adalah perempuan tulang punggung keluarga," beber dia.
Dalam kesempatan yang sama, seorang PRT lainnya, Ajeng Astuti, mengaku telah menjadi PRT lebih dari 30 tahun, dam pernah bekerja tanpa libur dalam satu bulan. Izin libur yang diberikan hanya beberapa jam istirahat dari pagi hingga sore.
"Dan saya manut pada saat itu. Ya karena saya pikir ya harus kerja, saya harus membantu perekonomian keluarga saya begitu," papar Ajeng.
Tapi, lama kelamaan tidak ada perubahan, dan bahkan Ajeng tidak mendapatkan jaminan sosial. Menurutnya, PRT berhak mendapat jaminan sosial untuk perlindungan saat sakit karena berisiko kehilangan pekerjaan.
"Dan di kalender kami, PRT tidak ada tanggal merah, hitam semuanya, tidak ada hari libur. Dan kami juga harus siap sedia 24 jam," tuturnya.
Usulan Klasifikasi PRT
Sementara itu, Wakil Presiden Partai Buruh Jumisih mengusulkan adanya aturan terkait klasifikasi pekerja rumah tangga (PRT) dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Ia menjelaskan, lingkup-lingkup jenis pekerjaan yang nantinya bisa dituangkan di dalam UU PPRT, di antaranya adalah pekerjaan-pekerjaan domestik, meliputi memasak, mencuci, dan menyeterika pakaian, membersihkan rumah membersihkan halaman, merawat anak, kemudian menjaga orang sakit atau orang berkebutuhan khusus, mengemudi, menjaga rumah dan atau mengurus binatang peliharaan.
Namun, menurut Jumisih jenis-jenis pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh satu orang PRT, maka harus ada beberapa PRT dalam satu rumah untuk mengerjakannya.
"Jadi poinnya adalah klasifikasi jenis pekerjaan ini nanti bisa dituangkan di dalam perjanjian kerja secara tertulis di antara PRT dan pemberi kerja," sambungnya.
Selain itu, Jumisih mengusulkan adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan PRT. Menurutnya, hal itu perlu untuk memberi perlindungan kepada PRT maupun pemberi kerja.
Jumisih juga mengusulkan adanya jaminan sosial bagi pekerja rumah tangga yang dapat diakomodir dalam RUU PPRT. Dia menilai pekerja rumah tangga berhak mendapatkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Terkait jaminan sosial itu dibutuhkan bagi pekerja rumah tangga, apabila pekerja rumah tangga mengalami sakit, kecelakaan supaya terdaftar juga di dalam BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan," tandas Jumisih.