c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

NASIONAL

02 Oktober 2017

19:56 WIB

Peternakan Menjaga Tradisi Budaya Lokal Nusantara

Dalam banyak tradisi lokal, sapi atau kerbau sering dihadirkan sebagai pelengkap, bahkan objek sentral dari sebuah ritual.

Editor: Rikando Somba

Peternakan Menjaga Tradisi Budaya Lokal Nusantara
Peternakan Menjaga Tradisi Budaya Lokal Nusantara
Tradisi adu kerbau 'silaga tedong'pada hiburan rakyat di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

JAKARTA – Tingkat konsumsi daging di Indonesia diproyeksikan mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 0,13% selama tahun tahun 2015-2020. Bahkan di tahun 2017 saja, Kementerian Pertanian dalam Outlook Daging Sapi 2016, memproyeksikan konsumsi nasional meningkat jadi 2,43 kg per kapita per tahun. Dengan kata lain, akan terjadi pertumbuhan 0,83% dibanding tahun 2016.

Melihat tren permintaan daging yang terus merangkak naik setiap tahunnya, tak terbayangkan bagaimana cara peternak-peternak di masa lalu memenuhi rakusnya masyarakat terhadap daging seperti yang terjadi saat ini.

Jika memori kita mundur belasan atau bahkan puluhan tahun silam, peternakan sapi atau kerbau bukan diprioritaskan untuk konsumsi, melainkan untuk kebutuhan tradisi budaya lokal yang masih menempatkan sapi atau kerbau sebagai pelengkap, bahkan objek sentral dari sebuah ritual.

Masyarakat Sumba Timur misalnya. Mengutip riset milik Yanto Kambaru Njuka Jehik yang berjudul Makna Ternak Sapi Bagi Masyarakat Sumba Timur: Studi Kasus di Desa Kambatatana Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur, didapati kalau usaha peternakan sapi di sana merupakan usaha untuk yang bertujuan sebagai tabungan adat.

Berdasarkan wawancaranya dengan penduduk setempat, Yanto mendapati masyarakat lokal tidak menjual ternaknya karena tuntutan ekonomi rumah tangga. Namun ternak dijual bila ada tuntutan adat. Bahkan bila keadaannya mendesak, si penjual sampai rela memberikan harga ternak sapi mereka jauh dibawah harga pasar.

Tak hanya itu, ternak sapi di Desa Kambatatana juga dipakai sebagai sumbangan adat. Hal ini dilakukan untuk membangunan sebuah relasi sosial antara masyarakat sehingga kekerabatan dapat terus terjadi. Semisal, ketika keluarga peternak ada yang mengalami kedukaan, maka ternak sapi dapat disumbangkan kepada kerabat yang berduka.

Yanto menulis karena sebagai tabungan adat, maka ternah sapi pun dipelihara sesederhana mungkin. Jadi tak mengherankan kalau perkembangan usaha peternakan sapi stagnan.

Hal serupa terjadi di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat dari Suku Toraja, kerbau tidak bisa dilepaskan dari adat-istiadat mereka. Kerbau selalu menjadi kebutuhan dalam pelaksanaan ritual adat baik dalam upacara adat Rambu Solo maupun Rambu Tuka. Malah, tanpa adanya kerbau, proses upacara adat tidak dapat dilakukan.

Keadaan ini akhirnya membuat peternakan kerbau sangat bernilai di sana. Pertama, karena kerbau dianggap sebagai lambang kekayaan dan kemakmuran. Mereka percaya sekaya apapun seseorang, semewah apapun rumah dan kendaraan mereka akan tidak ada artinya tanpa memiliki kerbau.

Kedua, kerbau juga dianggap sebagai kendaraan suci bagi masyarakat Toraja. Inilah alasan mengapa kerbau selalu dijadikan salah satu persembahan wajib pada setiap ritual adat terutama dalam upacara kematian.

Masyarakat Toraja memang percaya bahwa dahulu leluhur mereka turun ke bumi dengan menggunakan kerbau dari surga. Makanya, kerbau juga dipercaya sebagai kendaraan suci yang dapat mengantar orang yang sudah meninggal untuk kembali ke surga.

Ketiga, kerbau dianggap sebagai tolak ukur dari kehidupan sosial dalam masyarakat Toraja. Kepemilikan kerbau menjadi dasar tingkat status sosial seseorang. Semakin banyak atau mahal kerbau yang dimiliki, maka akan semakin tinggi juga kehormatan orang itu dalam ruang sosial.

Sapi Suci
Berbeda dengan masyarakat Toraja yang mengagungkan kerbau, di Bali justru sapi yang disucikan dan dianggap sebagai hewan penting dalam kehidupan sosial. Pandangan orang Bali soal sapi ini tidak lepas dari keadaan mayoritas masyarakatnya yang menganut agama Hindu.

Dalam Kitab Catur Weda, sapi dianggap sebagai hewan yang agung. Sapi juga dianggap sebagai pelindung bagi manusia. Masyarakat bali juga menganggap sapi suci karena merupakan tunggangan Dewa Batara Syiwa.

Namun tidak semua sapi dianggap sebagai hewan suci di Bali. Penafsiran hewan suci yang ada dalam Kitab Catur Weda adalah sapi berjenis lembu.

Biasanya pada setiap upacara adat, lembu putih digunakan sebagai sarana pelengkap untuk menyempurnakan proses ritual. Masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa lembu atau sapi putih memiliki kekuatan yang mampu memberikan energi positif terhadap perlangsungnya sebuah upacara adat.

Masyarakat Kudus, Jawa Tengah pun punya tradisi yang dipegang teguh hingga sekarang. Setiap hari raya kurban mereka tak menyembelih sapi meski hewan ini sama sekali tak diharamkan buat para pemeluk Islam. Sebagai gantinya masyarakat Kudus menyembelih kerbau atau kambing.

Bukan tanpa sebab tradisi ini ada di Kudus. Dalam kajian Sri Indrahti berjudul Kudus dan islam: Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah, disebutkan tradisi ini untuk menghormati para pemeluk agama Hindu. Hal ini dimulai ketika Sunan Kudus menyebarkan agama Islam di wilayah itu.

Dalam rangka mengambil hati masyarakat Hindu yang merupakan penduduk mayoritas saat itu, Sunan mengumumkan larangan bagi masyarakat Kudus agar tidak menyembelih dan makan daging sapi untuk menghormati pemeluk agama Hindu. Alhasil, metode itu akhirnya membuat sebagian besar pemeluk agama Hindu bersimpati kepada Sunan Kudus dan masuk Islam.

Muncul juga alasan lain kenapa masyarakat Kudus tak pernah menyembelih sapi, berdasarkan cerita rakyat karena mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sunan Kudus. Dahulu Sunan pernah merasa dahaga, kemudian ditolong oleh seorang pendeta Hindu dengan diberi air susu sapi. Sebagai ungkapan terima kasih dari Sunan Kudus, maka masyarakat Kudus dilarang menyembelih sapi.

Berawal tradisi inilah, tak heran kalau Kudus menjadi salah satu daerah penghasil kerbau. Bahkan lewat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 830/KPTS/RC.040/12/2016 tentang lokasi pengembangan kawasan pertanian nasional menetapkan Kudus sebagai salah satu kawasan pengembangan peternakan kerbau nasional.

Aceh pun punya tradisi unik tiap jelang menyambut bulan suci Ramadan yang dinamakan meugang. Tradisi ini bagaimana juga mampu menumbuhkan peternakan tradisional sebab tradisi ini merupakan tradisi membeli daging, memasak dan memakannya bersama keluarga.

Meugang pertama sekali diperingati pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Muda yang berkuasa tahun 1607-1636. Istilah makmeugang bahkan diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau Undang-Undang Kerajaan. Meugang paling tidak memiliki makna silaturrahmi dan wujud rasa gembira menyambut bulan suci Ramadan.

Waktu itu, pihak kerajaan memerintah perangkat desa mendata warga miskin, kemudian diverifikasi oleh lembaga resmi (Qadhi) kesultanan untuk memilih yang layak menerima daging. Kemudian Sultan kemudian memotong banyak ternak, dagingnya dibagikan kepada mereka secara gratis.

Tradisi ini terus berlanjut bahkan ketika Belanda menginvasi Aceh sejak 1873. Meski kerajaan kalah dan bangkrut, rakyat Aceh tetap memperingati tradisi dengan membeli sendiri daging. Akhirnya tradisi meugang bertahan hingga kini.

Dalam pelaksanaannya, setiap keluarga biasanya membeli satu hingga tiga kilogram daging untuk disantap bersama. Tapi bagi mereka yang mampu membeli daging dalam jumlah banyak dan membagikan kepada anak yatim, atau tetangganya yang tak mampu.

Sedangkan untuk pria baru menikah, akan jadi aib kalau meugang tak membawa pulang daging ke rumah mertuanya. Tapi sebaliknya merupakan kebanggaan keluarga, kalau si pria pulang dengan kepala sapi atau kerbau. Di pedesaan yang adatnya masih kuat, bahkan orangtua akan melarang anak-anaknya bermain ke rumah tetangga atau sekolah pada hari meugang. Mereka wajib makan di rumah.

Meugang bukan hanya diperingati menjelang Ramadhan. Sehari jelang Idul Fitri dan Idul Adha, tradisi ini tetap dilakoni warga Aceh. Tapi meugang puasa selalu lebih meriah, karena Ramadhan punya arti sendiri bagi masyarakat Serambi Mekkah.

Adu Kecepatan
Namun pemanfaatan sapi dan kerbau dalam tradisi ini tak melulu urusan konsumsi. Di Madura terdapat satu tradisi yang melibatkan sapi di dalamnya, yakni karapan sapi. Karapan sapi bisa dikatakan sebagai sebuah lomba adu kecepatan antara sapi-sapi yang dikendalikan oleh seorang joki.

Biasanya sepasang sapi ditugaskan menarik semacam kereta yang terbuat dari kayu kemudian dipacu secepat mungkin ke garis akhir yang biasanya berjarak 100 meter.

Tradisi ini biasanya dilakukan pada bulan Agustus dan September. Sedangkan untuk pertandingan final biasanya dilakukan pada akhir Oktober di luar Kota Karesidenan Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.

Hampir sama dengan Karapan sapi, masyarakat Bali juga mengenal tradisi bernama Makepung. Bedanya, yang adu kecepatan bukannya sapi melainkan kerbau. Penggunaan kerbau dianggap sebagai alternatif karena sapi merupakan hewan yang disucikan dalam masyarakat Bali. (Nofanolo Zagoto, Muhammad Fauzi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar