27 April 2021
19:29 WIB
JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim, menginginkan ada sebuah badan independen di perguruan tinggi untuk pelaporan kasus-kasus kekerasan seksual. Badan ini juga dapat berfungsi memberi rekomendasi-rekomendasi penanganannya.
"Kita harus memastikan ada independent body di dalam universitas itu yang tidak secara direct melapor kepada universitas biar ada keseimbangan, ada check and balance," kata Nadiem dalam diskusi daring 'Yang Muda, Yang Berjuang untuk Setara', Selasa (27/4).
Badan independen ini bertujuan agar corong pelaporan kasus dan dukungan bagi korban tidak hanya lewat universitas. Laporan yang diterima akan bisa langsung diteruskan ke Kemendikbud sebagai pihak ketiga yang akan melakukan arbitrase dengan pihak universitas.
Dia tidak ingin kasus kekerasan seksual yang diterima Kemendikbud tidak hanya berasal dari satu corong, misalnya pihak rektorat. Badan itu harus melibatkan mahasiswa sebagai anggota, sehingga terbangun kultur dalam mahasiswa untuk pelaporan kekerasan seksual di kampus.
"Dalam merancang suatu strategi untuk benar-benar mendarahdagingkan konsep moralitas di dalam perguruan tinggi ini, menurut yang kami lihat dari track record program yang sukses, yang terpenting itu partisipasi mahasiswanya sendiri," ujarnya.
Nadiem mengakui selama ini aspek pelaporan kasus kekerasan seksual sudah berjalan meski belum optimal. Namun, yang ingin Kemendikbud sempurnakan adalah tingkat transparansi pelaporan dan tindak lanjut atau eskalasi terhadap kasus tersebut.
"Badan independen ini harus bisa memberikan rekomendasi-rekomendasi yang tentunya bisa naik eskalasi kalau misalnya tidak diterima oleh pihak perguruan tinggi, seharusnya ada tingkat eskalasi," ungkap Nadiem.
Tetapi tindak lanjut yang ditangani oleh badan independen tersebut hanya yang di luar sanksi pidana. Sebab, menurut Nadiem, kasus-kasus kekerasan seksual tertentu kerap sulit untuk dibawa ke kepolisian atau ke ranah pidana karena misalnya masalah pembuktian.
Ketika sanksi pidana tidak memungkinkan, maka pelaku kekerasan seksual bisa diberikan sanksi lain yang wajib dilakukan perguruan tinggi. Dalam pemberian sanksi, Kemendikbud menjadi pihak ketiga yang memediasi antara badan independen itu dan pihak kampus.
"Baik bagi mahasiswa maupun dosen yang berdasarkan arbitrase itu ternyata cukup bukti bahwa dia melakukan, itu harus ada sanksi clear-nya. Tanpa ada gigi, ini program tidak akan jalan. Jadi harus ada berbagai macam penalty, hukuman disipliner, bagi pelaku," tegasnya.
Nadiem menegaskan menghapus masalah kekerasan seksual tidak bisa hanya berhenti pada kampanye-kampanye positif atau pelaporan saja. Namun harus dipastikan ada penindakan atau sanksi terhadap pelaku dan pendampingan bagi korbannya.
Pelaporan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus diyakini dapat dipantau secara real time apabila permendikbud yang mengatur masalah ini sudah terbit. Sistem pelaporan bisa dilakukan secara daring dengan tetap menjaga kerahasiaan korban atau pelapor.
"Jadi jangan sampai yang pelapor itu menjadi korban. Karena kita harus menyadari masih ada stigma dari isu-isu ini di masyarakat. Jadi perlindungan informasi mereka, perlindungan kerahasiaan mereka, itu menjadi suatu yang sangat penting," imbuh Nadiem. (Wandha Nur Hidayat)