c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

01 Maret 2018

22:01 WIB

Pragmatisme Parpol Tumpulkan Potensi Kader Daerah

Sebagai pilar demokrasi parpol sejatinya melahirkan dan memprioritaskan kader-kader daerah dalam kontestasi pilkada

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Pragmatisme Parpol Tumpulkan Potensi Kader Daerah
Pragmatisme Parpol Tumpulkan Potensi Kader Daerah
Pasangan calon gubernur dan wagub Sumut Djarot Saiful Hidayat (kedua kiri)-Sihar Sitorus (kiri) dan Edy Rahmayadi (kedua kanan)-Musa Rajeckshah (kanan) menunjukan nomor urut seusai pengundian nomor urut di Medan, Sumatra Utara, Selasa (13/2). Kedua pasangan calon tersebut siap bertarung dalam pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur Sumut periode 2018 - 2023. ANTARA FOTO/Septianda Perdana

JAKARTA –Reformasi 1998 telah menggiring Indonesia dari rezim otoriter menuju sebuah pola pemerintahan daerah yang otonom atau desentralisasi. Desentralisasi muncul dari kritik mengenai pola pemerintahan Orde Baru yang cenderung terpusat dan mengabaikan daerah.

Kemudian melalui masa transisi muncul Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada).

Harapan dari lahirnya undang-undang ini tentu agar partai-partai politik memunculkan tokoh-tokoh asli daerah yang mampu mendongkrak pembangunan daerahnya masing-masing. Alasannya sederhana, putra daerah diyakini lebih paham akan roh dan semangat dalam membangun tanah kelahirannya.

Dalam perjalanan sejarahnya, pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini digelar di Pilkada DKI Jakarta 2007. Namun, Jakarta bisa dikatakan sebuah anomali dan pengecualian dalam implementasi undang-undang ini. 

Jakarta merupakan sebuah kota yang lahir dari kemajemukan. Bila ditarik ke belakang, dari 19 pasangan gubernur dan wakil gubernur yang pernah memimpin roda pemerintahan ibu kota, tak satu pun gubernur atau wakil gubernur yang asli berdarah Suku Betawi, suku asli yang mendiami Jakarta. Bahkan hanya ada dua nama yang terlahir dan besar di Jakarta sehingga disebut putra daerah, yakni Soerjadi Soedirdja dan Fauzi Bowo.

Hal itu pun terlihat pada sejarah perjalanan Pilkada DKI pasca-reformasi. Kontestasi pilkada 2007 kala itu hanya diikuti oleh dua pasangan calon, yakni Adang Daradjatun-Dani Anwar melawan Fauzi Bowo–Prijanto. Seperti disebutkan di atas, dari keempat nama itu hanya Fauzi Bowo-lah yang terlahir di Jakarta, meski ia bukan suku asli ibukota.

Begitu juga di Pilkada tahun 2012. Pesta demokrasi ini diikuti oleh enam pasang calon yakni, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini, Faisal Basri-Biem Benyamin, Alex Noerdin-Nono Sampono.

Dari enam pasang calon ini akhirnya muncullah satu nama berdarah asli Suku Betawi dalam diri Biem Benyamin. Namun tak ada partai politik yang meliriknya sehingga maju sebagai calon independen Bersama Faisal Basri.

Situasi yang hampir sama berulang pada Pilkada Serentak 2017 silam. Di tahun ini, Pilkada DKI Jakarta diikuti oleh tiga pasang calon, yakni Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang notabene seluruhnya adalah perantau.

Pilkada 2017 menjadi etalase pemilihan langsung yang kala itu gaungnya begitu panas. Masyarakat terpecah dan terkotak-kotak mendukung paslon usungan mereka. Bahkan fanatisme tumbuh di kelompok-kelompok pengusung.

Infografis pilkada DKI

Perintah Partai
Singkat kisah perseteruan itu akhirnya dimenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Namun fanatisme dari kelompok pengusung ternyata belum luntur, khususnya bagi pasangan Ahok-Djarot. Hal ini terlihat di Pilkada Serentak 2018. Kalah di Jakarta tidak menyurutkan optimisme Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kembali menjagokan Djarot Saiful Hidayat sebagai calon Gubernur Sumut.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PDIP Eriko Sotarduga mengatakan, Djarot sesungguhnya tak menyangka akan diberikan mandat oleh Ketum PDIP Megawati untuk ditempatkan sebagai calon Gubernur Sumut. Pengajuan Djarot ke Sumut bukanlah keinginan partai semata, banyak masyrakat Sumut menginginkan Djarot untuk memimpin. 

“Nah, rata-rata yang ikut Pilkada Sumut itu dan menang, akhirnya menjadi bermasalah di kemudian hari. Jadi memang melihat itu banyak pertimbangan disebut agar jangan orang yang ada di situ sendiri yang menjadi calon, tetapi siapa saja putra terbaik yang bisa,” ucap Eriko.

PDIP kata Eriko menempatkan Djarot di Sumut agar membawa perubahan bagi daerah dan masyarakat setempat. Dulu, Sumut dapat menjadi provinsi nomor dua termaju se-Indonesia. Pasalnya saat ini Sumut dinilai sudah tertinggal jauh dari daerah-daerah lainnya di Sumatra, seperti Riau, Sumsel, bahkan Lampung. 

“Nah, Karena itulah makanya PDIP, Ibu Ketum memutuskan mengirim Djarot Saiful Hidayat, karena beliau menunjukkan prestasinya bersama Pak Ahok di DKI Jakarta. Jangan lupa, Pak Djarot itu Wali kota Blitar dua periode dan salah satu dari 10 pemimpin Indonesia terbaik,” tuturnya.

Masyarakat Sumut menurut Eriko sebenarnya tak hanya meminta Djarot agar dicalonkan menjadi pemimpinnya, namun juga meminta Ganjar Pranowo, Tri Risma Harini, Abdullah Azwar Anas untuk memimpin Provinsi Sumut.

“Nah, Ketum (Megawati) merespon ini. Masalahnya tidak mungkin memindahkan Mas Ganjar atau Ibu Risma dari Jawa Tengah dan Surabaya ke Sumut,” ucapnya.

“Salah satu kader terbaik itu adalah Djarot Saiful Hidayat. Bayangkan di DKI Jakarta begitu sukses, bisa dilihat dengan hasil nyata. Begitu juga di Blitar yang menunjukkan kemajuan pesat,” imbuh Eriko.

Diterangkan Eriko, pengajuan Djarot sebagai cagub Sumut tak sekadar iming-iming belaka. PDIP ucapnya, berupaya memberikan bukti pengalaman yang diperoleh Djarot di Blitar dan Jakarta dapat diterapkan di Sumut.     

Langkah sama pernah dilakukan Partai Golkar saat mengusung Alex Noordin menjadi Cagub DKI Jakarta. Padahal kala itu Alex masih berstatus Gubernur Sumsel. Ketua DPP Golkar Rambe Kamarulzaman menjelaskan, partainya mempertimbangan mengenai penerimaan masyarakat dan pesaing calon yang diusung.

“(Pengusungan-red) kader ini di mana, sama saja. Tidak persoalan. Misalnya, Alex Noordin ditarik jadi calon DKI Jakarta, tidak ada persoalan,” kata Rambe.

Meski demikian Rambe mengakui Partai Golkar tetap mempertimbangkan kompetensi kemampuan calon. Selain itu, pihaknya juga mempertimbangkan mengenai elektabilitas yang dimiliki calon kepala daerah yang akan diusung.

Memang tak mudah untuk meningkatkan elektablitas seseorang di masyarakat. Akan tetapi, berdasarkan elektabilitas membuat tiap orang memiliki harapan untuk memenangkan Pilkada. Apalagi, pemilih terbagi tiga golongan, yakni pemilih rasional, berdasarkan psikologis dan sosiologi.

“Kalau menurut saya gabungan ini memberikan korelasi positif terhadap tiap calon,” jelasnya.

Sungguh tak mudah mengusung seorang calon kepala daerah yang notabene bukan asli putra-putri daerah setempat. Risiko penolakan dari beberapa kader partai dan masyarakat seharusnya menjadi kalkulasi pertimbangan partai di daerah. Namun hal tersebut menjadi pertimbangan tersendiri bagi partai untuk mengusung calonnya.

Perihal risiko tersebut Rambe memaparkan, setiap partai memiliki kebijakan tersendiri untuk mengatasi situasi tersebut. Partai Golkar jelasnya, tetap menawarkan sosok yang akan diusung kepada kader daerah.

“Kalau memang para kader sudah memilih yang terbaik, kan dengan cara itu bisa terselesaikan. Jadi ya, lumrah saja, tidak ada masalahnya,” tandasnya.

Kegagalan Parpol
Pengamat Politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara mengatakan, situasi ini menunjukkan kegagalan parpol dalam menciptakan kader berkualitas untuk dijadikan pemimpin, baik di level pilkada maupun pilpres. Padahal, dalam sistem demokrasi parpol harus mengutamakan kaderisasi.

Gelaran Pilkada Serentak 2018 telah menunjukkan beberapa persoalan. Salah satunya, pilkada menjadi ajang untuk mendapatkan jabatan. Contohnya, PDIP mengambil keputusan  mencalonkan mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat untuk bertarung di Pilgub Sumut tahun 2018. Meski sebelumnya, Djarot kalah bertarung di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

 “Elektabilitas menjadi faktor yang signifikan untuk dilihat kandidat yang diusung parpol. Karena logikannya parpol mengusung untuk menang. Apalagi parpol di Indonesia itu oligarki, keputusan itu mutlak berada di Ketum. Kalau PDIP terkonsentrasi pada keputusan Megawati, Gerindra ke Prabowo, kalau Demorkat ke Pak SBY sebagai ketua Umum dan dan Dewan Pembinannya,” paparnya.

Menurutnya, munculnya kader yang bukan berasal dari daerah tersebut seakan mengabaikan putra daerah yang telah berupaya agar diajukan menjadi pemimpin di wilayahnya sendiri. Apalagi PDIP dan Golar memiliki banyak kader di seluruh penjuru Indonesia.

“Jadi, persoalan kaderisasi seharusnya mengusung kader di sana (Sumut-red). Apa yang terjadi di sana kan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu memprotes keras keputusan bahwa pasangan dari Djarot yang merupakan kader PPP, itu salah satu indikasi kaderisasi akar rumput protes kader daerah,” jelasnya. 

Oleh karenanya, bila calon kepala daerah yang bukan berasal wilayah setempat kalah, parpol seyogianya melakukan evaluasi besar-bersar. Tujuannya agar mereka tak sembarang pilih calon. Selain itu, parpol menyadari untuk mendukung putra daerah untuk maju menjadi kepala daerah. Apalagi, putra daerah dapat lebih memahami cara untuk membangun wilayahnya.   

“Berbeda kalau Partai Golkar punya  AD/ART masih berorientasi pada DPD I dan DPD II untuk menentukan calon di daerah-daerah dengan DPP Pusat. Walaupun keputusan tertinggi berada di tangan DPP Pusat,” ungkapnya.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Ardia Sophian memiki pandangan yang berbeda. Ardia berpendapat, menjadi putra daerah tak menjamin kader tersebut memahami cara untuk membangun wilayahnya masing-masing.

"Bedanya, Pak Djarot bisa melakukan sekarang-sekarang saja, kalau orang lain melakukannya dari dulu,” lanjutnya.

Di sisi lain, dari sisi aturan, penunjukan kader yang bukan berasal dari daerah setempat sah-sah saja. Peraturan tak mengharuskan calon kepala daerah yang maju jadi calon pemimpin setempat, kecuali Provinsi Papua. Itu sebabnya Ardia berpandangan penunjukkan calon Gubernur Sumut, dalam hal ini Djarot, cenderung merupakan keputusan partai.

“Kita tahu Pak Gatot itu dari Suku Jawa. PDIP mungkin mencoba peruntungan seperti yang Pak Gatot lakukan. Padahal Pak Gatot bergerak dari bawah. Karier politiknya di Sumut,” tuturnya.

Sebatas Organisasi Politik
Direktur Lembaga Kajian Visi Teliti Saksama Nugroho pratomo berpandangan situasi ini membuat parpol sebagai pilar demokrasi belum dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Hingga 2018 parpol, tidak lebih dari sekadar organisasi politik yang digunakan oleh kebanyakan elite politik untuk pencarian rente.

Ini terjadi karena elite parpol tak memiliki pendalaman ideologi atas parpol yang menaunginya. Selama ini klaim ideologi parpol yang ada baru sebatas pada retorika yang digunakan dalam tiap bahan kampanye politik, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Ketiadaan ideologi ini tampak jelas dalam setiap pelaksanaan pilkada. Banyak parpol melakukan koalisi untuk mencalonkan pasangan kepala daerah. Celakanya, praktik tersebut dilakukan dengan pertimbangan semata-mata untuk memperoleh kemenangan.

Pencalonan kepala daerah oleh para parpol tak pernah didahului oleh penilaian atas visi-misi pasangan bakal calon (balon) tersebut sekaligus merupakan cerminan atas ideologi yang dianut oleh para balon.

Pada dasarnya pencarian dan pemilihan balon kepala daerah juga merupakan indikator kegagalan parpol dalam melakukan berbagai fungsinya, khususnya fungsi rekrutmen politik. Buktinya, parpol dalam menentukan balon kepala daerah belum dapat memilih dan mendorong putra daerah menjadi calon kepala daerah yang diunggulkan dalam setiap pilkada.

Dalam perjalanannya, parpol akhirnya memilih untuk mementingkan elektabilitas para calon untuk dimajukan menjadi kepala daerah. Itu sebabnya calon yang diusung parpol jarang menunjukkan wajah segar atau kandidat baru.  (James Manullang)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar