c

Selamat

Selasa, 7 Mei 2024

NASIONAL

30 Juli 2019

19:01 WIB

Nasib Kuliner Betawi Di Kampung Sendiri

Makanan Betawi dengan rasa yang autentik kian sulit ditemukan, bumbu yang mulai sulit di dapat, resep yang tak lagi terwariskan, sampai gempuran makanan modern jadi beberapa alasan

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Nasib Kuliner Betawi Di Kampung Sendiri
Nasib Kuliner Betawi Di Kampung Sendiri
Ilustrasi. Pengunjung mengaduk dodol betawi pada Festival Pasar Baru di Jakarta, Sabtu (13/7/2019). ANTARAFOTO/Indrianto Eko Suwarso

JAKARTA – Meski Betawi dikenal banyak orang sebagai etnis asli Ibu Kota, namun kini bukan hanya eksistensinya yang makin tergerus. Hasil olah rasa alias kuliner khas Betawi pun mulai sulit didapatkan. Beberapa makanan dan kudapan khas Betawi bahkan kini kian langka ditemukan karena hanya bisa dijumpai pada momen tertentu saja.

Hal ini dirasakan Jumroh Mamid, masyarakat asli Betawi yang tinggal di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Perempuan berusia 55 tahun ini bercerita, sekarang hanya bisa menikmati aneka ragam masakan Betawi saat acara festival Betawi, seperti Lebaran Betawi yang digelar setahun sekali.

“Agak susah memang kalau kita pengen masakan khas Betawi,” keluhnya.

Selain cuma sedikit yang menjual makanan tradisional Betawi, sekarang ini pun kata Jumroh, tak banyak masakan khas Betawi yang rasanya seautentik dulu. Jumroh membandingkannya dengan masakan Betawi buatan ibunya.

Menurut PNS salah satu instansi ini, masakan Betawi di masa lalu lebih ‘berani bumbu’, sehingga memiliki rasa yang kuat. Sejumlah bumbu yang digunakan dulu pun didapatkan dari rempah asli, bukan bumbu instan seperti yang banyak ditemui saat ini.

Masalah bumbu ini diakui oleh salah satu pedagang makanan tradisional Betawi, Nuryansih (40). Kepada Validnews, Senin (29/7), perempuan yang sudah delapan tahun membuka warung makanan Betawi ini menilai, penjual makanan Betawi sekarang, banyak yang tak ‘berani’ untuk urusan bumbu.

Padahal menurut dia, taburan bumbu rempah-rempah yang lebih banyak merupakan kunci pembeda masakan Betawi dengan makanan lainnya. Dia mencontohkan, antara semur Betawi dan semur Jawa.

Dari segi sajian, semur Betawi lebih memiliki kuah yang lebih kental dengan warna yang lebih hitam. Saat memakan semur Betawi, rasa merica, jinten dan pala yang tajam lebih santer terasa dibandingkan dengan semur Jawa.

Berani bumbu. Kalau semur Betawi lebih banyak kecap dan lebih pedas,” jelasnya.

Nuryansih sendiri mengaku, mendapatkan keahlian mengolah masakan tradisional Betawi dari orang tuanya. Berbekal resep orang tua, dia membuka warung makan di Cakung, Jakarta Timur, yang menyuguhkan masakan Betawi macam Oblok Bebek, Semur Betawi, Nasi Ulam dan Gabus Pucung.

Usaha kuliner yang lokasinya sekitar 4 kilometer dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur tersebut kini bahkan dikenal masyarakat sekitar punya menu Oblok Bebek yang gurih.

Walau senang makanan Betawi bikinannya laku, Nuryansih sebenarnya masih gundah. Lewat obrolan warung, ia tahu, masakan Betawi kini tak begitu populer di masyarakat.

Saking tak populernya, tak sedikit pelanggan di warung makan miliknya yang bertanya lebih jauh soal masakan Betawi, berikut cara mengolahnya.

Sedikit berbagi rahasia, untuk memasak Oblok Bebek, kunci kelezatannya adalah saat bebek diungkep (proses masak dengan api kecil agar bumbu meresep). Menurutnya, mengungkep menggunakan cara tradisional dengan panci biasa lebih disarankan karena akan menjaga cita rasa asli makanannya.

Sayangnya kebanyakan orang, justru memilih menggunakan panci presto (panci bertekanan tinggi) untuk mempercepat proses pengungkepan. Hal ini dinilainya justru akan merusak rasa autentik dari bebek itu sendiri.

 “Yang penting harus berani bumbu dan sabar masaknya. Jangan bumbu jadi atau yang sudah digiling di pasar,” dia mengingatkan.

Tak Populer
Pendapat Nuryansih soal makanan Betawi tak lagi populer di masyarakat sejatinya memang bukan sekadar perasaan atau dugaan dia semata. Hasil riset Dhian Tyas Untari, dkk, pada tahun 2017 membuktikan, pengetahuan warga Jakarta terhadap makanan tradisional Betawi makin minim.

Dalam jurnal berjudul “Betawi Traditional Cuisines; Reflection The Native Culture Jakarta”, Dhian, dkk menyebutkan, dari 150 jenis masakan tradisional Betawi, tinggal 6 makanan yang kini dikenal oleh masyarakat. Keenam masakan tersebut yakni gado-gado, soto Betawi, kerak telor, roti buaya, nasi uduk dan asinan Betawi. Ratusan makanan tradisional Betawi lainnya perlahan tapi pasti mulai terlupakan.

Riset yang melibatkan tiga komunitas di Jakarta ini, yakni suku asli Betawi, keturunan Betawi dan non-Betawi ini menemukan, hanya 4% koresponden yang familiar dengan makanan tradisional Betawi.

Sisanya, sebanyak 60% koresponden hanya sekadar ingat jenis makanan tradisional Betawi. Sebanyak 23% koresponden menyampaikan tidak mengetahui makanan tradisional Betawi. Sementara, 11% koresponden mengatakan, makanan tradisional Betawi hanya dikenal saat zaman dulu saja.

Dari riset yang dilakukan di lima kota administratif DKI Jakarta ini, juga ditemukan bila mayoritas koresponden hanya mengenal makanan Betawi jenis masakan rumahan dan jajanan pasar. Kedua jenis makanan itu biasa disantap saat sarapan.

Dhian, dkk pun menyimpulkan jika makanan tradisional tidak sering disajikan di rumah dan tidak sering dikonsumsi, akan mudah dilupakan.  

Soal makanan tradisional Betawi yang tidak populer lagi ini juga diakui oleh Peneliti kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra. Menurutnya, ada beberapa jenis makanan Betawi yang mulai langka. Contohnya, sayur babanci dan kue sengkulun.

Menurut Yahya, langkanya kuliner-kuliner itu lantaran ada ketidakmampuan generasi penerus untuk membuatnya. Pendeknya, khusus soal tradisi pewarisan resep kuliner tradisional, dipandang Yahya lemah.

“Orang sudah tidak mengerti lagi buatnya. Orang sekarang ini kan ingin praktis saja, dia tidak peduli lagi suguhan-suguhan, seperti apa yang dia beli di pasar, ya kasih aja (ke tamu). Cara yang praktis itu yang membuat orang lupa terhadap tradisi kulinernya,” kata Yahya, saat ditemui Validnews, Jumat (26/7).

Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) itu juga menilai muda-mudi Betawi, sudah enggan untuk mencoba kuliner asli daerahnya. Anak-anak muda kini lebih menggemari makanan-makanan non-tradisional.

“Mereka masih belum tahu bahwa dia punya makanan yang jauh lebih sehat, jauh lebih halal,” sesal Yahya.

Nilai Filosofi
Ia juga menyayangkan, masyarakat yang kerap keliru dengan nilai-nilai filosofi makanan Betawi. Yahya mencontohkan, seperti kisah pembuatan makanan pada roti buaya. Kebanyakan, orang mengetahui roti buaya sebagai simbol kesetiaan dalam acara pernikahan. Padahal, roti buaya ini simbol sumber kehidupan.

“Itu kan orang sekarang begitu mudah memaknai roti buaya, kesetiaan lah, umur panjang, kawin cuma sekali lah. Seserahan roti buaya itu, sebenarnya adalah penjaga sumber kehidupan,” terang Yahya.

Hanya saja, lanjut Yahya, semua pemaknaan atas filosofi tersebut juga semua tergantung pada momentum di mana kuliner Betawi itu disajikan. Misalnya, dodol Betawi bila disuguhkan bukan pada saat Lebaran, maka dodol hanya sekadar camilan biasa.

“Dodol itu kalau dibikin pada saat Lebaran, maka itu adalah kue yang merekatkan silahturahmi antara keluarga. Beras ketan itu menjadi simbol keguyuban, keakuran, kekuatan. Dia kan lengket,” tuturnya.

Hal yang sama juga pada sajian nasi uduk. Bila nasi uduk hanya dipakai untuk suguhan pada saat upacara pelepasan perahu baru, sajian tersebut dimaknai sebagai simbol penghormatan pemilik perahu.

“Tapi kalau disuguhkan sehari-hari, nasi uduk jadi makanan populer biasa,” tambah Yahya.

Begitu pula dengan sayur besan. Bila semula hanya simbol dari hantaran pada saat momen pernikahan saja, kini dikenal karena mulai sering disuguhkan dalam berbagai kegiatan. 

Makna mendalam juga sebenarnya hadir di nasi kuning ala Betawi. Nasi kuning yang berbahan dasar beras ketan itu, diyakini merupakan simbol dari kemuliaan. Tapi banyak masyarakat tak mengerti soal ini. Nasi kuning kini tak lebih dari sekadar menu sarapan.

Untuk membuat kuliner-kuliner khas Betawi itu kembali ‘hidup’ dan dikenal oleh anak-anak muda, pemerintah sebenarnya tidak diam. Yahya mengamati, pengetahuan budaya itu ke dalam muatan lokal sekolah. Namun hal ini menghadapi tantangan, mengingat anak-anak telanjur lama dijejali makanan cepat saji.

Masalah kreativitas juga menjadi tantangan dalam mempertahankan popularitas kuliner Betawi. Semisal dodol betawi yang kalah saing dengan dodol Garut. Menurut Yahya, kemasan dodol Garut lebih unggul karena bervariasi. Sementara kemasan dodol Betawi hanya dikemas dengan bentuk lonjoran saja.

Permasalahan daya saing ini lah yang akhirnya mulai digencarkan oleh LKB terhadap para pengrajin. Dia mengharapkan ada anak muda dan pengusaha yang berani mengembangkan bisnis kuliner Betawi.

“Tinggal keberanian dari anak-anak muda dan pengusaha untuk memunculkan. Harus diadopsi oleh produsen kuliner tradisional,” ucapnya.

Masalah Bumbu
President Indonesia Gastronomy Association Ria Musiawan juga mengamini, tak mudah bagi masyarakat sekarang ini untuk menemukan makanan khas Betawi. Padahal, kudapan dari Betawi begitu beragam.

Salah satu penyebab kelangkaan makanan tradisional Betawi menurutnya karena komponen bumbunya yang kini tak mudah didapatkan. Kasus ini seperti yang terjadi pada makanan khas Betawi, Babanci.

Makanan kuah yang rasanya menyerupai gulai ini memiliki 21 bumbu rempah-rempah. Namun, beberapa rempah-rempahnya sudah sulit didapatkan, misalnya seperti Temu Mangga, Kedaung serta buah Jali-jali.

“Sekarang banyak yang sudah tidak memasak lagi karena sulit mendapatkan rempah-rempahnya,” kata Ria, kepada Validnews, Sabtu (27/7).

Kecenderungan makanan khas tradisional di Indonesia disebutnya tergantung dengan rempah-rempah yang tersedia di tiap daerah. Oleh karena itu, perubahan lingkungan, dari semula ditumbuhi rempah-rempah atau buah-buahan kemudian menjadi bangunan, tentu dapat menghambat pengolahan makanan.

Situasi ini terjadi pada Babanci. Makanan ini langka karena buah Jali-jali juga langka. Tanaman ini dahulunya mudah ditemukan di daerah Jakarta karena masih ada yang menanamnya.

Kelangkaan dan minimnya pengetahuan masyarakat pada kuliner Betawi tentu sangat disayangkan. Sebab, dibandingkan makanan khas tradisional lainnya, menurut Ria, kuliner Betawi jauh lebih beragam.

Keberagaman kuliner di Betawi ini erat kaitannya dengan banyaknya pendatang ke Jakarta, baik pendatang dari luar negeri maupun daerah lain di Nusantara. Berbeda dengan makanan khas Padang yang lebih didominasi dengan makanan bersantan, karena pendatang di Padang lebih didominasi oleh orang-orang dari India, negara yang khas dengan makanan bersantan.

“Dari mulai kue-kuenya saja, lebih banyak ragamnya dari pada daerah lain karena banyaknya pendatang yang menetap di Jakarta,” jelasnya.

Menurutnya, sekalipun ada tantangan dari sisi bumbu rempah-rempah, tetap menjadi hal yang penting bagi masyarakat untuk tetap melestarikan makanan khas Betawi. Menurutnya, pemerintah bisa menggelar acara festival Betawi yang dilengkapi dengan ahli-ahli yang bisa menjelaskan nilai historis dari makanan Betawi.

“Dengan mengetahui sejarah filosofinya, orang akan menjadi tertarik untuk mencoba rasanya dan kemudian bangga untuk melestarikannya,” begitu sarannya.

Selain itu, masyarakat Betawi juga perlu untuk terus membudidayakan makanan khas Betawi. Orang tua harus dapat mengajarkan cara memasak kepada anaknya, dengan memberikan resep dan teknik memasak turun-temurun.

Di sisi lain, agar makanan khas Betawi bisa dikenal oleh anak-anak, menurut Ria, dapat juga dilakukan dengan cara inovasi masakan dengan bumbu atau komponen tambahan makanan yang sedang tren. Inovasi ini dapat dilakukan dengan menambahkan keju atau green tea dalam adonan atau untuk topping kue-kue khas Betawi.

Cara ini, kata Ria dapat mendorong makanan tradisional digandrungi oleh anak-anak muda yang cenderung menyukai tren yang sedang berkembang. Menurutnya, melakukan inovasi pada makanan tradisional tak jadi masalah, selama tidak menghilangkan cita rasa dan nama asli makanannya.

“Makanan itu harus dilestarikan karena makanan adalah identitas bangsa,” tandasnya. (Dana Pratiwi, Shanies Tri Pinasthi, Fuad Rizky)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar