02 Mei 2019
19:47 WIB
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA – “Tolak Outsourcing”. Dua kata itu menjadi yang lumayan banyak terpampang pada spanduk-spanduk yang dibawa massa buruh saat aksi May Day, Rabu (1/5). Tiap tahun buruh tak bosan-bosan menyerukan penolakan sistem kerja tersebut. Bagi mereka, praktik outsourcing ini sedari awal kemunculannya hanya menambah problematik hubungan industrial.
Di sisi lain, seruan dukungan atas perjuangan buruh selama ini terus mengalir. Indrasari Tjandraningsih dkk dalam bukunya yang berjudul Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh Di Sektor Metal di Indonesia, bahkan menulis jika praktek kerja outsourcing telah membawa efek eksploitatif, diskriminatif, degradatif, dan fragmentatif bagi buruh.
Sistem kerja ini disebut eksploitatif lantaran buruh kontrak dan outsourcing memiliki beban kerja yang sama, namun hak mereka berbeda. Lalu terjadi pula diskriminasi pada usia dan status perkawinan, upah dan hak berorganisasi.
Ada perusahaan yang mensyaratkan hanya merekrut calon pekerja usia 18–24 tahun dengan status lajang. Alasannya, mereka dianggap lebih produktif dengan kondisi tanpa tanggungan seperti itu.
Dari sisi upah, pekerja kontrak dan outsourcing juga mengalami perbedaan. Dalam buku yang terbit pada tahun 2010 itu disebutkan rata-rata upah total atau keseluruhan buruh outsourcing 26% lebih rendah dari upah buruh tetap. Mereka juga secara langsung dan tidak langsung dilarang untuk berserikat.
Waktu kerja yang rata-rata hanya berlangsung dengan masa kontrak setahun dan menerima upah minimum serta tunjangan lebih kecil, menurut Indrasari, dkk berdampak pada degradasi atau penurunan kondisi kerja dan kesejahteraan buruh. Sistem ini juga memicu terjadinya fragmentasi atau pengelompokan buruh dalam pabrik berdasarkan status hubungan kerja mereka; buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing.
Argumentasi Indrasari ini bukan tanpa dasar, tapi mengacu pada temuan penelitian terhadap 600 buruh yang bekerja pada sektor metal di 3 provinsi di 7 Kabupaten/ Kota. Penelitian itu didukung pula dengan FGD dan wawancara mendalam dengan pihak terkait.
Ironisnya, bertahun-tahun setelah buku itu terbit, kondisi yang merugikan pekerja outsourcing ini masih terjadi, termasuk pada perusahaan milik badan usaha milik negara (BUMN). Pengalaman salah satu mantan pekerja outsourcing pada salah satu sektor perbankan milik BUMN, sedikit banyak menguatkan temuan Indrasari dkk tersebut.
Sebut saja Okta (27), yang sempat bekerja di salah satu bank BUMN ternama. Lulusan program diploma itu pernah terpaksa menjadi pekerja outsourcing, lantaran perusahaan yang ditujunya ini mensyaratkan posisi yang diincarnya mensyaratkan gelar sarjana.
Perusahaan itu bekerja sama dengan perusahaan outsourcing untuk beberapa posisi tertentu dan hanya menerima pegawai yang bergelar diploma hanya melalui perusahaan outsourcing. Ini terjadi meski calon pekerja direkrut untuk mengisi bagian core atau pekerjaan inti.
Situasi inilah yang sempat dialami oleh Okta. Walaupun dia menduduki posisi Mikro Kredit Analis (MKA), statusnya tetaplah pegawai outsourcing. Tugasnya tiap hari menginput data calon debitur, menganalisis kemampuan pembayaran, dan melakukan survei.
"Kerjaannya sama kaya karyawan tetap yang lain," cerita Okta, kepada Validnews, Rabu (1/5).
Padahal, dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) 19 Tahun 2012 disebutkan, hanya lima jenis pekerjaan yang boleh diisi oleh pekerja outsourcing dan itu harus di luar kegiatan produksi inti. Kelima sektor itu, yakni tenaga kebersihan, penyedia makanan, tenaga keamanan, jasa penunjang pertambangan dan perminyakan, serta jasa penyedia angkutan bagi pekerja.
Alhasil, meski secara beban kerja tetap sama, namun fasilitas yang diterima Okta berbeda. Dari sisi asuransi, misalnya diamengatakan kalau batasan biaya yang ditanggung berbeda.
Dari sisi gaji pun juga tak sama. Dibandingkan pegawai tetap, gaji pegawai outsourcing di perusahaan itu lebih rendah. Tiap bulannya pun pegawai outsourcing harus rela gaji, bonus dan Tunjangan Hari Raya (THR)-nya dipotong oleh perusahaan penyalur jasa outsourcing. Pihak penyalur beralasan, kabarnya, memang mendapat keuntungan dari situ.
"Padahal sama-sama staf di bagian yang sama, tapi gajinya beda. Lebih tinggi yang pegawai tetap. Terus kalau dapat bonus, aku cuma satu kali gaji, kalau pegawai sana bisa di atas 10 kali gaji," keluhnya.
Baginya, bekerja sebagai pekerja outsourcing bagaikan anak tiri dalam perusahaan. Hingga akhirnya, setelah empat tahun bekerja sebagai pegawai outsourcing, Okta memutuskan untuk resign. Saat ini, ia merasa lebih nyaman bekerja di perusahaan swasta tanpa menggunakan jasa penyalur outsourcing.
Selain karena ada jenjang karir yang jelas, ia pun juga merasa hak-haknya lebih terpenuhi. Ia mengaku tak menyesal keluar dari perusahaan BUMN ternama.
"Cuma namanya saja yang keren. Perusahaan besar, tapi gajinya kecil," ucapnya.
Diskriminasi Hak
Di Indonesia, legitimasi pelaksanaan outsourcing ini sendiri didukung dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang UU Ketenagakerjaan, khususnya pasal 56-59 dan pasal 64-66. Dalam aturan tersebut, istilah outsourcing lebih dikenal dengan sebutan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
Praktiknya sendiri sudah ada sejak era Orde Baru. Pemerintah saat itu mengaturnya melalui Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 264/Kp/1989 tentang Peraturan Pekerja Subkontrak, Khususnya Di Kawasan Berikat.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2011 sendiri, telah memutuskan sistem outsourcing ini memang melanggar hak-hak pekerja. Melalui putusan itu pula MK mencoba menawarkan solusi yakni adanya perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau syarat pengalihan perlindungan hak buruh berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Namun, lagi-lagi dalam praktiknya tak sesuai dengan semua aturan yang ada.

Jika dievaluasi dari kaca mata perspektif pekerja, memang masih banyak catatan kritis terhadap pelaksanaan sistem outsourcing di Indonesia. Direktur Eksekutif Trade Union Right Centre (TURC) Andriko Otang menyebut, pelaksanaan sistem outsourcing di Indonesia masih menjadi hal yang problematis.
Terlebih, dalam sistem ini memang mendorong terjadinya diskriminasi tenaga kerja. Hal itu dikarenakan dalam sistem outsourcing ini ada pengalihan skema tanggung jawab dari user (perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing), dengan perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing. Saat ada persoalan dengan tenaga kerja, perusahaan pengguna tidak bertanggung jawab.
“Kewajibannya melekat pada user, tetapi kalau bicara soal hak baru melekatnya kepada perusahaan penyalur tenaga kerja outsourcing. Kalau soal kewajiban pekerja outsourcing harus mengikuti aturan user. Tetapi kalau bicara hak, usermenggunakan standar penyalur, bukan standar perusahaannya. Ini penyebab terjadinya praktik diskriminasi di tempat kerja,” beber Andriko, kepada Validnews, Selasa (30/4).
Dalam proses rekrutmennya pun, sistem outsourcing juga membuka lebar peluang penyimpangan, seperti penipuan. Andriko mengungkapkan, ada oknum perusahaan penyalur tenaga outsourcing yang mengiming-imingi calon pekerja, untuk membayar sejumlah uang kepada mereka, dengan janji akan memasukkan ke perusahaan ternama.
Mereka juga terkadang dijanjikan akan dipanggil oleh perusahaan yang dituju jika sudah membayar uang yang diminta.
“Ini model-model yang banyak terjadi di lapangan,” ungkapnya.
Selain itu, ditemukan pula perusahaan penyalur tenaga outsourcing yang tidak berbadan hukum. Padahal, dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan disebutkan, perusahaan yang menyediakan jasa tenaga kerja outsourcing haruslah berbadan hukum.
Penggunaan sistem outsourcing pun juga dianggap lebih menguntungkan perusahaan. Sebab, dalam sistem ini tanggung jawab perusahaan menjadi tidak besar. Perusahaan tak perlu repot harus mengeluarkan pesangon, mana kala terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Perusahaan juga untung karena tak perlu harus membayar asuransi jaminan sosial karena kewajiban itu ada di perusahaan penyalur jasa tenaga kerja.
“Jadi ketika dispute, mereka tidak harus pusing-pusing ibaratnya,” ucapnya.
Oleh karena itu, sistem outsourcing ini bagi pekerja tidak cukup menjawab kebutuhan untuk mendapatkan kepastian tenaga kerja. Mereka rentan menghadapi diskriminasi hak. Andriko menyebut dalam praktiknya sangat kental adanya diskriminasi antara hak pekerja outsourcing, pekerja kontrak, dan pekerja tetap.
“Pekerja outsourcing bagaikan anak tiri dalam struktur organisasi perusahaan,” jelasnya.
Sedangkan perusahaan outsourcing, kehadirannya tak jauh berbeda dengan broker. Menurut Andriko, mereka bukan membuka kesempatan kerja, tapi hanya menyalurkan jasa tenaga kerja saja.
"Kalaupun memang alasannya untuk perluasan kesempatan kerja seluas-luasnya jadi terbantahkan, toh mereka tidak membukakan lapangan kerja, mereka hanya menyalurkan saja,” paparnya.
Ia pun meragukan jika memang alasan perusahaan merekrut tenaga outsourcing hanya untuk efisiensi. Pasalnya ia yakin pada dasarnya perusahaan sudah dapat memperkirakan kemampuan untuk merekrut pekerja yang sesuai dengan anggaran dan beban kerja pegawainya.
Andriko malah khawatir, pelaksanaan sistem ini hanya untuk pengalihan tanggung jawab dari perusahaan pengguna jasa ke perusahaan penyedia jasa outsourcing. Dilakukan perusahaan demi akumulasi modal sebesar-besarnya.
“Itu sama saja kita mengeksploitasi. Kayak model sekarang, mau untung banyak bayarnya sedikit tetapi kita mau jasanya juga banyak. Itu tidak fair, itu praktik bisnis yang tidak sejalan dengan pemenuhan hak asasi manusia,” terangnya.
Pengawasan Lemah
Adapun penyebab utama terjadinya pelanggaran dalam praktik outsourcing di Indonesia ini yakni lemahnya pengawasan. Andriko menjelaskan, minimnya jumlah pengawas dan anggaran membuat pengawasan di lapangan menjadi kurang.
Selain itu, adanya peralihan wewenang pengawasan yang semula berada di tingkat kabupaten atau kota menjadi di tingkat provinsi, membuat jangkauan yang harus diawasi semakin luas. Berdasarkan data yang dikaji oleh TURC, pada tahun 2016 saja ada 1.923 orang pengawas dengan jumlah perusahaan mencapai 252.880 perusahaan.
Dari data itu, jika dirasiokan menjadi 1:132. Artinya, satu pengawas harus mengawasi 132 perusahaan yang tersebar di kabupaten atau kota. Pengawasan baru dilakukan terhadap perusahaan, belum pekerjanya.
“Secara konsekuensi jumlah perusahaan yang harus diawasi akan semakin banyak. Ini yang menjadi salah satu akar permasalahan dalam pengawasan,” katanya.
Kendati jumlah pengawas menjadi tantangan, namun menurut Andriko hal itu dapat diatasi dengan perbaikan tata kelola. Namun, tata kelola pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia pun saat ini sifatnya masih pasif.
Terkadang pengawas baru mengunjungi perusahaan yang bermasalah untuk melakukan inspeksi kalau ada aduan saja. Kalau pun kemudian dilakukan inspeksi, hasil pengawasan yang telah dilakukan juga tak diberikan kepada pekerja. Akhirnya, pekerja tak mengetahui hasil temuan dari pengawas.
“Ini tata kelola yang membuat pengawasan ketenagakerjaan kita lemah. Padahal pengawasan ini memiliki peran yang strategis untuk penegakan aturan norma ketenagakerjaan kita,” pungkasnya.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Triono turut mengamini, masalah pengawasan masih menjadi kendala dalam melindungi pekerja outsourcing. Dari sisi jumlah pengawas menurutnya memang tak sebanding dengan jumlah perusahaan yang ada.
“Pengawasan bahkan bukan cuma outsourcing saja, untuk pengawasan masih kurang,” kata Triono, saat dihubungi Validnews, Rabu (1/5).
Meskipun saat ini wewenang pengawasan telah berada di tingkat pusat, namun pada praktiknya masih ada daerah yang tak memiliki jumlah pengawas yang sebanding dengan potensi industri di daerahnya.
Berdasarkan hasil penelitian Triono yang dilakukan tahun 2016 di Batam, pusat industri di Kepulauan Riau itu mengalami kekurangan pengawas. Kondisi itu kata dia juga terjadi di daerah lainnya. Seperti saat ia mengunjungi kota Bandung, yang mana ditemukan juga persoalan dalam pengawasan terhadap perusahaan yang ada di kota itu.
Lalu dari sisi upah, menurutnya masih ditemukan pula pekerja yang tak memperoleh upah sebagaimana Upah Minimum Regional (UMR) yang telah ditetapkan. Sedangkan dari sisi jaminan sosial, masih ada pekerja outsourcing yang belum mendapat jaminan penuh, seperti jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian.
Padahal jaminan seperti sangat penting untuk dimiliki mereka. Menurut Triono, bagaimanapun, pekerja memiliki faktor-faktor risiko saat menjalankan tugasnya.
Di tengah minimnya pengawasan ini, maka menjadi penting bagi serikat buruh untuk meningkatkan pengawasan terhadap praktik outsourcing di Indonesia. Peran serikat buruh sangat penting dalam meningkatkan pengawasan
“Pengawasan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, tetapi juga dari teman-teman serikat buruh mengingat fungsi serikat buruh untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengawal hal-hal yang dapat merugikan buruh,” jelasnya.
Aturan Tak Sinkron
Triono juga menilai, secara umum, undang-undang dan pelaksanaannya tidak sinkron. Pasalnya, dalam praktiknya tak sesuai dengan aturan regulasi yang ada.
“Undang-undang sama pelaksanaannya masih belum sinkron. Kalau di UU hanya lima jenis pekerjaan yang boleh outsourcing, tetapi dalam praktiknya itu masih banyak jenis lain yang di outsourcing,” jelasnya.
Praktik outsourcing ini pun kian semakin subur lantaran besarnya penawaran tenaga kerja yang tak sebanding dengan kesempatan kerja yang ada. Praktik outsourcing juga dianggap sebagai jalan keluar untuk efisiensi perusahaan. Semakin banyak pegawai outsourcing pada suatu perusahaan, maka tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk membayar pesangon.
Ketua Harian Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi juga mengutarakan hal yang senada. Menurut dia, penerapan sistem outsourcing di Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam UU Ketenagakerjaan. Kondisi ini kian diperparah dengan lemahnya penegakkan hukum dari pemerintah.
Rusdi mengungkapkan, KSPI tidak sedikit menemukan pengusaha yang masih menempatkan buruh outsourcing di sektor-sektor yang berkaitan erat dengan kegiatan inti usaha (core business). Contohnya, teknisi mesin di pabrik dan posisi kasir (teller) di bank.
Para pengusaha juga kerap mengaburkan makna core business. Dia menilai hal itu mungkin terjadi karena pendefinisian istilah tersebut hanya diputuskan oleh asosiasi perusahaan secara sektoral, misalnya asosiasi perusahaan otomotif.
“Mereka menentukan secara sepihak pekerjaan ini masuk core business atau bukan,” tutur Rusdi kala ditemui Validnews, Senin (29/4).
Selain itu, ia juga mendapati modus pelanggaran lain dari praktik outsourcing di Tanah Air, seperti pemberhentian secara sepihak tanpa pesangon. Pemberhentian ini biasanya dilakukan guna mengakali kewajiban mengangkat buruh outsourcing dengan masa kerja yang sudah tergolong lama.
“Mereka biasanya dijeda dulu seminggu kemudian baru masuk lagi dengan masa kerja 0 tahun. Bisa juga dipekerjakan kembali dengan majikan yang berbeda. Anehnya, pekerjaannya tetap tapi perusahannya beda,” jelas dia.
Ironisnya, BUMN pun juga katanya turut ambil bagian dalam mengimplementasikan praktik outsourcing yang salah. Menurut Rusdi, temuan pihaknya terhadap keberadaan buruh outsourcing dalam tubuh perusahaan negara itu sangat signifikan. Mulai dari posisi sopir truk tangki PT Pertamina, petugas pencatatan listrik PT PLN, dan petugas penarik kabel milik PT Telkom.
“Menurut Pertamina misalnya, posisi itu bukan core bisnis karena cuma sopir truk tangki,” terangnya.
Saat Kementerian BUMN dinakhodai Dahlan Iskan pada tahun 2014, DPR sebenarnya telah merekomendasikan pengangkatan buruh outsourcing di perusahaan pelat merah, namun hasilnya nihil.
Sampai saat ini, progres pengangkatan itu tak kunjung terlihat. Persoalan ini pun seakan macet sebab Kementerian BUMN disebut tak pernah hadir ketika diundang oleh DPR.
Berkaca dari kondisi tersebut, ia menilai, pemerintah tidak menunjukkan sikap tegas dalam melakukan pengawasan. Bahkan, BUMN yang seharusnya bisa menjadi contoh baik bagi perusahaan swasta malah jadi lakon utama menyalahgunakan buruh outsourcing.
Adapun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2011 merekomendasikan mekanisme Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau syarat pengalihan perlindungan hak buruh berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak membawa dampak signifikan pada perbaikan kondisi buruh outsourcing.
Putusan MK itu terasa seperti angin lalu, sementara perusahaan terus melanggar tanpa peduli dan kena sanksi. Padahal, dia menilai, MK lewat putusan tersebut sebetulnya mengisyaratkan tak lagi memberi kesempatan kepada perusahaan, untuk menggunakan buruh outsourcing pada pekerjaan yang sifat objeknya tetap, kendati bersifat penunjang. Semisal untuk tenaga pengamanan, kurir, teller,maupun customer service.
“Tidak banyak perubahan atau manfaat subtanstif yang dirasakan buruh outsourcing dari putusan MK itu karena pemerintah lemah terhadap penegakan hukum,” ujar Rusdi.
Karenanya, KSPI dalam waktu dekat menginginkan implementasi sistem outsourcing minimal bisa berjalan sesuai UU yang berlaku. Dalam hal ini, sektor-sektor penting yang menjadi ujung tombak aktivitas bisnis bisa steril dari praktik outsourcing.
Kelompok serikat buruh juga kukuh menuntut pemerintah untuk segera mengangkat buruh outsourcing di tubuh BUMN, dengan harapan perusahaan swasta bisa mengikuti. Rusdi mengatakan, selama BUMN belum patuh pada aturan, maka selama itu pula perusahaan swasta akan terus melanggar pelaksanaan outsourcing yang sesuai.
Masalah Pendefinisian
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf juga mengakui kalau implementasi sistem outsourcing di Indonesia memang masih diwarnai ketidakjelasan dan berbagai modus pelanggaran. Salah satu yang mendasar adalah penentuan sektor pekerjaan inti (core business) dan sektor penunjang yang masih menuai perdebatan.
“Kita harus bisa bedakan mana yang inti dan tidak inti. Itu yang dilematis sampai sekarang belum didudukkan dengan baik,” tutur Dede kala dihubungi Validnews, Selasa (30/4).
Menurutnya, UU Ketenagakerjaan 13/2003 tidak mengatur secara detail sektor mana saja yang termasuk dalam inti usaha maupun bukan inti usaha. Sebab, apabila UU berbicara terlalu rinci, dikhawatirkan tidak sesuai dengan keperluan masing-masing sektor usaha, pun tidak bisa mengikuti perubahan zaman.
Dede mengatakan, aturan teknis tentang pendefinisian sektor inti usaha dan sektor penunjang seharusnya datang dari pemerintah. Sayangnya, Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 19/2012 yang kini jadi acuan, tidak cukup menjawab kebutuhan buruh dan pengusaha karena ditetapkan secara sepihak oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
“Seharusnya dikerjakan tidak hanya oleh mereka tetapi juga Kemenperin, Kemendag, termasuk Kementerian BUMN. Kemenaker perlu mengadopsi kondisi dari masing-masing sektor itu,” jelasnya.
Pasalnya, kata Dede, setiap bidang usaha akan memiliki pendefinisian berbeda terkait mana sektor usaha inti dan sektor penunjang. Semisal dalam usaha katering, tenaga memasak menjadi pekerjaan inti. Pekerja memasak dalam hal ini harus berstatus sebagai karyawan tetap dan tidak boleh dialih daya.
Sementara untuk Kementerian BUMN, ia menekankan, mereka perlu adanya pendefinisan inti bisnis yang mengikat. Sebab, pihaknya menemukan mayoritas pekerja dalam perusahaan negara ini berstatus outsourcing, khususnya di bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Meski mengabdi pada perusahaan negara, buruh outsourcing ini tak mempunyai jenjang karir, tidak ada kenaikan upah, hingga pemecatan dan perekrutan seenaknya.
“Kalau misalnya BUMN tidak bisa menghapus outsourcing maka swasta akan mengikuti. Mereka mengatakan pemerintah aja begitu kok,” ucap pria 52 tahun itu.
Dede menegaskan, praktik peyediaan jasa tenaga kerja outsourcing melalui anak perusahaan BUMN merupakan contoh yang salah. Ia pun menilai, keberadaan anak perusahaan BUMN yang khusus mengurusi perekrutan pekerja ini sebaiknya dihapuskan.
Pasalnya, ketika timbulnya eskalasi konflik yang lebih besar, perusahaan induk berpotensi melepaskan posisi anak perusahaan tersebut. Perusahaan induk bisa saja berdalih, mereka bukan karyawannya sehingga status pekerja menjadi taruhan.
Oleh karena itu, Dede berpandangan sama dengan kelompok buruh untuk lebih baik menghapuskan sistem outsourcing. Menurutnya, praktik sistem outsourcing selama ini tidak pro pada kesejahteraan buruh dan mencerminkan keadilan sosial.
Dia menilai, wacana itu menjadi mungkin dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Artinya, dengan kondisi perekonomian yang lebih baik idealnya bisa meningkatkan pemenuhan hak-hak buruh yang layak. Mulai dari peningkatan upah, komponen hidup layak (KHL), dan jaminan sosial. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya memperoleh pekerjaan, melainkan juga ada kepastian dalam bekerja.
“Di negara yang ekonominya masih penuh kehati-hatian maka outsourcing biasanya jadi jalan pintas untuk perusahaan agar tidak terbebani masalah jaminan yang berkelanjutan. Ini tidak adil karena pekerja tidak ada jenjang karir dan harapan untuk berkembang,” pandang dia.
Sebagai alternatif, menurut Dede, perusahaan bisa menerapkan sistem kontrak (contract based) dengan termin yang lebih panjang, misalnya 3 atau 5 tahun. Hal ini telah banyak diterapkan di negara-negara dan perusahaan-perusahaan besar.
Menurutnya, sistem contact based ini tergolong lebih baik dibanding outsourcing karena pekerja memiliki visi dan proyeksi yang lebih jelas. Tidak sekedar menghabiskan hari per hari untuk bekerja. Sebab, pada umumnya perusahaan menyertakan target tertentu di dalam kontrak kerja.
“Seperti misalnya saya artis dikontrak 3 tahun untuk menyelesaikan sekian ratus episode,” katanya.
Dengan adanya target itu, imbuhnya, pekerja mempunyai kesempatan untuk belajar dan berkembang. Sekalipun setelah kontrak habis harus berpindah kerja, pekerja memiliki kesempatan untuk menduduki posisi yang lebih baik dari sebelumnya. (Dana Pratiwi, Monica Balqis)