10 Mei 2025
14:21 WIB
Amnesty Nilai Meme Prabowo-Jokowi Ciuman Bukan Tindak Pidana
Amnesty International Indonesia menilai respons Polri atas adanya meme Prabowo-Jokowi ciuman merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Nofanolo Zagoto
Arsip foto - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. ANTARA/Darwin Fatir.
JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai meme Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Prabowo Subianto berciuman tidak termasuk tindak pidana. Menurutnya, meme tersebut merupakan kebebasan berekspresi di ruang digital.
Seorang mahasiswi seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) ditangkap Bareskrim Polri usai jadi tersangka buntut dugaan membuat dan mengunggah meme Prabowo dan Jokowi 'berciuman'.
"Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan. Ekspresi damai seberapa pun ofensif, baik melalui seni, termasuk satire dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana," kata Usman dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/6) di Jakarta.
Ia berpendapat, respons Polri atas adanya meme tersebut merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital. Selain itu, penangkapan ini juga bertentangan dengan putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.
Menurut Usman, dugaan pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut mencerminkan sikap otoriter aparat. Padahal, kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945.
"Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan," tegas Usman.
Usman menambahkan lembaga negara termasuk Presiden bukan suatu entitas yang mesti dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia.
Kiminalisasi di ruang ekspresi ini, lanjut dia, justru akan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dan merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik.
Ia menekankan, negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman. Penyalahgunaan UU ITE ini merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik.
"Polri harus segera membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan MK," imbuh Usman.
Usman berpendapat kriminalisasi lewat UU ITE tidak hanya menghukum korban, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis terhadap keluarga mereka.
"Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil," sambung Usman.
Direktur Komunikasi dan Humas ITB, Nurlaela Arief menyatakan pihak kampus telah berkoordinasi secara intensif dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait penangkapan mahasiswinya.
Nurlaela juga mengungkapkan bahwa orang tua dari mahasiswi inisial SSS tersebut sudah datang ke kampus dan meminta maaf.
"Kami juga telah berkoordinasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM), pihak kampus tetap memberikan pendampingan bagi mahasiswi," kata Nurlaela, Jumat (9/5).