c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

NASIONAL

06 November 2025

18:56 WIB

Alarm Alam Berwujud Hujan Mikroplastik

Cemaran mikroplastik bertambah dari masa ke masa. Warga Jakarta disinyalir 'mengonsumsi' mikroplastik setara satu kartu ATM saban bulan.

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Alarm Alam Berwujud Hujan Mikroplastik</p>
<p id="isPasted">Alarm Alam Berwujud Hujan Mikroplastik</p>

Ilustrasi warga Jakarta berjalan dengan menggunakan payung saat hujan. Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA – Perubahan iklim jelas sudah kita rasakan. Bulan-bulan yang biasanya panas, kini justru mengalami hari-hari basah karena hujan. Begitu pula sebaliknya, pada bulan-bulan yang biasanya dikenal sebagai musim penghujan, justru kita mengalami hari-hari nan panas.   

Belakangan, hujan sudah turun di berbagai sudut Jakarta dan sekitarnya, setelah beberapa lama diterpa panas menyengat. Warga yang berada di wilayah langganan banjir, juga sudah bersiap diri. Implikasi hujan adalah hal biasa yang dimitigasi dan diantisipasi.

Namun, tak demikian dengan apa yang datang bersama hujan belakangan ini berdasar temuan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Hasil penelitian BRIN pada Oktober lalu membuat pemerintah dan warganya sama-sama terperangah. Air hujan di Jakarta ternyata terkontaminasi mikroplastik.

BRIN memaparkan, air hujan di Jakarta telah terkontaminasi mikroplastik 3-40 partikel, atau rata-rata sekitar 15 partikel per meter persegi (m2) setiap hari. 

Sebagai informasi, mikroplastik merupakan potongan plastik berukuran sangat kecil, kurang dari lima milimeter. Partikel ini bisa berasal dari limbah plastik yang terurai secara alami atau diproduksi dalam ukuran kecil, seperti butiran scrub dalam produk kecantikan. Meski ukurannya nyaris tak terlihat, mikroplastik telah menjadi sorotan global karena bahayanya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.

"Bayangkan kalau ada rumah seluas 1.000 meter persegi, bisa jadi 15.000 partikel jatuh ke dalam rumah itu," ujar Peneliti BRIN, Muhamad Reza Cordova kepada Validnews, di Jakarta, Senin (3/11)  

Temuan BRIN menunjukkan, mikroplastik sudah menjadi bagian dari siklus lingkungan. Plastik yang hancur di darat atau laut bisa terangkat angin, terbawa ke atmosfer, lalu turun kembali bersama hujan.

Mikroplastik yang mencemari air hujan tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat.

Mikroplastik mungkin kecil, namun dampaknya terhadap lingkungan tidak bisa dianggap remeh. Melansir dari National Ocean Service, berdasarkan temuan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), mikroplastik pertama kali dikenali sekitar lima dekade lalu, ketika industri mulai menggunakan partikel plastik dalam produk perawatan pribadi, menggantikan bahan-bahan alami yang sebelumnya digunakan. Ternyata, sampah plastik sebagian besar tidak menghilang, melainkan terurai menjadi partikel sangat kecil atau mikroplastik dan jumlahnya terus bertambah.

Ancaman mikroplastik dalam kandungan air hujan dapat juga disebabkan pencemaran di laut. Sampah plastik di laut dapat terurai oleh sinar matahari dan ombak, membentuk partikel mikroskopis yang mengancam biota laut. Bahkan, mikroplastik bisa masuk ke rantai makanan ketika plankton, kerang, atau ikan tanpa sadar mengonsumsinya, hingga akhirnya sampai ke tubuh manusia.

Lantas, seberapa banyak warga kita sudah terpapar mikroplastik? Jawabannya, memang miris. 

Mengutip studi yang dipublikasikan di Environmental Science & Technology, Indonesia termasuk negara dengan konsumsi mikroplastik tertinggi di dunia. Warga Indonesia diperkirakan menelan sekitar 15 gram mikroplastik setiap bulan, setara dengan satu kartu ATM. Temuan ini sejalan dengan laporan WHO yang menyebutkan bahwa mikroplastik kini ditemukan dalam makanan laut, air minum, bahkan udara yang kita hirup.

Bayangkan jika masing-masing kita ternyata mengonsumsi plastik seukuran kartu ATM saban bulannya! Bahaya, bukan?

Sebaran Meluas
Menurut Reza, dampak dari kandungan mikroplastik di air hujan terhadap tubuh, antara lain timbulnya iritasi dan flu. Di samping itu, mikroplastik yang menempel di tubuh bisa berbahaya karena membawa segala macam polutan. 

"Bisa keluar dan tertahan kalau mikroplastik, tapi polutan lain akan lebih cepat masuk dalam tubuh itu sebenernya yang lebih bahaya. Bisa peradangan dan sebagainya. Bisa masuk ke aliran darah dan ke jantung karena partikelnya sangat kecil," beber dia.

Reza menjelaskan, potensi meluasnya kontaminasi mikroplastik di daerah begitu besar. Pasalnya, mikroplastik di udara mudah terbawa angin dan awan, hingga turun bersama hujan. Secara ilmiah, kata Reza, pola mikroplastik udara mungkin terjadi juga di kawasan megapolitan Jabodetabek dan kota besar lain dengan aktivitas padat.

Berdasarkan data dari BMKG, mikroplastik di udara ini bisa terbang hingga 15 km dari permukaan bumi dan tersebar hingga ratusan kilometer dari titik sumber.

Reza menuturkan lagi, kota yang berpotensi terkena kontaminasi mikroplastik di air hujan adalah kota dengan kepadatan penduduk tinggi dengan lalu lintas padat, yang warganya banyak menggunakan plastik sekali pakai besar, dan masih ada pembakaran sampah terbuka. 

Risiko ini akan lebih berpotensi jika ditambah Pemda tidak punya kapasitas optimal untuk mengelola sampah. Contoh tipikalnya adalah koridor kota pesisir berindustri; kota dengan banyak Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) terbuka di sekitar permukiman; serta wilayah yang sering mengalami kemacetan dan proyek konstruksi besar. 

BRIN menyimpulkan, semakin banyak TPA open dumping atau sistem pembakaran terbuka, semakin banyak pula mikroplastik yang dihasilkan. Terlebih, jika sampah-sampah yang dibakar tersebut terkena sinar UV yang mampu melepaskan mikroplastik lebih banyak. 

"Kota-kota tersebut akan lebih berisiko memiliki kontaminasi mikroplastik yang tinggi," urai Reza.

Wilayah Jabodetabek dan sekitarnya berpotensi menjadi sumber mikroplastik. Pasalnya, ada banyak penggunaan bahan polyester, nylon, dan sintetis pada pakaian. Kemudian, meningkatnya praktik sekali pakai pada plastik. 

Kebiasaan buruk di masyarakat itu diperparah dengan belum mampunya pemerintah daerah mengelola sampah. Penanganan sampah di wilayah-wilayah di sekitar Jakarta, Banten, sampai Purwakarta masih di bawah 50%.

"Karena pengelolaan sampahnya belum benar, makanya dilakukan pembakaran secara terbuka oleh masyarakat. Jika dilakukan masif, mikroplastsik itu akan terbang ke udara dan bisa menjadi tempat polutan lain yang ada di udara," papar dia.

Lalu, bagaimana memitigasinya? 

Soal ini, Reza menyarankan agar fokus mitigasi dilakukan dengan menekan pelepasan partikel dari sumbernya. Hal ini bisa dilakukan mulai dari menghentikan pembakaran sampah terbuka; mengurangi plastik sekali pakai; serta perbanyak pemilahan dan daur ulang. 

"Ini perlu tindakan dari pemda juga agar pengangkutan sampah tidak tercecer dan terurai. Lebih optimal jika ditambah industri bertanggung jawab terhadap produk yang dijualnya," sambung Reza.

Untuk pelindungan pribadi, warga diimbau menggunakan masker saat kualitas udara buruk atau ada pembakaran sampah di sekitar. Selain itu, jaga kebersihan rumah dari debu dan pastikan air minum diolah dengan baik. Plus, konsumsi makan serat, seperti sayur dan buah, yang cukup.

"Ditambah olahraga rutin. Ini bisa membuat polutan, termasuk mikroplastik, lebih cepat keluar dari tubuh," kata Profesor Riset BRIN termuda ini.

Jika berkaca pada negara lain di Eropa dan Asia, Reza menyebut negara-negara maju pun tidak menghilangkan fenomena ini. Langkah yang mereka lakukan untuk menurunkannya adalah lewat manajemen sampah yang lebih baik. 

Negara-negara maju lebih mengutamakan menahan sampah dari sumbernya sebelum jadi mikroplastik. Kota-kota di negara yang satu tingkat dengan Indonesia juga menegakkan larangan pembakaran sampah terbuka, ditambah dengan sistem daur ulang yang optimal dan mengendalikan emisi industri yang berpotensi menghasilkan mikropalstik. 

"Prinsipnya ini tentu bisa ditiru dan diterapkan di Indonesia jika penataan sampah, penegakan aturan, dan edukasi publik berjalan bersamaan," tegas Reza.

Ancaman di Daerah
Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON) bersama Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) pada Mei–Juli 2025 juga melakukan penelitian kontaminasi mikroplastik di udara ambien di 18 kota/kabupaten di Indonesia. 

Hasilnya, terdapat lima kota dengan kontaminasi tertinggi, antara lain Jakarta Pusat (37 partikel/2jam/9 cm); Jakarta Selatan (30); Bandung (16); Semarang (13); dan Kupang (13). Disusul, Denpasar, Jambi, Surabaya, Palembang, Pontianak, Aceh Utara, Sumbawa, Palu, Sidoarjo, Gianyar, Solo, Bulukumba, dan Malang. 

"Tingginya mikroplastik di udara Jakarta berdampak pada tingginya kadar mikroplastik dalam air hujan, karena air hujan menyerap material di atmosfer udara sehingga mikroplastik yang ada diudara tertangkap air hujan dan larut di dalamnya," jelas Kepala Laboratorium Mikroplastik Ecoton, Rafika Aprilianti dikutip dari laman resmi Ecoton, Rabu (5/11). 

Rafika menyebutkan, ditemukan ada dua jenis mikroplastik yang yang dominan, yaitu serat fiber dan fragmen selain jenis filamen. Rinciannya, jenis fragmen 53,26%; jenis fiber 46,14%; dan jenis filamen 0,6%.

Rafika menjelaskan pula, mikroplastik yang merupakan potongan kecil plastik, berukuran kurang dari lima milimeter (mm). Benda ini juga mudah mengikat zat beracun di sekitarnya, seperti logam berat dan bahan kimia berbahaya lainnya.  

"Karena itu, mikroplastik bisa menjadi hingga 106 kali lebih beracun dibandingkan logam berat tunggal, sebab membawa campuran berbagai polutan sekaligus" ungkap Rafika.

Dia menambahkan, beberapa studi internasional menunjukkan bahwa proses pembakaran plastik dapat menghasilkan partikel mikroplastik dan aerosol sintetis yang bertahan lama di udara dan terbawa angin hingga ratusan kilometer. 

"Ketika partikel-partikel ini bereaksi dengan uap air di atmosfer, mereka dapat turun bersama air hujan dan membentuk fenomena yang kini dikenal sebagai hujan mikroplastik," beber Rafika.

Terhadap ancaman mikroplastik, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Aji Muhawarman menegaskan, cemaran mikroplastik di air hujan tidak berarti air hujan berbahaya langsung bagi kesehatan.

“Fenomena ini perlu diwaspadai, bukan ditakuti. Ini sinyal bahwa partikel plastik sudah tersebar sangat luas di sekitar kita,” papar Aji dikutip dari laman Kemenkes beberapa waktu lalu.

Menurut berbagai penelitian, manusia dapat terpapar mikroplastik lewat dua jalur utama, yakni makanan dan minuman, seperti garam, seafood, dan air minum dalam kemasan. Selain itu, manusia juga dapat terpapar mikroplastik melalui udara karena serat sintetis dari pakaian atau debu perkotaan dapat terhirup. 

Aji mengamini, beberapa studi menunjukkan paparan jangka panjang dalam jumlah besar dapat berpotensi memicu peradangan jaringan tubuh. Bahan kimia, seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates, yang menempel di mikroplastik juga dapat mengganggu sistem hormon, reproduksi, dan perkembangan janin.

Meski begitu, para ahli menegaskan hingga kini belum ada bukti ilmiah kuat bahwa mikroplastik secara langsung menyebabkan penyakit tertentu. Tingkat paparannya pada populasi umum masih rendah dan terus menjadi fokus penelitian.

Upaya Mencegah
Adapun Pengamat Bidang Informasi Kualitas Udara BMKG, Dwi Atmoko mendefinisikan mikroplastik adalah bagian dari aerosol yang berasal dari sumber alami dan non-alami. Contoh aerosol alami, yaitu partikel debu, gunung berapi, dan percikan ombak. Sementara itu, aerosol non-alam, antara lain hasil dari bahan bakar fosil, pembakaran sampah, serta degradasi batuan. 

"Aerosol ada di mana-mana. Ada juga yang berbentuk cair, hairspray, atau parfum. Karena ukurannya sangat kecil, maka terbawa ke mana-mana dengan angin dan pola cuaca," urai Dwi dalam sebuah diskusi bersama DLH Jakarta beberapa waktu lalu.

Aerosol yang mengandung mikroplastik ini, menurut  Dwi, tak hanya bersumber dari Jakarta. Ada kemungkinan terbawa dari tempat lain. Bisa jadi, mikroplastik yang ada di Jakarta bukan berasal dari Jakarta atau sebaliknya, mikroplastik yang ada di Jakarta kemungkinan akan terbawa ke luar Jakarta. 

Jika Indonesia sedang berada dalam musim kering, angin berasal dari Timur atau Tenggara memungkinkan polutan yang berada di wilayah tersebut terbawa ke tempat kita, begitu pula sebaliknya. 

"Aerosol bisa naik ke atas 15 km dan hujan yang turun akan terkontaminasi mikroplastik yang ada di aerosol," beber Dwi.

Sementara itu, untuk pencegahan bertambah banyaknya mikroplastik di Jakarta, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto menyebutkan akan terus menyadaerkan publik tentang bahaya mikroplastik dan segala polutan. Ia menekankan, Pemprov DKI Jakarta akan terus berupaya mengedukasi masyarakat terkait penanganan sampah. Dengan demikian, apapun jenis sampahnya, bisa terkelola dengan baik. Terutama, sampah plastik.

Pada saat yang sama, Asep mengajak masyarakat untuk terus melakukan perubahan secara kolektif dan berupaya mengendalikan pemcemaran ini serta akan segera mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada pengendalian pencemaran udara.

"Kami juga terus mengupayakan pengendalikan pencemaran udara. Salah satunya, melakukan uji emisi bermotor dan pabrik," jelas Asep.

Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol Nurofiq juga mencermati hal ini. Dia meminta pengelola Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jabodetabek segera melakukan capping atau menutup sampah agar tidak mencemari lingkungan sekitar, termasuk menyebarkan mikroplastik.

Dalam peninjauan ke TPA Jatiwaringin, Kabupaten Tangerang baru-baru ini, Hanif menyampaikan apresiasi langkah pemerintah daerah (pemda) setempat yang sudah melakukan capping tumpukan sampah di TPA open dumping, yang menjadi salah satu lokasi terkena sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

"Semua pengelola TPA di Jabodetabek harus segera memenuhi arahan dari Menteri, segera melakukan capping terhadap open dumping-nya," kata Hanif.

Menurutnya, langkah itu diperlukan untuk menekan mikroplastik menyebar ke lingkungan lalu, berakhir masuk ke tubuh manusia dan dapat menyebabkan beragam masalah kesehatan. 

Apalagi, menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), jumlah sampah plastik menempati posisi kedua sebesar 19,52% dari total timbulan sampah nasional 34,9 juta ton yang dilaporkan pada 2024. Capping atau menutup sampah, lanjut Hanif, perlu dilakukan sembari menunggu proses penyelesaian TPA open dumping yang banyak ditemukan di berbagai wilayah.

Adapun tujuan capping, antara lain menghindari air hujan masuk ke sampah tercampur sehingga menghasilkan lindi yang mencemari lingkungan; mencegah sampah berhamburan akibat tertiup angin; serta mengontrol pelepasan gas metana dari tumpukan sampah. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar