20 November 2020
18:33 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Mulai 1 Maret hingga 3 November, perusahaan pembuat platform media sosial Facebook telah menghapus lebih dari 265.000 konten dari Facebook dan Instagram di Amerika Serikat. Semua konten itu dinilai melanggar kebijakan campur tangan pemilihnya. Mirisnya, di media sosial ini, ada 22,1 juta konten ujaran kebencian pada kuartal ketiga yang sudah di-take down.
Manajemen Facebook juga menyatakan, prevalensi ujaran kebencian tetap signifikan. Dari setiap 10.000 penayangan konten pada kuartal ketiga, terdapat 10 hingga 11 unggahan di antaranya mengandung ujaran kebencian. Dikutip dari The Verge, ada sekitar 0.1% pengguna melihat sebaran konten ujaran kebencian.
"Ini sudah masih dinilai secara internal. Kita ada agenda untuk mengaudit temuan ini," kata Vice Presiden Facebook untuk urusan Integritas dan Keamanan, Guy Rosen yang dikutip pada Jumat (20/11).
Guy Rosen mengatakan bahwa lansiran tersebut, terkait dengan topik pemilihan presiden AS. Rosen menambahkan, Facebook berharap akan ada audit independen atas angka penegakan kontennya pada tahun mendatang.
“Sekitar 95% diantaranya diidentifikasi secara proaktif. Sementara, pada kuartal sebelumnya Facebook telah menindak 22,5 juta konten ujaran kebencian,” kata Guy Rosen.
Sementara itu, platform berbagi foto milik Facebook, Instagram, telah mengambil tindakan terhadap 6,5 juta konten ujaran kebencian, naik dari 3,2 juta di Q2. Sekitar 95% dari konten ujaran kebencian tersebut diidentifikasi secara proaktif. Jumlahnya meningkat 10% dari kuartal sebelumnya.
Facebook mengatakan, telah mengambil tindakan terhadap 19,2 juta konten kekerasan dan grafis di kuartal ketiga, naik dari 15 juta di kuartal kedua. Di platform Instagram, Facebook menindak 4,1 juta konten kekerasan dan grafis, naik dari 3,1 juta pada kuartal kedua.
Pada pertengahan tahun ini, kelompok hak sipil mengorganisasi boikot iklan di Facebook yang meluas. Ini merupakan upaya menekan perusahaan media sosial itu agar bertindak melawan ujaran kebencian.
Pada Oktober, Facebook mengatakan sedang memperbarui kebijakan ujaran kebencian untuk melarang konten apa pun yang menyangkal atau mendistorsi Holocaust, perubahan haluan dari komentar publik yang dibuat oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg tentang apa yang harus diizinkan di platform tersebut.
Blokir Akun
Terkait sebaran hoaks, WhatsApp juga menyatakan telah memblokir lebih dari 2 juta akun penyebar hoaks. Blokir ini dilakukan sejalan dengan fokus pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam memerangi penyebaran misinformasi saat pandemi.
Kominfo mengidentifikasi terdapat tiga jenis infodemi yang beredar di Indonesia, yang pertama berupa disinformasi, yakni informasi sengaja dibuat salah untuk mendestruksi apa yang sudah beredar. Kedua, malinformasi yaitu info faktual, namun dibuat untuk orang tertentu dengan tujuan tertentu dan infodemi berupa misinformasi, yaitu informasi yang diberikan tidak tepat, namun, tidak ada unsur kesengajaan.
Data internal Kominfo menunjukkan sejak 23 Januari hingga 18 Oktober terdapat 2.020 konten hoaks seputar covid-19 beredar di media sosial, sementara yang sudah diturunkan (take down) berjumlah 1.759.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Pangerapan, dikutip dari Antara, mengatakan Kominfo dalam menangani konten yang berpotensi hoaks, selalu melakukan pengujian fakta, verifikasi, informasi yang masuk, ke beberapa pihak. Jika memang informasi tersebut, setelah diverifikasi adalah tidak benar, kementerian akan memberi "stempel" hoaks terhadap konten tersebut.
"Kami perlu melakukan pengendalian, bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat atau kebebasan berpendapat. Tapi, situasi pandemi ini kami perlu meluruskan informasi-informasi yang salah agar tidak meresahkan masyarakat," kata Semuel Pangerapan.
Sementara, Sravanthi Dev selaku Direktur Komunikasi WhatsApp APAC mengatakan WhatsApp telah mengembangkan mesin yang dapat mengidentifikasi sebuah pesan spam. Meski demikian, peran aktif dari pengguna WhatsApp juga sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah disinformasi ini, masih memegang peranan penting.
"Ketika kamu melihat pesan berisi spam atau yang tidak ingin dilihat, kami ingin anda melaporkan pesan itu sebagai spam dan kita akan mengambil tindakan," kata Sravanthi Dev dalam jumpa pers virtual, Kamis.
Ada beberapa tools di aplikasi ini yang bertujuan mengurangi pesan-pesan hoaks dan spam. Whatsap memperkenalkan label ‘diteruskan/forwarded’ (panah tunggal) dan ‘sering diteruskan/highly forwarded’ (panah ganda), untuk mendorong agar pengguna berpikir dua kali sebelum meneruskan lagi pesan tersebut.
"Saat pandemi ini terjadi di bulan April, kami membatasi pesan yang sering diteruskan hanya ke satu chat saja," ujar Sravanthi Dev. (Rikando Somba)