14 April 2021
16:34 WIB
JAKARTA - Anggota Satuan Tugas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rahmat Sentika mengungkap, poligami sering menjadi penyebab stres dan depresi yang berujung menjadi penyakit jiwa. Istri pertama akan empat kali lebih menderita dibanding istri kedua, tiga dan keempat.
Ia memastikan, dampak poligami lebih dirasakan oleh istri dan anak. Biasanya, terjadi perasaan menyalahkan diri sendiri oleh istri, karena merasa tindakan suami poligami akibat dari ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan suami.
Kemudian, poligami dapat menyakiti anak-anak. Karena perhatian ayahnya akan terbagi dan mereka sering merasa cemburu, sedih, kecewa, bahkan marah.
Selain itu, poligami juga menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kata dia, walau KDRT juga dapat terjadi di perkawinan monogami, namun kesempatan untuk melakukan KDRT empat kali lebih besar terjadi pada pernikahan poligami.
"Ini hasil FGD melalui koresponden grup WhatsApp selama satu minggu, dari tanggal 5 April 2021 sampai dengan 10 April 2021, dengan Grup Kedokteran Jiwa FKUP/RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung). Kebetulan saya masih jadi Dewan Pengawas RSHS, kami berkoordinasi dengan teman-teman kami di bagian kedokteran jiwa," pungkasnya, dalam diskusi Poligami di Tengah Perjuangan Mencapai Ketangguhan Keluarga Masyarakat dan Bangsa, secara daring, Rabu (14/4).
Ia menuturkan, meski negara melegalkan poligami, namun pada dasarnya hukum perkawinan Indonesia mendukung perkawinan monogami. Hal tersebut ditegaskan dalam UU Perkawinan Tahun 1974 Pasal 3 ayat (1) jo. UU Nomor 16 Tahun 2019, yang menegaskan bahwa seorang pria hanya boleh beristri satu dan sebaliknya.
Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan mengatakan pengadilan bisa memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
"Bisa dimaknai bahwa poligami tidaklah mudah, sangat sulit berlaku adil. Pasti ada dampak buruk dari timpangnya keadilan, terutama yang dirasakan perempuan sebagai korban. Mohon kiranya kebijakan-kebijakan mengalah ke situ (poligami) dihilangkan. Jangan ada lagi seperti itu," kata dia.
Kekerasan Psikis
Di kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, poligami yang tidak dilaksanakan dengan persiapan, pemikiran matang dan pengetahuan yang cukup, akan dapat menjadi awal mula munculnya berbagai perlakuan salah bagi perempuan.
"Poligami merupakan bentuk perkawinan di mana pihak, baik suami, mengawini secara sah dan bertanggung jawab pada lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan," kata dia.
Menteri Bintang menjelaskan, Komnas Perempuan pada 2020 menunjukkan bahwa poligami menyebabkan perempuan mendapat kekerasan psikis atau menjadi tertekan karena merasa diperlakukan tidak adil. Tidak sedikit pula kasus-kasus poligami berakhir pada kekerasan secara fisik kepada perempuan.
"Data tersebut menambah keprihatinan kita, mengingat masih banyak narasi yang salah mengenai praktik poligami," pungkasnya.
Menteri Bintang mengatakan, laki-laki terkadang memandang poligami sebagai jalan pintas untuk mencari kesejahteraan, kemakmuran dan kesuksesan dalam hidup. Padahal, jika melihat syarat dan ketentuannya, melakukan perkawinan poligami tidaklah mudah.
Perkawinan menurutnya merupakan hak asasi manusia dan merupakan kebebasan bagi setiap orang yang sudah dewasa. Namun, yang bersangkutan harus siap untuk bertanggung jawab.
"Sehingga harus dilakukan dengan hati-hati, dengan pertimbangan dan komitmen yang kuat. Bukan malah dipromosikan," tuturnya.
Menteri Bintang menuturkan, perkawinan merupakan gerbang awal untuk membina keluarga, sebagai salah satu sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perkawinan juga telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yang mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Maka dari itu, kata dia, dari perkawinan diharapkan terbentuknya sebuah keluarga tentram, damai dan sejahtera, yang merupakan kekuatan bagi suatu bangsa dan negara.
"Jika keluarga kuat, maka negara juga akan kuat. Maka dari itu perkawinan bukan hanya mengenai kepentingan individu atau golongan tertentu saja, tetapi juga bertujuan untuk membentuk tatanan masyarakat yang berbudaya, maju dan beradab," tuturnya. (Maidian Reviani)