04 Desember 2020
19:53 WIB
JAKARTA – “Bu, bagaimana, kapan ini anak masuk sekolah? Saya sudah capek kondisi begini mulu,” ujar Maswanih (45) lirih. Lawan bicara Maswanih, guru sekolah anak bungsunya, rupanya tak siap dengan pertanyaan ini. Si guru hanya bisa menyarankan Maswanih untuk bersabar.
Bagi Maswanih jawaban itu jelas tak menenangkan. Maklum, dia merasa kian sulit mendampingi anaknya melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Kemarin pagi, misalnya, masalah PJJ lagi-lagi mewarnai keseharian keluarga Maswanih. Si bungsu enggan mengikuti ujian semester pagi itu. Alih-alih membubuhkan jawaban pada soal ujian, si bungsu malah menangis hebat. Tangis bocah kelas satu SD itu baru usai saat suami Maswanih membujuk dan mengajaknya jajan di minimarket.
Membimbing anak belajar dari rumah bukan hal mudah. Ini memberatkan keseharian Maswanih yang mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Akibatnya, banyak yang tidak dapat tertangani dengan baik.
“Kelar ngajarin anak, akhirnya sudah malas mau apa-apa,” beber Maswanih kepada Validnews, Selasa (1/12).
Kesulitan berlipat kala PJJ daring harus menggunakan aplikasi yang tak ia pahami, seperti video konferensi. Padahal Maswanih hanya menggunakan gawainya selama ini untuk berselancar di Facebook dan WhatsApp. Meski sering diajari anak ketiganya, Maswanih tetap tak sanggup. Jalan keluarnya adalah membayar orang untuk mengajar anaknya.
“Jadi saya awal-awal saja mengajar anak itu sendiri, sebulan awal. Terus di belakang rumah itu ada orang yang dipercayakan banyak warga di sini untuk mengajar pelajaran sekolah sampai menggaji untuk anak-anak. Ya sudah saya tawarkan, dan dia mau,” ucapnya.
Cara tersebut sebenarnya bak menukar satu masalah dengan masalah lain. Keluarga Maswanih perlu menggelontorkan Rp800 ribu setiap bulan sebagai imbalan atas jasa mendampingi anak belajar. Uang kebutuhan harian terpaksa disunat. Karena biaya SPP kedua anaknya harus tetap dibayar penuh.
Makanya, Maswanih merasa sedikit lega ketika tahu pemerintah membolehkan sekolah kembali dibuka mulai 2021. Di samping soal biaya tambahan, dia cemas capaian belajar atau kompetensi anaknya tertinggal jika harus PJJ lebih lama lagi.
Banyak orang tua merasa membuat anak fokus saat belajar dari rumah sangat sulit. Memakai jasa bimbingan orang lain yang bukan guru pun tak jamin perkembangan kognitif anak. Karenanya, mereka berharap belajar di sekolah membuat anak lebih terpacu. Selain bertemu guru langsung, bersama teman juga membangun rasa kompetisi.

Risiko Tertular
Pengalaman tak jauh berbeda dialami Marini (38). Ibu dua orang anak ini mengaku sangat kesulitan membagi waktu antara pekerjaan rumah dan membimbing anak selama PJJ. Terutama terhadap anak keduanya yang masih kelas empat SD. Tanpa pemantauan Marini, bocah itu akan menghabiskan waktu untuk bermain atau tidur.
Namun meski bakal kerepotan, toh dia berharap anaknya tetap melanjutkan PJJ sekalipun tahun depan sekolahnya dibuka. Risiko penularan covid-19 dianggap lebih gawat ketimbang tertinggal pembelajaran. Apalagi ada anggota keluarga yang sepuh tinggal bersama mereka.
“Khawatir juga mereka ketularan virus itu dan menularkan ke yang lain. Soalnya ada orang tua juga di rumah. Orang yang lebih tua katanya rentan ketularan virus,” ungkap Marini kepada Validnews, Rabu (3/12).
Marini mengatakan, pembukaan sekolah mesti dipikirkan masak-masak karena anak-anak sulit diatur. Tak ada yang bisa menjamin mereka disiplin protokol kesehatan saat di jalan menuju atau pulang sekolah.
Dampak Negatif PJJ
Soal sekolah dengan tatap muka, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang diumumkan pada 20 November 2020, menyebutkan bahwa zonasi covid-19 bukan lagi penentu izin membuka sekolah. Setiap sekolah di semua zona mulai 2021 boleh dibuka asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam kebijakan itu.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengklaim kebijakan yang mulai berlaku Januari 2021 ini adalah hasil rapat bersama kementerian dan lembaga terkait. Serta masukan dari para kepala daerah dan berbagai pemangku kepentingan di sektor pendidikan.
“Mereka menyatakan bahwa walaupun PJJ sudah terlaksana dengan baik, tetapi terlalu lama tidak melakukan PTM akan berdampak negatif bagi anak didik,” kata Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud, Evy Mulyani, kepada Validnews, Rabu (2/12).
Ada tiga dampak negatif yang dimaksud. Pertama, ancaman putus sekolah. Ini disebabkan anak terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga dan banyak orang tua memandang sekolah tidak punya peran dalam proses PJJ.
Kedua, dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak. Antara lain disebabkan kesenjangan capaian belajar selama PJJ dan risiko learning loss atau hilangnya pembelajaran jangka panjang baik kognitif maupun perkembangan karakter.
Sementara dampak negatif ketiga berupa tekanan psikososial. Minimnya interaksi dengan guru, teman, dan lingkungan luar membuat anak stres. Lalu diperburuk dengan berbagai kendala PJJ. Selain itu, tak sedikit anak mengalami kekerasan di rumah tanpa terdeteksi guru.
Evy menekankan, SKB 4 Menteri tidak mewajibkan sekolah untuk menggelar PTM, tetapi membolehkan dengan persyaratan berjenjang. Mulai dari penentuan izin oleh pemerintah daerah, pemenuhan daftar periksa oleh pihak sekolah, dan mendapat persetujuan dari komite sekolah.
“Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan untuk memberikan penguatan peran pemerintah daerah (pemda) atau kantor wilayah Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pihak yang paling mengetahui dan memahami kondisi, kebutuhan, dan kapasitas daerahnya,” ujar Evy.
Persoalannya, SKB 4 Menteri teranyar tersebut tidak mengatur sistem pengawasan atas penerapannya. Bukan tidak mungkin akan ada sekolah atau pemda yang menerobos, seperti yang terjadi pada SKB 4 Menteri yang berlaku saat ini.
Data Kemendikbud per 18 November 2020, misalnya, menyatakan ada 12% sekolah di zona oranye dan 8% sekolah di zona merah dibuka. Padahal membuka sekolah hanya diperbolehkan di zona kuning dan hijau.
Terhadap absennya sistem pemantauan itu, Kemendikbud bersama Kemenag merancang sosialisasi gencar untuk memastikan pemahaman yang tepat atas SKB 4 Menteri. Selanjutnya kepala sekolah diharap menyiapkan pemenuhan daftar periksa. Koordinasi antardinas untuk memverifikasi daftar periksa itu pun wajib dilakukan.
“Dinas pendidikan melalui verifikasi di lapangan harus memastikan pemenuhan daftar periksa dan penyiapan protokol kesehatan terlaksana dengan baik sebelum PTM dimulai. Dinas kesehatan harus memastikan kesiapan fasilitas layanan kesehatan setempat,” jelasnya.
Risiko Lonjakan Kasus
Di sisi lain, data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDA) per 29 November 2020 menunjukkan angka kematian anak mencapai 3,2% dari total kasus kematian akibat covid-19 di Indonesia. Angka tersebut merupakan yang tertinggi di Asia-Pasifik saat ini. Kemudian satu dari sembilan kasus konfirmasi positif covid-19 Indonesia adalah anak usia 0–18 tahun.
Ketua Umum IDAI, Aman B. Pulungan, menuturkan anak yang tidak bergejala atau bergejala ringan dapat menjadi sumber penularan kepada orang lain. Bahkan, sebenarnya, anak juga dapat mengalami gejala berat akibat infeksi ringan covid-19 yang dialami sebelumnya. Pembukaan sekolah untuk PTM, lanjut dia, mengandung risiko tinggi terjadinya lonjakan kasus covid-19.
“Pelaksanaan kegiatan belajar dari rumah merupakan hal yang sulit, namun sangat perlu diterapkan. Mengingat saat ini jumlah kasus konfirmasi covid-19 di Indonesia masih terus meningkat,” tulis Aman dalam keterangan resmi, Rabu (2/12).
Beberapa negara sudah mengalaminya. Korea Selatan, Prancis, Amerika, dan Israel, adalah di antaranya. Jumlah kasus di negara-negara itu meningkat signifikan pasca-sekolah dibuka.
Aman tak memungkiri, terhentinya PTM di sekolah akibat pandemi menyebabkan sejumlah dampak buruk pada anak. Antara lain tingkat stres pada anak meningkat, pernikahan dini, dan ancaman putus sekolah. Namun, bagaimanapun, IDAI memandang model PJJ cenderung lebih aman bagi anak.
Situasi ini ibarat maju kena, mundur pun kena. Aman menegaskan pentingnya meminta saran dinas kesehatan dan organisasi profesi kesehatan di masing-masing daerah. Data epidemiologi tetap mesti menjadi pertimbangan. Pada akhirnya, orang tua menjadi penentu terakhir keputusan.
Satriawan Salim, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), menyoroti hal lain. Ketidakjelasan sistem pengawasan SKB 4 Menteri menjadi yang disoal. Pemerintah tampak cenderung lepas tanggung jawab dengan menyerahkan kewenangan penuh membuka sekolah kepada pemda.
“Supaya Kemendikbud dan Kemenag tidak terkesan lepas tanggung jawab, mereka tetap harus memverifikasi kesiapan-kesiapan sekolah itu langsung ke lapangan satu demi satu. Tidak boleh random. Karena satu nyawa itu sama dengan nyawa gubernur atau bupati,” kata dia kepada Validnews, Selasa (3/12).
Dia mengusulkan pada pemerintah untuk membentuk satgas khusus di setiap daerah. Tim ini bertugas mengawasi mobilitas siswa saat mereka berada di luar lingkungan sekolah usai jam pelajaran. Jadi siswa bisa dipastikan langsung pulang ke rumah, terutama mereka yang tidak diantar-jemput anggota keluarganya.
“Jadi kalau anaknya kedapatan keluyuran main PS, ke warnet, apalagi tidak pakai masker. Langsung usir, bubarkan saja, disuruh pulang. Karena potensi terkena covid-19 itu sebenarnya ya besar juga di luar sekolah,” imbuh dia.

Mengurangi Disparitas
Menurut Satriwan, risiko ketidakefektifan PTM sebetulnya sama tingginya dengan PJJ. Sebab lama waktu belajar di sekolah sangat singkat. Diperkirakan tak akan lebih dari empat jam. Risiko learning loss yang kerap kali ditekankan Mendikbud Nadiem Makarim, tetap tidak terhindarkan.
Tetapi dia menduga bahwa risiko loss learning akan jauh bagaimanapun akan lebih besar jika PJJ berlangsung lebih lama. Siswa dari keluarga kurang mampu atau tinggal di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) pasti mengalaminya. Keterbatasan fasilitas untuk melakukan PJJ daring, keterbatasan jumlah guru untuk home visit PJJ luring, dan sulit dan mahalnya akses jalan ke rumah siswa, menjadi penyebabnya.
Salah satu contohnya terjadi di Lampung Barat. Dia mendapat laporan dari guru-guru di sana bahwa PJJ daring tak mungkin karena akses internet sangat buruk. Sementara mereka kesulitan melakukan home visit lantaran jarak rumah antara satu siswa dan yang lain sangat berjauhan.
Kemudian di pedalaman Bojonegoro, Jawa Timur, Satriwan menceritakan guru-guru harus menyewa motor trail kepada PT Perhutani untuk mendatangi rumah siswa. Tak lain karena medan yang mereka lalui berupa perkebunan teh. Usai hujan, dipastikan kondisi jalan tak bersahabat untuk dilintasi kendaraan biasa.
Di samping itu, dia berpendapat PTM di sekolah juga tidak akan benar-benar menghilangkan stres siswa. Pembatasan interaksi dan aktivitas siswa diatur sedemikian ketat di dalam SKB 4 Menteri. Jika sekolah benar-benar disiplin mematuhinya, dampaknya justru juga berat bagi siswa.
Misalnya, dua bulan pertama sekolah dibuka, kegiatan ekstrakurikuler belum dibolehkan, demikian juga kegiatan olahraga. Kantin harus ditutup, siswa tidak boleh berada di luar kelas saat jam istirahat, dan saat usai sekolah pun tak boleh berkumpul. Aktivitas dan ruang-ruang itulah yang menjadi tempat perjumpaan mereka dengan teman-temannya.
“Kondisi seperti itu membuat siswa juga tertekan karena mereka terbatas interaksinya. Justru yang mereka kangen atau idam-idamkan selama delapan bulan ini adalah bercengkrama, kumpul ramai-ramai di kantin sambil minum dan mengobrol, bermain futsal di lapangan. Itu yang mereka ingin lakukan, makanya mereka jenuh dan tertekan di rumah,” ujar Satriwan.
Gagal Mentransformasi
Praktisi pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis, Indra Charismiadji, mengungkapkan pemerintah terkesan selalu mengarusutamakan PTM sejak SKB 4 Menteri pertama diterbitkan pada Maret 2020. Posisi PJJ di dalam SKB 4 Menteri terbaru juga seolah diabaikan tanpa perbaikan berarti.
Sementara sebagian siswa tetap akan melakukan PJJ, meskipun sekolah sudah dibuka mulai Januari 2020. Menurut dia, pandemi covid-19 menjadi waktu yang tepat untuk mengupayakan digitalisasi pendidikan. Bahkan, terlepas dari pandemi, digitalisasi pendidikan dipandang sudah waktunya jadi agenda pemerintah.
“Kenapa tidak dibuat panduannya. Itu yang tanda tanya besar. Seharusnya yang paling tebal justru panduan PJJ-nya, bukan tatap mukanya. Tetapi kan ini isinya adalah tatap muka semua. Kenapa tidak ada satu pun panduan untuk PJJ-nya? Jangan-jangan memang tidak mengerti,” tukas Indra kepada Validnews.id, Selasa (1/12).
Mengutamakan PTM dinilai sebagai wujud kegagalan Nadiem untuk melakukan upaya itu. Sebab, khalayak beranggapan bahwa mantan bos Gojek inilah yang paling tahu urusan digitalisasi. Atas ekspektasi itulah dia diangkat sebagai menteri.
“Kita berharap punya Mendikbud yang paling mengerti urusan digitalisasi pendidikan, tapi faktanya malah tidak mengerti. Akhirnya malah menjerumuskan anak-anak kita. Ini yang terjadi sekarang. Itu kesan yang saya lihat. Dan bukan berarti memang PJJ gagal. Banyak sekolah-sekolah yang sukses bertransformasi,” ungkapnya.
Indra menyebut risiko learning loss tak bisa jadi alasan memaksakan PTM. Risiko itu sudah terjadi sebelum pandemi akibat mutu pendidikan nasional yang memang buruk. Ini berpangkal dari mandeknya upaya peningkatan kompetensi guru. Sejak sekolah ditutup dan PJJ bergulir pun tidak ada program pemerintah yang dinilai benar-benar serius mengatasi masalah krusial ini.
Alih-alih mencegah risiko learning loss, Indra berpendapat pemerintah malah terkesan cuci tangan atas ketidakmampuannya mengatasi masalah rendahnya mutu guru. Padahal sebenarnya banyak guru yang memiliki kemauan membuat terobosan untuk pembelajaran yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Sekelompok guru SMA di Surakarta, misalnya. Mereka membuat pembelajaran kolaboratif selama pandemi. Mereka memberi tugas kepada siswa dengan memadukan beberapa mata pelajaran. Penekanannya pada literasi, numerasi, dan karakter. Hasil dari tugas itu berupa produk antara lain podcast, vlog, dan antologi cerpen.
“Banyak sekolah-sekolah yang sukses bertransformasi. Artinya, guru-guru memang bisa berubah kok kalau dilatih yang benar,” pungkas Indra. (Wandha Nur Hidayat, Maidian Reviani)