c

Selamat

Kamis, 18 April 2024

NASIONAL

28 November 2020

18:00 WIB

Susut Gairah Pemuda Menggarap Sawah

Stigma petani itu kumal, kotor, tidak rapi dan sebagainya, dengan kehidupan yang miris, membuat profesi ini kian ditinggalkan

Editor:

Susut Gairah Pemuda Menggarap Sawah
Susut Gairah Pemuda Menggarap Sawah
Petani memasukan gabah ke karung di persawahan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (23/11/2020). Perum Bulog Kanwil Sulawesi Tenggara mencatat rata-rata membeli beras petani sekitar 200 hingga 300 ton per harinya sedangkan serapan beras Januari sampai Oktober tercatat 17.600 ton dengan target serapan di tahun 2020 sebesar 20 ribu ton. ANTARAFOTO/Jojon

JAKARTA – Kondisi alam dan iklim yang mendukung di Tanah Air semestinya membuat masyarakat bergairah menjadikan sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Sayang, kenyataannya tak demikian. Jumlah petani kini makin menyusut. Banyak anak muda enggan menjadi petani.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan) per April 2020, jumlah petani di Tanah Air sebanyak 33,4 juta orang. Dari jumlah itu, hanya 2,7 juta atau 8% petani berusia muda atau milenial. Data terbaru Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pertanian (BPPSDMP) Kementan mencatat, petani usia 40 tahun ke bawah hanya 29%.

Ketimpangan jumlah petani muda dan tua di Tanah Air diamini oleh Sudargo (45), petani tulen asal Desa Ronggo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Tergolong ke dalam petani tua atau petani berusia 40 tahun ke atas, Sudargo mengakui kesulitan mendorong anak muda untuk menjadi petani. Contohnya tak jauh. Anak kandungnya tak berminat meneruskan upaya keluarga yang sudah turun-menurun.  

Kedua anak Sudargo menilai, bertani bukan merupakan jalan keluar untuk menjadi sukses. Profesi petani tidak dianggap suatu hal yang menguntungkan secara materi.

Berdasarkan pengakuannya, Sudargo memang hanya memiliki penghasilan rata-rata hanya Rp500 ribu per bulan. Jumlah itu hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Untuk membeli rokok di warung, dia harus jadi kuli menggarap lahan milik PT Perusahaan Umum (Perum) Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani). Kebetulan, tempat tinggal Sudargo tak jauh dari lahan yang dikuasai milik perusahaan pelat merah tersebut.

“Benar, anak-anak petani di desa saya sudah tidak begitu tertarik menjadi petani. Anak muda sekarang lebih mencari profesi yang instan untuk mencukupi keuangan rumah tangga,” kata Sudargo kepada Validnews, Kamis (26/11).

Sudargo juga berpandangan, keengganan anak muda menjadi petani terkait dengan ketersediaan lahan yang kian hari kian menyempit. Hamparan lahan pertanian yang dulu terlihat luas, perlahan berubah menjadi rumah-rumah penduduk.

Sudargo sendiri memiliki warisan lahan dari orang tuanya sebesar 1,25 hektare. Tapi itu harus dibagi kepada enam saudaranya. Artinya, Sudargo mendapatkan sekitar 200 meter.

Luas lahan yang tidak seberapa itu suatu saat akan diturunkan kepada anak-anak. Tahu hanya memiliki lahan yang sangat minim, anak Sudargo sudah kepikiran menjadi buruh pabrik jika lulus sekolah menengah kejuruan (SMK) kelak.  

Selain memilih menjadi buruh, profesi wirausaha juga lebih diminati ketimbang menjadi petani. Di desa ini, hanya10% anak muda di kampungnya yang merantau ke tempat lain mengadu nasib. Lainnya memilih berwirausaha. Mayoritas usaha yang digeluti anak muda, yakni mebel atau furnitur dan sektor peternakan. 

“Karena bekerja 1–3 hari bisa langsung mendapatkan uang. Semakin tinggi pendidikannya, semakin tidak mau menjadi petani,” kata petani komoditas padi tersebut. 

Kepemilikan Lahan
Cerita Sudargo dan keluarga banyak terjadi di sentra pertanian. Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, hampir di semua komoditas pertanian mengalami penurunan jumlah petani usia muda atau milenial. Terlebih komoditas padi atau pangan. Salah satu penyebabnya, karena petani padi wajib turun ke sawah setiap hari dan harus akrab dengan kotor-kotoran.

Berdasarkan riset KRKP pada 2015 di Kediri, Tegal, Bogor dan Karawang, ada tujuh faktor yang membuat anak muda enggan menjadi petani. Pendidikan, tingkat pendapatan, kepemilikan lahan, fasilitas budidaya dan produksi, jenis kelamin, pengalaman bersinggungan dengan dunia pertanian, dan motivasi, menjadi faktor penting.

Dari sejumlah faktor tersebut, menurut Said, hanya dua yang mempunyai pengaruh kuat. Pertama, terkait dengan kepemilikan dan akses terhadap lahan pertanian. Semakin tinggi aksesnya atau semakin luas kepemilikan lahannya, semakin tinggi juga minat anak muda untuk kembali ke dunia pertanian. Begitu pun sebaliknya, semakin kecil akses lahan yang dimiliki, semakin kecil pula minatnya.

Minimnya kepemilikan lahan sawah menggambarkan situasi yang ada saat ini. Menurut Said, kepemilikan lahan per keluarga petani hanya sekitar 0,2–0,6 hektare. Jumlah itu masih sangat jauh dari cita-cita negara menyejahterakan petani. Luas lahan yang ideal per kepala keluarga, kata dia, minimal 2 hektare lahan sawah.

“Itu pun jauh dari kata cukup. Berdasarkan hitung-hitungan kami, 2 hektare lahan hanya menghasilkan Rp900 ribu per bulan,” kata Said.

Kedua, terkait dengan harga jual atau tingkat pendapatan. Di sektor pertanian, penghasilan per kapita per tahunnya hanya sekitar Rp30 juta. Apabila dibagi 12 bulan, hasilnya hanya Rp2,5 juta. Berbeda dengan penghasilan di industri pengolahan yang mencapai Rp114 juta per kapita per tahun.

Berkaca dari hal tersebut, mayoritas orang tua yang berprofesi sebagai petani ogah menjadikan anaknya menjadi petani juga. Salah satu penyebabnya, kehidupan para orangtua tidak cukup baik selama menjadi petani. Logis, bukan.

Menilik kenyataan ini, ia meminta kepada pemerintah bisa memastikan akses lahan yang cukup. Misalnya, memberikan atau meminjamkan lahan pada keluarga kecil petani yang tidak punya lahan. Kalaupun disewakan, pemerintah harus mematoknya dengan harga murah.

Pemerintah juga harus dapat melakukan penguatan kapasitas secara teknis di sektor pertanian. Kemudian, pemangku kebijakan harus bisa memfasilitasi petani, mulai proses input hingga permodalan.

Hal lain yang tak kalah penting, pemerintah harus melakukan perbaikan pada dunia pendidikan. Pemerintah harus memikirkan kurikulum yang tepat dan meramu pendekatan yang pas kepada anak-anak muda. Sebab faktanya, semakin tinggi pendidikan semakin pupus harapan peningkatan anak muda yang turun menjadi petani di Tanah Air.

“Saya selalu bilang ke anak muda, jadi petani itu keren. Petani itu pahlawan, saat pandemi seperti saat ini menjadi contohnya. Jangan takut balik ke desa untuk menjadi petani,” ujarnya.

Petani Sejahtera
Di mata Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, penurunan jumlah petani muda atau milenial merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia. Menurut Andreas, letak persoalannya ada pada kesejahteraan para petani. Pemerintah seharusnya sudah harus mulai berpikir masalah ini.

Indonesia sendiri tertinggal dari negara-negara maju dalam urusan menyejahterakan petani. Misalnya, di Eropa, walaupun tak banyak memiliki petani dengan usia muda, pemerintahnya berupaya menjaga agar orang-orang yang berusia muda tetap memilih sektor pertanian sebagai mata pencaharian.

"Petani di Eropa diberikan insentif oleh pemerintah berupa uang tunai. Katakanlah petani usia lanjut diberikan 200 Euro dan usia muda 300 Euro," kata Andreas.

Sementara di dalam negeri, kata dia, pemerintah malah memberikan insentif berbentuk subsidi input. Petani diberikan subsidi dalam bentuk pupuk dan bibit. Menurut Andreas, langkah ini keliru. Yang paling pas menurut Andreas, pemerintah sebaiknya memberikan insentif ke petani berupa uang tunai.

Di sisi lain, dia mengkritisi seluruh program pemerintah untuk meningkatkan jumlah atau minat petani berusia muda. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut bahkan yakin, seluruh program yang dicanangkan pemerintah tidak akan membuahkan hasil.

"Kuncinya itu apakah usaha pertanian menguntungkan? Ketika menguntungkan, otomatis anak muda akan tertarik dan terjun ke pertanian," kata dia.

Untuk menggoda generasi milenial, pemerintah harus menjaga harga jual produk pertanian bagi usaha tani. Andreas menilai, kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang minim belum cukup membuat usaha tani sejahtera. Perubahan harga gabah dan beras sendiri tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020.

Untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp4.200 per kilogram (kg), dan di tingkat penggilingan sebesar Rp4.250 per kg, gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp 5.250 per kg. GKG di gudang Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sebesar Rp 5.300 per kg, beras di gudang Bulog Rp 8.300 per kg.

"Biaya produksi per April 2019 saja senilai Rp 4.523 per kg. Petani disuruh merugi?" ujarnya.

Jiwa Kewirausahaan
Kepala BPPSDMP Kementan, Dedi Nursyamsi mengamini fenomena ini. Dia mengungkapkan, kendala utama anak-anak muda di Indonesia adalah cara berpikir (mindset). Anak muda masih berpikir bahwa petani itu kumal, kotor, tidak rapi dan sebagainya. Stigma tersebut terus melekat hingga saat ini. Belum lagi, menjadi petani dianggap tak menguntungkan sama sekali.

Padahal, kata Dedi, dunia pertanian sudah sangat berkembang pesat. Jika berbicara industri pertanian 4.0, sudah tentu akan membahas dan melibatkan internet, smart agriculture, smart farming, pertanian hidroponik, dan sebagainya. Tentu akan sangat menguntungkan, asalkan pengelolaanya benar. 

“Kalau bisnisnya (di sektor pertanian) rugi, berarti pengelolaanya yang belum benar,” kata Dedi.

Mencegah kian pupusnya niat pemuda, Kementan sendiri telah memiliki tiga pilar utama untuk membangun minat menjadi petani milenial.

Pilar pertama, pendidikan vokasi. Kementan memiliki tujuh politeknik dan tiga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pembangunan pertanian. Lulusan politeknik dan SMK akan menjadi petani milenial yang tersebar di seantero Nusantara. Mereka diharapkan menjadi petani milenial yang betul-betul profesional dan memiliki jiwa wirausaha.

Kementan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk urusan kurikulumnya. Para pengajarnya sebagian besar dari dunia usaha atau dunia industri yang ahli di bidang pertanian. Sebanyak 70% pembelajaran sekolah vokasi ini juga berupa praktik di lapangan. Sisanya, 30% belajar teori di ruangan kelas.

Pilar kedua, kata Dedi, pelatihan vokasi. Saat ini, Kementan memiliki 10 balai besar pelatihan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Balai besar ini melakukan pelatihan di kampus, kebun, hingga di perusahaan. Tujuan pilar kedua ini serupa seperti pilar pertama, yaitu menciptakan petani milenial yang memiliki jiwa entrepreneurship tinggi dan profesional. 

Pihaknya juga mengaku sudah banyak membangun Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan dan Swadaya (P4S). Melalui P4S, Kementan menjaring para petani andalan yang pintar dan menonjol, serta melek teknologi.

Kementan juga mengadakan pelatihan atau magang ke luar negeri di negara-negara yang maju sektor pertaniannya, seperti Jepang, Taiwan, Australia, dan Thailand. Setelah masa magang berakhir, anak-anak muda itu akan diarahkan untuk betul-betul terjun ke dunia wirausaha yang berkaitan dengan pertanian. “Kami menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah,” katanya.

Pilar ketiga berupa penyuluhan. Nantinya, penyuluh yang sudah memiliki keterampilan khusus akan membina dan bekerja sama dengan petani di kecamatan dan perdesaan. Untuk mendukung hal ini, dibentuklah Komando Strategis Teknis Pertanian (Kostra Tani) yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana teknologi dan informasi (TI).

Selain mengusung tiga pilar, Kementan juga bekerja sama dengan International Fund for Agriculture Development (IFAD). Kerja sama yang dibiayai oleh IFAD tersebut dinamakan Youth Enterpreneurship and Employment Support Services Programme (YESS). Program YESS intinya mendukung atas penumbuhan wirausaha muda pertanian melalui kegiatan pelatihan, pendampingan, dan permodalan.

“Saran saya untuk kawula muda, jangan ragu untuk terjun di bisnis pertanian. Karena sektor pertanian itu ibarat emas 100 karat,” ujar dia.

Sebelumnya, program serupa telah diluncurkan, yakni Penumbuhan Wirausahawan Muda Pertanian (PWMP). Bedanya, PWMP dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Semua upaya itu, diyakini akan memompa semangat anak-anak muda terjun kembali mengolah bumi. Dengan program-program itu, pemerintah menargetkan mencetak 2,5 juta petani milenial yang mampu berwirausaha. Semoga. (Herry Supriyatna, Wandha Nur Hidayat)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar