c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

05 Maret 2019

19:44 WIB

Mimpi Kereta Cepat Yang Realisasinya Tersendat

Sejak digagas, tak pernah lepas dari masalah

Mimpi Kereta Cepat Yang Realisasinya Tersendat
Mimpi Kereta Cepat Yang Realisasinya Tersendat
Pengunjung mengamati miniatur kereta cepat dalam Pameran Kereta Cepat Dari Tiongkok di Jakarta, beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

JAKARTA – Jarak antara Jakarta dan Bandung sekitar 150 kilometer. Jarak ini biasanya ditempuh selama dua jam dengan berkendara mobil melalui jalan tol. Waktu tempuh dipastikan bertambah jika jalan tol yang dilintasi dalam keadaan macet, atau karena adanya perbaikan jalan, atau lainnya.

Waktu tempuh ke Bandung dari Jakarta akan semakin cepat dalam waktu tak lama. Ini disebabkan adanya transportasi kereta api yang menghubungkan dua kota. Diperkirakan jika menggunakan moda itu, dalam waktu 30–45 menit saja, penumpang dari Jakarta, sudah bisa tiba di Kota Bandung. Atau, sebaliknya.

Begitulah yang ditawarkan pemerintah Indonesia melalui kereta cepat Jakarta–Bandung. Kereta cepat sudah disiapkan sejak 2008, untuk rute Jakarta–Surabaya pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Awalnya pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)  melakukan studi kelayakan dengan Japan Internasional Corporation Agency (JICA). Hasil studi mengerucut pada rencana membangun kereta semi cepat Jakarta–Surabaya, dengan jarak sepanjang 748 km. Nantinya, kereta diproyeksi bisa menempuh jarak tersebut dalam waktu 5,5 jam dengan kecepatan rata-rata 160 km.

Karena dananya besar, dipilih strategi menggarap bertahap. Jadi, dipilih Jakarta–Bandung sebagai langkah awal. Menurut perkiraan Bappenas proyek ini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di koridor yang dilewati. Diproyeksikan, pembangunan ini mendongkrak pendapatan per kapita dalam lima tahun mencapai US$10 ribu.

Kemudian, ‎pada 2012 wacana pembangunan kereta cepat (high speed rail/HSR) kembali digulirkan dengan skema kerja sama pemerintah-swasta (KPS). Namun saat ditawarkan ke pihak swasta, pemerintah tetap dibebani porsi pembiayaan lebih besar, yakni 70%. Sempat diotak-atik hingga 60%, kemudian proyek tersebut terhenti.

Pembangunan kereta cepat ini baru terealisasi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Karena mengejar pertumbuhan ekonomi, seperti dituangkan dalam RPJMN 2015–2019, antara 5–6%. 

Bappenas optimistis, proyek kereta api cepat dapat mendukung target penurunan biaya logistik hingga tahun 2019 sebesar 6,8%. Sebanyak 3% berasal dari transportasi darat dan menjadi kunci utama pengembangan wilayah di sekitar proyek. Melihat pengalaman China yang sukses mengembangkan HSR Beijing–Shanghai, ada harapan terpicunya manfaat aglomerasi secara signifikan.

Langkah dua negara terhadap kereta cepat ini terlama saat utusan Jepang Izumi Hiroto membawa proposal revisi kedua ke Jakarta pada 26 Agustus 2015. Tidak lama setelahnya, China mengirimkan proposalnya pada 11 Agustus 2015 lalu. 

Jepang menawarkan pinjaman proyek dengan masa waktu 40 tahun berbunga hanya 0,1% per tahun dengan masa tenggang 10 tahun. Sementara, bunga yang ditawarkan Jepang sampai 0,5% per tahun. Usulan terbaru juga menawarkan jaminan pembiayaan dari Pemerintah Jepang dan meningkatkan tingkat komponen produk dalam negeri Indonesia. 

Sementara itu, proposal penawaran China menawarkan pinjaman dengan bunga lebih tinggi, namun jangka waktu lebih panjang. China menawarkan proposal terbaiknya dan menawarkan pinjaman sebesar US$5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun.

Jokowi kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Indonesia kemudian menunjuk Boston Consulting Group untuk mengevaluasi penawaran dari kedua negara. Akhirnya pemerintah memilih China untuk menggarap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Salah satu alasannya lantaran pihak Jepang tidak mau jika tidak ada jaminan dari pemerintah. Sebaliknya China siap menggarap dengan skema business to business tanpa ada jaminan dari pemerintah.

PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) yang merupakan konsorsium BUMN Indonesia dan Konsorsium China Railways dengan skema business to business menjadi penggarap proyek ini.

KCIC sebagai badan usaha perkeretaapian yang menjadi pengusaha proyek ini 60% sahamnya dimiliki oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Dan, 40% sisanya dikuasai China Railway International (CRI). PSBI merupakan konsorsium 4 BUMN yakni PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

Dengan terbitnya regulasi tersebut, proyek ini dimulai dengan ground breaking (peletakan batu pertama) pada 21 Januari 2016 silam. Walaupun saat itu sejumlah aspek perizinan belum lengkap. Ketika meresmikan, Jokowi optimistis pembangunan proyek akan tuntas akhir 2018 dan operasional dimulai awal 2019.

Namun apa daya. Proyek yang semula ditargetkan rampung pada 2019 tersebut pada tersendat. Mulai pembebasan lahan, pencairan utang pendanaan, hingga progres konstruksi tak berjalan mulus. Target 2019 molor menjadi 2021. Target baru yang dipatok ini mengacu pada konsesi antara PT KCIC selaku investor dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. 

Konsesi tersebut masuk dalam poin penandatanganan kontrak yang diteken sejak 9 Juni 2018 lalu.  

Pada 2019 mendatang ditargetkan sudah terlaksana 60% dari total panjang proyek keseluruhan sekitar 142,3 km. Menurut Hermanto, Ketua Masyarakat Kereta Api, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ini merupakan proyek tahap awal. Soal proyek ini, Hermanto mengakui, proyek ini berawal dari perencanaan proyek kereta api Jakarta-Surabaya.

“Ada dulu, nanti begitu oke berlanjut,” kata Hermanto, saat ditemui Validnews, Jumat (1/3).

Dilihat dari aspek pendanaan, hingga Oktober 2018, proyek kereta cepat Jakarta–Bandung sudah mendapatkan kucuran utang sebesar US$810,4 juta dalam tiga tahap. Jumlah tersebut akan bertambah US$287 juta menjadi US$1,09 miliar atau setara Rp15,9 triliun pada akhir Desember 2018.

Tersendat
Keseluruhan kredit modal tersebut berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB). Utang tersebut sudah digunakan untuk memenuhi sejumlah kebutuhan proyek seperti pembayaran uang muka kontraktor, konsultan supervisi, bunga, dan asuransi. Selain itu, tambahan dana pada Desember ini, sebagian digunakan untuk pembebasan lahan.

Terkait pencairan selanjutnya dari CBD pada 2019 mendatang, KCIC belum bisa merinci secara pasti. Hanya saja, dipastikan bahwa setiap penarikan harus sesuai dengan kebutuhan. 

Bambang juga menyebutkan bahwa proyek angkutan umum di empat negara yang telah dia sambangi bukanlah bicara proyek untung. Lebih utama, dibicarakan keuntungan besar di kemudian hari untuk tahap operasionalnya, termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Masalah Terkini
Dibalik kemegahan proyek kereta api cepat Jakarta–Bandung, ternyata pembangunan proyek ini banyak menuai kritik. Seperti disampaikan pengamat transportasi, Djoko Setijowarno. Dia menilai pembangunan kereta api cepat Jakarta–Bandung terlalu terburu-buru.

Indikasi terburu-buru, urai Djoko, tergambar dari keluarnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang hanya satu bulan. Ia mencurigai hasil dari AMDAL tersebut dengan alasan waktu pemberian AMDAL yang terlalu cepat. Padahal, idealnya AMDAL bisa terbit minimal setelah satu tahun.

Selain itu, Djoko juga mengkritik proyek ini dari segi aksesibilitasnya yang belum mumpuni. Sebab, dia menilai transportasi di wilayah-wilayah sekitar proyek saja belum sebanding. Di Bandung misalnya, Djoko mengatakan transportasinya masih buruk dan belum ada yang bagus.

Dia juga menilai pembangunan proyek kereta api cepat ini agak tertutup. “Sehingga, publik susah memantau perkembangan proyek,” tutur Djoko, saat dihubungi Validnews, Senin (4/3).

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat juga mengiyakan temuan Djoko terkait AMDAL. Menurut dia, kajian AMDAL masih dangkal. Sebab, AMDAL tidak memperhitungkan soal kebencanaan. Bahkan tidak hanya sekadar AMDAL, ia juga mengkritik Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS).

Padahal, wilayah Cikalong Wetan yang dilalui kereta api cepat itu merupakan area yang berada pada tiga lempeng tektonik. Selain itu, Dadan menyebut ada beberapa sesar (patahan) yang dia sebut, seperti sesar Baribit, sesar Bandung, dan sesar Cimandiri.

Dia juga menyebutkan pembangunan proyek ini memunculkan banyak sengketa lahan. Seperti rencana pembangunan Transit Oriented Development (TOD), yang berada di setiap stasiun. 

Seperti sengketa lahan di Desa Tenjolaut, Kecamatan, Cikalong Wetan, Jawa Barat. Menurut dia di beberapa desa itu menyebut terjadi konflik lahan pertanian yang digarap warga setempat dengan PT KCIC. Konflik terjadi ketika lahan warga diambil alih untuk pembangunan jalan-jalan pendukung konstruksi trase dan TOD untuk PT KCIC. Akibatnya, warga kehilangan lahan garapan. 

Di Kota Bandung, Dadan mengatakan pembangunan TOD di wilayah sana menghilangkan resapan lahan sawah. Hampir sekitar 400 hektare yang telah menjadi tempat singgah air kala musim penghujan, hilang dan berganti menjadi TOD.

Selain TOD, Dadan juga menyebut pembangunan trase juga memangsa lahan warga. Di Kelurahan Cijaura, Kota Bandung misalnya, warga Margawangi memprotes PT KCIC. Mereka protes karena ruang terbuka hijau milik mereka digunakan untuk trase. Ruang terbuka hijau milik warga, kata Dadan, menjadi lahan sengketa antara warga dan PT KCIC.

Belum lagi persoalan ganti rugi yang tidak setimpal dilakukan oleh PT KCIC. Kasus ini, sebut Dadan, pernah terjadi di Desa Cikalong, Desa Rende, dan Desa Puteran. Dalam hal ini, ia menyebut ganti rugi lahan yang diberikan oleh PT KCIC seringkali tidak setimpal dengan jumlah luasnya. PT KCIC, kata Dadan, hanya mematok Rp300 ribu hingga Rp1 juta per meter, tidak peduli dengan hitungan besar kecil luasnya.

“Kita menemukan pembebasan-pembebasan lahan itu bermasalah. Dan terkesan tidak berangkat dari perencanaan yang matang,” kata Dadan.

Menurut dia, sebaiknya proyek kereta cepat tidak diteruskan. Semua itu, kata dia, ditujukan demi lingkungan dan kehidupan warga secara ekonomi-sosial yang terkena dampak. “Kami berharap ini tidak jadi, dihentikan saja,” katanya.

Sejauh ini, Dadan bersama rekan-rekannya juga sudah mengajukan surat desakan pada Presiden Republik Indonesia, Kedutaan Besar Tiongkok, dan China Development Bank (CDB) untuk menghentikan proyek ini. Namun, berbagai pihak tersebut tidak menggubris gugatan tersebut.

Manfaat Ekonomi
Sebaliknya, Laporan Pembangunan Infrastruktur Kereta Cepat Jakarta-Bandung milik PT KCIC, menyebutkan beberapa manfaat dari pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Pertama, proyek ini, mampu menyerap 87.000 tenaga kerja langsung. Sebanyak, 39.000 tenaga kerja pada masa konstruksi selama tiga tahun. Kemudian, 28.000 tenaga kerja masa beroperasi selama 25 tahun. Selanjutnya, 20.000 tenaga kerja pada masa konstruksi kawasan stasiun dan sekitarnya selama 15 tahun.

Manfaat selanjutnya, kereta api cepat tersebut mampu meningkatkan pengembangan potensi ekonomi di sepanjang koridor Jakarta–Bandung, seperti di tempat transit di Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar. Ketiga, kereta api cepat Jakarta–Bandung mampu mengurangi kemacetan Jakarta-Bandung yang mencapai 140.000 orang per hari. Dan juga, lanjut laporan itu, mengurangi kerugian akibat kemacetan Jakarta-Bandung. Keempat, laporan mengungkap kereta api cepat mampu mempercepat waktu tempuh menjadi 35–40 menit, rendah tingkat kecelakaan, dan rendah polusi.

Sejauh ini, perkembangan daripada pembuatan Kereta api cepat Jakarta-Bandung masih dalam tahap proses. Hermanto mengatakan pembangunan proyek kereta api cepat Jakarta–Bandung masih dalam tahap pembangunan infrastruktur yang cukup lambat.

“Informasi yang saya terima, sekarang sedang membangun terowongan. (proyeknya) jalan, tapi lambat,” kata Hermanto.

Laporan dari PT KCIC, juga mengungkap beberapa kapasitas yang mumpuni. Perkiraan dari pihak KCIC, kereta api cepat akan memiliki panjang jalur trase sebesar 142,3 km double track, kapasitas lintas operasi sekitar 198 kereta per hari, dan frekuensi kereta sekitar 100 kereta per hari. Kemudian, kereta ini akan memiliki jam operasional dari jam 05.00–22.00, kecepatan operasi sekitar 300 km per jam.

Terkait waktu tempuh, laporan tersebut juga menyebut waktu tempuh tidak lebih dari 45 menit. Untuk kereta langsung, waktu tempuh perjalanan kurang lebih mencapai 36 menit. Sementara untuk kereta henti, waktu tempuh kurang lebih sekitar 44 menit. Kereta api cepat Jakarta–Bandung, sebut laporan itu, memiliki kapasitas angkut sekitar 109.000 per hari. Ada pun headway antar kereta hanya 20 menit.

Dari sisi pemetaan jalur kereta, menurut laporan KCIC, kereta memiliki empat stasiun dan satu depot. Empat stasiun itu antara lain Stasiun Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar. Stasiun Halim merupakan stasiun singgah dan keberangkatan. Sekitar jarak 35 km dari Stasiun Halim dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Hermanto membenarkan jalur dari Karawang menyusur ke bawah hingga ke Bandung.

“Ya sebenarnya jalurnya kira-kira sampai Karawang, nanti belok ke bawah. Menyusuri dekat Tol Cipularang. Sekitar itu, terus ke selatan,” kata Hermanto.

Menurut Agus Komarudin, Humas PT KAI, kereta cepat berbeda dengan kereta biasa. Beberapa perbedaan bisa dilihat dari jalur dan rute. Dari segi jalur, Agus mengatakan jalur kereta cepat berada di atas tiang. Dan di situ, tidak ada persentuhan dengan pintu perlintasan. 

Agus juga mengatakan kalau dari segi tarif, memang jelas berbeda dari kereta biasa, alias lebih mahal. Pada kereta cepat, tidak banyak rute persinggahan. Hanya empat kali singgah. Dengan kereta cepat, perjalanan dari Halim ke Bandung, kata dia, akan berjalan cepat, sekitar 37–40 menit.

Nah, soal bagaimana nasib kereta biasa jika kereta cepat beroperasi. Ia hanya berujar singkat. “Tinggal masyarakat yang memilih, mana yang lebih baik,” kata Agus, saat dihubungi Validnews, Jumat (1/3). (Agil Kurniadi, Fajar Setyadi, Annisa Dwi Meifira, Yunita Permata Fitri)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar