c

Selamat

Jumat, 19 April 2024

NASIONAL

04 Oktober 2018

18:20 WIB

Wajah Garang Suporter Negeri Penggila Bola

Kerusuhan suporter sepak bola berujung kematian masif terjadi sejak tahun 1995

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Wajah Garang Suporter Negeri Penggila Bola
Wajah Garang Suporter Negeri Penggila Bola
Suporter Indonesia. (ANTARA/Wahyu Putro A)

JAKARTA - Dunia mengakui fanatisme pecinta sepak bola di Indonesia. Survei Nielsen Sports menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua sebagai negara penggila bola, di mana 77% penduduknya menggemari sepak bola, hanya kalah dari Nigeria (83%) yang berada di posisi puncak.

Dukungan masyarakat Indonesia terhadap olahraga kulit bundar ini bahkan melebihi negara Eropa yang menjadi langganan peserta Piala Dunia, seperti Portugal, Argentina dan Chili yang berada di bawah 75%. Termasuk Brasil yang selama ini menjadi kiblat sepak bola yang hanya memperoleh dukungan 60% penduduk.

Dukungan kian membesar seiring dengan berkembangnya industri sepak bola Tanah Air. Penayangan pertandingan kompetisi liga profesional yang di awal-awal tak ada yang berminat, kini menjadi rebutan. Bahkan penyelenggara liga melakukan tender untuk televisi swasta yang ingin menyiarkan langsung pertandingan selama satu musim.

Tahun 2017, penyelenggara kompetisi liga utama sepak bola Spanyol, La Liga menilai Indonesia merupakan potensi pasar sepak bola yang besar. Koordinator Asia La Liga Global Network, Belen Polvorinos pernah mengatakan, potensi pasar sepak bola di Indonesia merupakan peluang La Liga untuk memperluas jejaring bisnis di Asia. Karena itu, Indonesia dipilih untuk menjadi penghubung aktivitas La Liga di Asia.

Sayang suporter sepak bola Tanah Air terbelah. Solidaritas sesama pendukung klub yang sejatinya melekat sirna. Fanatisme suporter yang salah, seperti menyebarkan kebencian, permusuhan dan saling menghina antarsuporter mempertajam rivalitas.

Tebaran spanduk bernada ancaman pada suporter lainnya, nyanyian rasis dan menyinggung lawan yang dilantunkan di setiap pertandingan juga memperlebar permusuhan. Wajah suporter berubah garang.

Berdasarkan penelusuran Validnews, perseteruan suporter terjadi sebanyak 50 kasus yang mengakibatkan 68 suporter tewas sejak liga profesional bergulir tahun 1994 hingga pertengahan musim 2018. Liga profesional ini merupakan lanjutan dari Galatama, yang merupakan kompetisi sebelumnya.

Suporter tewas paling tinggi disebabkan pengeroyokan dengan 23 kasus yang mengakibatkan 31 nyawa melayang. Mayoritas pengeroyokan terjadi di luar stadion, hanya dua korban tewas yang dikeroyok dalam stadion.

Selain pengeroyokan, bentrokan antarsuporter pun tidak sedikit. Dalam kurun 14 tahun, terjadi 15 kasus dengan 15 orang tewas, dua di antaranya menutup mata masing-masing karena bentrok dengan aparat polisi dan warga.

Di luar pengeroyokan dan bentrok, angka kecelakaan suporter pun sangat tinggi. Setidaknya 20 kasus kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa 22 suporter.

Adalah Suhermansyah, pendukung klub Persebaya yang menjadi korban suporter tewas pertama. Dia tewas akibat terhimpit dan terinjak-injak setelah berlarian menghindari bentrok di Stadion Mandala Krida, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 28 Januari 1995.

Suhermansyah berusaha kabur saat bentrok dengan suporter PSIM. Nahas ia terinjak-injak oleh kerumunan saat ingin melarikan diri. Di era Ketua Umum PSSI Azwar Anas, yang melanjutkan kepemimpinan Kardono itu, suporter tamu dengan tuan rumah masih bisa duduk dalam satu tribune.

Gesekan suporter pun belum setajam lima tahun ke belakang, yang biasanya terjadi karena teriakan suporter. "Gesekan dapat dengan mudah terjadi karena satu tribune, biasanya gara-gara hal sepele,” kata anggota Komisi Eksekutif PSSI Bidang Kompetisi Yunus Nusi kepada Validnews pada Selasa (02/10).

Masuk ke era Agum Gumelar (1999-2003), pola gesekan suporter mulai berubah dan muncul fanatisme klub. Gesekan berlatar belakang fanatisme klub terjadi dua kali dari total lima kasus sepanjang kepimimpinan Agum Gumelar.

Misalnya, kasus pengeroyokan yang dilakukan oleh The Jakmania (suporter Persija.red) atas suporter Semen Padang, Beri Mardias (2002), dan pengeroyokan The Jakmania atas Dimas Aditya (2003). Setidaknya lima nyawa suporter melayang terhitung tahun 2001-2003 akibat kecelakaan dan bentrokan suporter degan warga.

Selanjutnya, di kepemimpinan Nurdin Halid (2003-2011) pengeroyokan dan bentrokan suporter tak kunjung reda. PSSI seolah tak belajar dari pengalaman sebelumnya sehingga gesekan suporter terus terjadi.

Begitu juga saat tongkat estafet PSSI dipegang Djohar Arifin Husin nyawa suporter sepak bola terkesan begitu murah. Wajah suporter terkesan garang yang siap menerkam suporter lawannya. Permusuhan antarsuporter tak pernah selesai. Menonton bola sudah seperti berada di medan pertempuran.

Di era Nurdin dan Djohar kasus bentrokan suporter lebih dari 10 kasus dengan korban jiwa 29 suporter. Bentrokan dan pengeroyokan mendominasi kasus, masing-masing 9 kasus pada kurun waktu 10 tahun tersebut.

Korban tewas tak mampu dihindari. Meski kepengurusan La Nyalla Mattalitti hanya berlangsung satu tahun, terdapat 9 kasus yang juga menghilangkan nyawa 9 korban jiwa.

Begitu juga saat Ketua Umum PSSI dipegang Edy Rahmayadi sejak 10 November 2016-sekarang. Setidaknya tercatat 8 kasus yang menyebabkan kematian. Puncaknya adalah kematian Haringga Sirla suporter Persija Jakarta yang berbuntut penghentian kompetisi selama 2 pekan Liga 1 2018.

Pengamat sepak bola Indonesia Budiarto Shambazy mengatakan, kerusuhan hingga ke kematian suporter klub sepak bola begitu masif sejak tahun 1995.

Hal ini diawali oleh salah satu suporter fanatik di Surabaya hingga suporter lain mengekor sampai sekarang. Padahal sebelum tahun 1990-an, tepatnya di era Galatama belum pernah terjadi bentrokan suporter apalagi hingga mengakibatkan kematian.

Perseteruan suporter itu memang diduga Budiarto berawal dari aksi Bonek (suporter Persebaya) yang mendukung klubnya di laga tandang dengan persiapan seadanya. Bonek sendiri merupakan singkatan dari bahasa Jawa Bondho Nekat yang berarti modal nekat.

Karena bekal yang mereka bawa pas-pasan sehingga perilakunya menjadi bengis saat perutnya lapar. Akhirnya mereka melakukan tindak kejahatan dengan mengambil dagangan orang untuk menutupi kebutuhan perutnya.

"Perjalanan jauh modal nekat akhirnya menjadi beringas," ujar Budiarto Shambazy kepada Validnews.

Hanya saja Budiarto menyatakan, setiap era kepengurusan PSSI tidak ada sangkut-pautnya dengan kematian suporter. Mengingat banyaknya kasus kematian suporter yang belum tuntas seiring bergantinya dalang federasi sepak bola Indonesia ini.

Aparat keamanan, kata Budiarto juga lalai dalam menjalankan tugas pengamanan. Kerusuhan terjadi karena gagalnya antisipasi aparat keamanan dengan berbagai alasan, seperti kekurangan personil maupun karena penonton membludak.

Budiarto juga menyangsikan jika suporter akan legawa melihat rekannya diperlakukan sedemikian rupa, hingga hilang nyawa.

“Saya menduga, kejadian kemarin membuat suporter semakin berkobar-kobar, karena maaf-maaf saja, yang namanya nyawa harus dibalas dengan nyawa. Kira-kira seperti itu,” imbuhnya, penuh keyakinan.

Perubahan Pola
Pola kekerasan suporter sepak bola mulai berubah seiring perkembangan zaman. Memasuki era internet dan media sosial (medsos.red), fanatisme klub yang salah semakin tak karuan dalam menyerang musuhnya.

Perang di dunia maya pun tak terhindarkan. Bahkan mereka bisa saling intip gerakan suporter lawan untuk melakukan serangan balasan. Yunus juga tidak memungkiri jika perkembangan zaman dan teknologi juga menjadi salah satu faktor berubahnya pola kekerasan yang dilakukan para suporter di Indonesia.

Ditambah mayoritas pendukung sepak bola di Tanah Air menjadikan hooligan Inggris sebagai kiblat mereka dalam mendukung klub tercintanya.

"Penyebab utama yang sekarang ya gara-gara medsos satu sama lain saling menghujat. Kalau ketemu di jalan suporter lawan pasti jadi ajang pelampiasan,” ujarnya.

Minimnya pembinaan suporter menjadi salah satu penyebab suporter sepak bola menjadi beringas. Kebencian terus disebarkan dalam bentuk spanduk bertuliskan provokatif yang dibentangkan di pagar pembatas tribune stadion, yel-yel hingga tulisan di kaus yang dikenakan suporter.

Provokasi dan ancaman ini terus disebarkan di setiap pertandingan yang syarat gengsi dan tinggi fanatisme suporter yang disaksikan jutaan penonton. Pemandangan salah ini terus dibiarkan seolah-olah tak melanggar aturan.

PSSI pun seolah tak sanggup bertindak meski telah beberapa kali menegur panitia pelaksana. "Bahkan tak jarang koreografi provokatif itu dianggap sebuah kreasi, padahal itu melanggar," ujar Yunus.

Kekerasan suporter ini terjadi karena tak ada sosialisasi perdamaian yang dilakukan petinggi suporter. Faktor dana menjadi salah satu kendala bagi petinggi suporter untuk memberikan aturan main terhadap anggotanya saat dalam stadion dan di luar stadion.

PSSI sendiri beranggapan persoalan suporter klub itu merupakan wewenang dari klub, kecuali suporter timnas. Jadi kegiatan suporter itu di bawah tanggung jawab klub bukan PSSI. Selama ini, sosialisasi yang dilakukan suporter hanya seadanya saja dan menggunakan anggaran dari kantong pribadi elite suporter.

"Kalau negara serius harus ada anggaranya untuk sosialisasi," ujar Yunus.

Bukan tidak mungkin klub memberikan sosialisasi terhadap suporter setianya dengan catatan penyelenggara kompetisi, PT Liga Indonesia Baru yang mendapatkan mandat dari PSSI untuk memutar kompetisi Liga 1 itu memberikan subsidi tambahan khusus untuk pembinaan suporter.

Suntikan dana tambahan sebesar 2—5% dari besaran subsidi kepada setiap klub itu nantinya bisa dipergunakan klub untuk memberikan edukasi terhadap suporternya. Edukasi itu antara lain terkait perilaku suporter saat menjadi tuan rumah dan jika melakoni laga tandang.

Bukan tidak mungkin, jika pengetahuan ini diberikan kepada seluruh suporter kebencian dan provokasi yang selama ini menjadi pemandangan umum di setiap pertandingan itu suaranya semakin kecil  dan bakal hilang seiring waktu berjalan.

Meski demikian, ide subsidi khusus ini juga bukan tanpa persoalan. Karena bagi klub-klub yang minim suporter hal ini menjadi masalah tambahan, sehingga persoalan ini harus diselesaikan secara bersama, bukan saja PSSI.

Pendidikan Suporter
Menurut Sosiolog dari Universitas Paramadina Eka Wenats, setiap suporter memiliki kesamaan visi dan misi serta memiliki rasa cinta yang melekat sangat erat. Dalam dunia sepak bola, sebuah komunitas pendukung bahkan merasa menjadi bagian dari klub yang mereka dukung.

Para suporter, kata dia, akan mendukung sebuah klub dalam situasi apapun, menang atau kalah. Komunitas ini juga akan membekali diri mereka dengan beragam aksesoris untuk memperlihatkan identitas komunitasnya kepada publik.

Padahal fanatisme sepak bola seperti ini hampir ada pada setiap suporter cabang olahraga lainnya, seperti basket, bola voli, bulu tangkis dan olahraga lainnya.

Secara sosial, dirinya menduga yang membedakan kelompok suporter bola dengan olahraga lainnya karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga tidak pernah berpikir bagaimana menjadi suporter sepak bola yang baik.

Dirinya menjelaskan, jika saat ini diperlukan pendidikan bagi kelompok suporter. Eka mengibaratkan suporter itu seperti sistem sel, bukan tunggal. Ketika dalam kelompok dan kerumunan, ada seorang memicu satu aksi, itu menyebabkan orang lain mengikuti tindakan itu tanpa berpikir matang.

“Ketika ada pemantiknya maka yang lain akan ikut serta. Fanatisme itu semu," tandasnya, kepada Validnews, Rabu (03/10).

Perubahan zaman dan perkembangan teknologi juga tidak dapat dimungkiri menjadi salah satu pemicu kekerasan terhadap suporter. Bagaimana tidak, sekarang siapapun dapat dengan mudah menemukan konten pendukung salah satu kesebelasan sepak bola yang dengan sengaja atau tidak menebarkan kebencian.

Permasalahan rivalitas antar kelompok suporter di Indonesia memang masih menjadi persoalan yang menjadi pekerjaan rumah bagi banyak pihak. Sampai sejauh ini, belum benar-benar ada formula yang jitu untuk bisa mendamaikan mereka.

Berbeda dengan Eka yang menyoroti pendidikan rendah suporter, psikolog Intan Erlita menyebutkan sumber masalah kekerasan terhadap suporter selama ini disebabkan fanatisme berlebih. Dimana suporter dalam mendukung klub idolanya gelap mata. Sehingga sulit untuk  menentukan benar dan salah.

Selain itu, menurutnya ketika usia muda sudah dipupuk kebencian kepada salah satu klub sepak bola maka yang akan terjadi tidak ada yang boleh meremehkan atau mengecilkan klub yang dibanggakan.

Menurut Hapsari & Wibowo dalam Jurnal Psikologi berjudul “Fanatisme dan Agresivitas” menyebutkan secara psikologis seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa yang ada di luar dirinya dan tidak paham terhadap masalah orang atau kelompok lain.

Fanatisme adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau negatif. Fanatisme merupakan sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (Lucky & Setyowati, 2015:184).

Selain itu, kata Intan mayoritas yang menjadi korban dan pelaku tindak kekerasan adalah usia remaja, di mana dari sisi psikologi dalam usia tersebut kebanyakan para remaja ingin mendapatkan pengakuan.

Sebab anak remaja seringkali membutuhkan sarana dan prasarana untuk menyalurkan energinya, baik dalam bentuk positif maupun negatif. Bergabung dalam komunitas suporter lanjut Intan sangat positif.

Para remaja mendapatkan teman baru di dalam suatu komunitas ataupun kelompok. Akan tetapi, sisi negatifnya dapat dengan mudah dipengaruhi dan diprovokasi.

“Usia-usia remaja sangat mudah tersulut emosinya, semakin dipanasin semakin membabi buta” ucapnya.

Ketika sepak bola dijadikan ajang penyaluran energi, potensi konflik dengan lawan menjadi sangat tinggi, karena ada kesamaan keinginan. Adanya kekuatan sebagai anggota kelompok biasanya mendorong seseorang untuk berperilaku sesuai kelompoknya. (Fuad Rizky, Fadli Mubarok, Fajar Setyadi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar