c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

20 Oktober 2017

17:53 WIB

Soal HAM, Jokowi-JK Dapat Catatan Merah

Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, Amnesty Internasional terus mendapatkan laporan-laporan mengenai pelanggaran HAM di berbagai tempat di Indonesia

Soal HAM, Jokowi-JK Dapat Catatan Merah
Soal HAM, Jokowi-JK Dapat Catatan Merah
Ilustrasi aksi kamisan di kawasan Istana Negara, Jakarta Pusat. Validnews/Agung Natanael

JAKARTA - Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dilantik tiga tahun lalu pada 20 Oktober 2014 membawa harapan besar akan merespon masalah-masalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang akut.

Dalam deklarasi janji politik yang tertuang dalam Nawacita, pasangan Jokowi-JK mengelaborasi janji-janji HAM-nya baik itu yang berdimensi hak-hak sipil dan politik, minoritas agama, kebebasan beragama, maupun sosial dan budaya.

Pasangan tersebut juga berkomitmen terhadap pemajuan HAM di tingkat regional ASEAN. Namun, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, Amnesty Internasional terus mendapatkan laporan-laporan mengenai pelanggaran HAM di berbagai tempat di Indonesia.

Selain itu, penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dalam tiga tahun pemerintahan Joko Widodo -Jusuf Kalla belum terealisasi. Pelanggaran HAM berat mulai dari Tragedi 1965/Gerakan 30 September-Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI) yang menimbulkan banyak korban dari berbagai kalangan, termasuk para ulama/NU, peristiwa Tanjung Priok, Talang Sari, hingga kasus pembunuhan Munir.

Seiring berjalannya waktu, kehendak politik pasangan tersebut untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat maupun lainnya hilang sementara waktu kian sempit. Kesimpulan ini ditarik dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam tiga tahun terakhir.

Hal ini disampaikan Direktur Lembaga Amnesty International Indonesia, Usman Hamid seperti dilansir dari Antara, Jumat (20/10). Dia bahkan menyampaikan bahwa pemerintahan Jokowi-JK memiliki rapor merah terkait penegakan HAM.

Ia juga berpendapat bahwa pemerintah belum mampu membuka ruang partisipasi dan kontrol publik. Hal ini menurutnya merujuk peristiwa tewasnya empat anak muda dan puluhan lainnya luka-luka di kota Enarotali, Paniai, Papua, pada 8 Desember 2015.

Insiden itu terjadi setelah aparat keamanan Polri dan TNI melepaskan tembakan ke arah para pengunjuk rasa yang marah atas insiden pemukulan seorang anak Papua oleh aparat TNI sehari sebelumnya.

Presiden Jokowi segera mengeluarkan pernyataan akan mengusut tuntas kasus penembakan ini. Kasus tersebut merupakan kasus pelanggaran HAM serius pertama yang terjadi pada masa pemerintahannya. Namun hingga hari ini tidak ada satu pun terduga pelaku yang bertanggung jawab yang dibawa ke muka hukum.

Malahan pada 2 Agustus 2017 terjadi kembali penembakan oleh aparat Brigade Mobil (Brimob) di Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Papua yang mengakibatkan beberapa orang terluka dan satu orang tewas.

Pada Mei 2017, Menteri Luar Negeri RI di muka sesi UPR Dewan HAM PBB menyatakan bahwa penyidikan kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003, keduanya di Papua, akan ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.

Isu kebebasan berekspresi lainnya yang menonjol adalah terus digunakannya pasal-pasal penodaan agama dalam berbagai produk hukum (Pasal 156 dan 156a KUHP atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik/ITE).

Pemidanaan penodaan agama meroket angkanya pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun tidak terdapat tanda-tanda Pemerintah Jokowi akan mampu menghentikannya. Kasus pemenjaraan terhadap mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjadi contohnya. Basuki merupakan figur pejabat tinggi pertama yang menjadi korban pasal penodaan agama.

"Amnesty Internasional mencatat paling sedikit terdapat 16 orang yang telah divonis pengadilan untuk kasus penodaan agama selama pemerintahan Jokowi-JK," tegas dia.

Selain itu, Amnesty International Indonesia menyoroti Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), organisasi yang difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam hal ini pemerintah dianggap tidak mampu menghalau amuk massa yang menyerang komunitas Gafatar di Menpawah, Kalimantan Barat. Komunitas Gafatar juga dipindahkan secara paksa ke berbagai daerah di Indonesia.

Selain Gafatar, kasus serupa juga terjadi pada kelompok Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Syiah yang diungsikan di Sidoarjo, Jawa Timur. Kedua kelompok minoritas tersebut mengalami penderitaan yang sama di mana mereka tercerabut dari penghidupan sehari-hari demi mempertahankan keyakinan mereka.

Pelanggaran HAM juga terjadi saat tempat-tempat ibadah ditutup, seperti Gereja GKI Taman Yasmin di Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi terkait perizinan yang sering dijelaskan oleh Wapres Jusuf Kalla hingga ke forum-forum Internasional. Kedua tempat ibadah itu sudah ditutup sejak 2008 dan pemerintah sampai sekarang tidak membukanya.

Hal serupa terjadi pada 12 Oktober 2015, saat Pemerintah "Serambi Mekkah" Aceh menutup sejumlah gereja setempat. Kemudian, pelanggaran HAM juga terjadi terkait diskusi-diskusi yang dibubarkan.

Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga, mengaku kemajuan penegakan HAM masih sangat kecil. Namun pada masa pemerintahan Jokowi-JK, ia mengungkapkan, kondisinya agak berubah. Pasalnya, pada tahun-tahun sebelumnya Komnas Ham dan kejaksaan Agung hanya bolak-balik berkirim surat. Sedangkan kini menurutnya Kejaksaan Agung membuka diri untuk berdialog.

Selain itu, Sandra menyoroti kasus reklamasi teluk Jakarta karena proyek tersebut dibuat tanpa izin analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang benar. AMDAL yang benar harus juga mencakup analisa dampak sosial terkait hak nelayan. Ini yang harus dilakukan dengan benar, transparan dan partisipatif.

Hal tersebut tercantum pada Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Proyek tersebut juga harus memikirkan nasib para nelayan yang hidup di pesisir. Karena itu harus ada AMDAL seluruh proyek reklamasi dan tidak bisa untuk satu pulau per satu pulau.

"Moratorium yang dulu diberlakukan masih sangat perlu dipertahankan. Dan harusnya moratorium dipertahankan sampai AMDAL dilakukan dengan benar dan partisipatif untuk seluruh proyek pulau reklamasi," tegas dia.

Berdasarkan laporan Dewan HAM PBB. Pada 2016, nilai total indeks Demokrasi Indonesia tertinggi di negara-negara rumpun ASEAN. Indonesia (6,97%), Filipina (6,94 %), Malaysia (6,54%), Singapura (6,38%), Thailand (4,97%).

Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Kepresidenan Theofransus Litaay mengatakan Dewan HAM PBB memberikan apresiasi melalui laporan kelompok kerja Universal Periodic Review terhadap kinerja pemerintah Indonesia di bidang HAM.

Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pada April 2017, hampir 42 juta jiwa penduduk Indonesia menggunakan hak suaranya di 101 pemilihan langsung di tingkat lokal.

Keseluruhan pemilihan tersebut diselenggarakan dengan cara yang bebas, inklusif, dan damai. Proses demokratis tersebut memperkuat posisi HAM dalam DNS Indonesia. Namun, lanjut Theofransus, ada pekerjaan rumah yang belum selesai. Salah satunya penyelesaian HAM masa lalu.

"Penyelesaian HAM masa lalu, menjadi bagian dari program pemerintah dengan instansi yang berwenang termasuk Kejaksaan Agung," kata dia. (Jenda Munthe)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar