c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

22 Februari 2019

19:39 WIB

Menanti Siasat Pembenahan UNBK

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengaku sudah mengantongi strategi untuk membenahi keruwetan penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dalam sistem pendidikan nasional

Menanti Siasat Pembenahan UNBK
Menanti Siasat Pembenahan UNBK
Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

JAKARTA - Cerita soal siswa peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang cemas, bahkan tidak sedikit mengalami stres dalam menghadapi ujian, bukan hal yang baru terdengar. Kondisi yang sudah beberapa tahun belakangan terjadi, bahkan sudah menular ke orang tua siswa. Mirisnya, pihak sekolah nyatanya juga khawatir anak didiknya tidak mendapatkan nilai bagus dalam ujian.

Cerita-cerita ini seolah tak sampai ke telinga pemerintah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bergeming dengan pendiriannya dan terus menggelar UNBK. Padahal, di negeri tetangga Singapura sudah mengambil kebijakan ekstrem dengan menghapus ujian nasional.

Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BNSP-Kemendikbud) sendiri berdalih, telah mengantongi beragam solusi untuk menambal lubang yang terbuka dalam praktiknya.

Kepala BNSP-Kemendikbud Bambang Supriyadi membenarkan jika masih ada sekolah yang belum memiliki infrastruktur pendukung UNBK. Karena itu, beberapa di antaranya diputuskan tidak menggelar UNBK, alias tetap melakukan Ujian Nasional Berbasis Kertas dan Pensil (UNKP).

Agar tetap bisa menggelar UNBK di sebanyak mungkin sekolah, di tengah keterbatasan yang ada, Kemendikbud mengaku sudah menemukan solusinya. Salah satunya dengan menerapkan sharing fasilitas dengan sekolah lain.

Menurutnya, kebanyakan alasan sekolah belum bisa melaksanakan UNBK adalah belum memiliki fasilitas komputer. Untuk itu, siswa dari sekolah yang belum memadai fasilitasnya, dimungkinkan untuk menumpang ikut UNBK di sekolah lain yang telah dilengkapi sarana komputer.

“Menurut kami, kebijakan ini bagus juga untuk sekolah, agar budaya berbagi bisa berjalan,” serunya.

Ia menuturkan, hingga saat ini sudah ada 16 provinsi yang cakupan pelaksanaan UNBK untuk tingkat SMA/MA mencapai 100%, sedangkan tingkat SMK ada 18 provinsi dan tingkat SMP ada dua provinsi, yaitu DKI Jakarta dan Yogyakarta. Sementara untuk UNBK tingkat SMP/MTs, baru dua provinsi yang 100% dapat menggunakan sistem itu.

UN SMK sendiri, sedianya akan diselenggarakan pada 2 April hingga 5 April. Sementara untuk SMA/MA digelar pada 9 hingga 12 April dan UN susulan SMK/SMA/MA pada 17 April hingga 18 April. Untuk SMP/MTs, UN akan diselenggarakan pada 23 hingga 26 April dan susulannya pada 8 hingga 9 Mei.

Penguatan Aplikasi
Sejalan dengan itu, Bambang menuturkan, pihaknya juga terus melakukan perbaikan dalam hal verifikasi kelayakan yang dilakukan oleh dinas pendidikan. Dikatakannya, dinas pendidikan harus melakukan verifikasi secara tepat dan akurat dan tidak boleh mewajibkan UNBK tanpa melakukan verifikasi kelayakan.

Selain itu, penguatan aplikasi UNBK mutlak dilakukan dengan pendistribusian beban server yang merata, agar server tidak kelebihan beban (overload). “UNBK tahun 2019 ini kita yakin pasti akan lebih baik dari tahun sebelumnya,” cetusnya.

Penyempurnaan fasilitas pendukung UNBK juga dilakukan dinas-dinas pendidikan di sejumlah daerah. Seperti yang dituturkan Sekretaris Dinas Pendidikan Jawa Barat Firman misalnya. Ia menyatakan pihaknya terus memperbanyak tenaga proktor yang menangani server di tingkat provinsi.

Saat ini jumlah proktor yang sudah tersebar di 27 titik di Jawa Barat. Ia yakin, jumlah pertanyaan dan keluhan dari sekolah bakal menurun di tahun sekarang. 

Dari segi infrastruktur, sekolah-sekolah di Jawa Barat menurut Firman sudah memenuhi standar operasional prosedur. Genset untuk menanggulangi padamnya listrik pun sudah disiapkan, guna menunjang operasional komputer. Lalu pihak sekolah sekarang sudah berkoordinasi dengan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) supaya sekolah-sekolah di wilayah PLN tersebut terjamin sumber listriknya.

Disdik Jabar juga melatih tim Help Desk. Tim ini yang berfungsi mengatasi permasalahan selama berlangsungnya UNBK. Mereka sebelumnya sudah diberi pelatihan serta petunjuk teknis tentang apa yang harus dilakukan bila suatu kendala terjadi. SDM Help Desk berasal dari sekolah-sekolah yang ditugaskan di kantor provinsi.

Selain di tingkat provinsi, konsep ini juga diterapkan di tingkat kabupaten. Konsep tersebut sudah berjalan sejak 2018 sebagai upaya pencegahan agar kesalahan-kesalahan pada tahun 2017 tidak terulang kembali.

“Karena pada tahun 2017 mereka tidak berposko di Provinsi atau kabupaten, tapi di sekolah masing-masing. Ketika ada kendala kami sangat sulit berkomunikasi, namun sekarang sejak ditarik ke provinsi dan hasilnya lebih baik,” ungkap Firman saat dihubungi Validnews, Rabu (21/2).

Persiapan pun dilakukan dalam hal menjawab soal bersifat Higher Order Thinking Skill (HOTS) atau soal dengan kemampuan analisis tinggi. Khusus untuk ini, Firman mengatakan dari jauh-jauh hari sudah melatih pengawas dan guru. Mereka dilatih untuk mengajarkan anak supaya terbiasa dengan soal yang memiliki daya nalar tinggi. Guru juga dilatih bagaimana cara membuat soal HOTS yang benar.

Selain itu Firman dan pihaknya juga memiliki bidang yang fokus untuk guru, kepala sekolah, dan pengawas yakni bidang Guru Tenaga Kependidikan (GTK). Bidang tersebut bertugas meningkatkan kompetensi pengawas, guru, kepala sekolah, termasuk tata usaha.

Di level sekolah, Kepala Sekolah SMA Negeri 42 Jakarta Sony Juhersoni mengaku tak pernah puas dalam menyelenggarakan UNBK. Karenanya, sekolah unggulan di Jakarta ini terus mengupayakan agar pelaksanaan UNBK itu sukses dengan meraih prestasi gemilang.

Sony menjelaskan, pihaknya menggelar pelbagai kegiatan dilakukan para guru sekolah dalam forum-forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Tujuannya meningkatkan kemampuan dalam menghadapi UNBK.

“Baik di sanggar maupun di provinsi, para guru akan berlatih bersama dengan guru-guru dari luar wilayah,” tutur Sony.

Sementara khusus siswa peserta ujian, pihak sekolah sengaja melibatkan narasumber yang berkompoten di bidangnya dari luar sekolah. Tenaga professional yang didatangkan dari luar ini membantu sekolah dalam membedah Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sehingga mempermudah siswa dalam menghadapi materi soal. Hal ini diakuinya menjadi langkah yang dilakukan sekolah untuk menghadapi soal bernalar tinggi, selain mengelar try-out dan pemantapan materi.

Standar Ganda
Dengan segala tantangan dan kerumitannya, kebergemingan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan UNBK diangap sebagai keangkuhan. Ombudsman RI menilai pemerintah memukul rata penyelenggaraan UNBK, tanpa memikirkan dampak yang dialami peserta ujian. Atas sikap pemerintah itu, ORI mendorong Kemendikbud untuk membuat aturan pembeda atau yang disebut dengan standar ganda dalam penyelenggaraan UNBK.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Bidang Pendidikan Ahmad Suaedy mengatakan, standar ganda yang dimaksud bertujuan untuk membedakan mana sekolah yang sudah siap dan mana yang belum siap, dalam hal sarana dan prasarana pendukung.

Nantinya, lanjut Suaedy hasil klasifikasi sekolah ini kemudian bisa diwujudkan dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud), sebagai landasan penentu penyelenggaraan. Pemerintah juga diminta melengkapi fasilitas komputer dan jaringan internet di sekolah-sekolah.

Kemudian, pemerintah juga diminta memberikan prioritas pada daerah yang belum siap ini untuk diberikan fasilitas supaya lebih siap, misalnya dibantu dengan hibah dan komputer, hingga akses internet.

“Selama 4 tahun jalannya UNBK pemerintah masih terkesan memaksakan dan belum ada solusi berarti untuk memperbaiki UNBK,” katanya, kepada Validnews, Selasa (19/2).

ORI pun berkali-kali telah mengirimkan surat rekomendasi untuk menambahkan tenaga pengawas dan catatan lainnya demi kebaikan UNBK. Akan tetapi, meski telah mendapatkan laporan, problem di penyelenggaraan UNBK terus terulang.

Lebih jauh, Suaedy melontarkan solusi lain dengan mengambil contoh ujian seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Peserta UNBK ditempatkan di titik tertentu dan sudah disiapkan segala sarana dan prasarana pendukung.

Menurutnya hal tersebut jauh lebih efisien dan efektif. Sayangnya, ia melihat sejauh ini belum ada keinginan dari Kemendikbud untuk mengadopsi hal tersebut.

“Bagi sekolah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) dan sekolah yang belum menggelar UNBK, bisa saja pemerintah provinsi memfasilitasi para peserta ujian, pasti semua provinsi terakomodasi dengan baik dan UNBK bisa 100% berjalan,” tambahnya.

Selain meniru rekrutmen CPNS, Kemendikbud juga bisa mencontoh Kementerian Agama dalam memperbaiki UNBK di tingkat madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Suaedy mengklaim keberhasilan Kemenag dalam menyelenggarakan UNBK itu karena cekatan dalam merespons rekomendasi dari ORI. Hal ini dapat dibuktikan dengan sudah menurunnya laporan dan temuan dalam penyelenggaraan UNBK yang ada di MA dan MTs.

“Hampir 80% laporan dari SMA dan SMP negeri yang ada di 34 provinsi, sisanya dari sekolah swasta,” tuturnya.

Ia menceritakan respons cepat yang dilakukan Kementerian Agama, dalam pengadaan laptop yang semula menjadi kekurangan dalam pelaksanaan UNBK di tingkat MTs dan MA.

“Sarana dan prasarana di MA dan MTs lebih mendukung, pemerintah pusat pun responsif. Tidak seperti Kemendikbud, dikasih rekomendasi tidak pernah direspons,” ujarnya.

Hapus UNBK
Jika ORI masih bisa menerima kebijakan UNBK dengan perbaikan dan sarana tertentu, lain halnya dengan pendapat Wakil Sekretaris Jenderal (sekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim. Ia mengusulkan agar UNBK dihapus. Menurutnya, pemerintah bisa mengganti UNBK dengan penilaian yang dilakukan sejak peserta didik masuk di kelas X.

“Hapus saja UNBK karena ujian tersebut bukan untuk penentu kelulusan siswa dan siswi. Dengan dihapusnya UNBK pemerintah akan jauh lebih efisien dan efektif dalam penggunaan anggaran pendidikan,” jelasnya.

Ia menilai, pelaksanaan UNBK dari tahun 2015 hingga 2018 masih saja terlihat kegaduhan karena kurang siapnya tim teknis UNBK Pusat. Dicontohkannya, pada waktu UNBK berlangsung, sistem komputer bisa tiba-tiba down dan tim teknis dari UNBK pusat justru kebingungan dalam memperbaiki.

Nah, karena tahun ini UNBK masih dilaksanakan, FSGI pun meminta kepada tim teknis UNBK pusat memberikan pelatihan ke sejumlah daerah untuk mengantisipasi segala kondisi pada saat UNBK berlangsung.

“Jangan mau dekat UNBK, baru dikasih pelatihan, kan satu bulan sekali bisa Kemendikbud kasih pelatihan,” imbuhnya.

Selain itu, FSGI memberikan rekomendasi kepada Kemendikbud untuk memberikan informasi mengenai pedoman UNBK. "Selama ini Kemendikbud hanya mengandalkan helpdesk UNBK yang jumlahnya sedikit dan tidak merata" lanjutnya.

Padahal, Kemendikbud, menurutnya perlu memperbanyak sarana komunikasi antara pusat dan sekolah. Jadi jika ada informasi atau kendala, tidak hanya diberikan melalui situs UNBK yang tidak setiap saat dibuka, tetapi bisa melalui aplikasi atau sistem lainnya.

“Lihat betapa banyak kemarahan yang muncul dari anak-anak kita peserta UNBK 2018,” kata dia.

Sewa Laptop
Melihat fenomena ini, Anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah mengatakan, pada hakikatnya Komisi X DPR mendorong pelaksanaan akselerasi UNBK. Namun, Komisi X melihat masih ada beberapa hal mendasar yang kurang diperhatikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Sarana dan prasarana UNBK masih belum merata di seluruh sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Masih banyak yang perlu dievaluasi dan rehabilitasi," katanya kepada Validnews, (19/2).

Ferdi mengatakan, seandainya diberikan sarana dan prasarana di luar masalah gedung, seperti perangkat komputer, masih ada persoalan lainnya. Di antaranya adalah kemampuan SDM yang harus ditingkatkan dalam hal perawatan sarana dan prasarana IT tersebut. Pasalnya, laptop tersebut nantinya bisa digunakan lagi untuk adik kelas dari peserta ujian saat ini.  

“Tidak bisa UNBK digelar serentak di seluruh provinsi, harus bertahap demi tahap, ini kan masuk tahun ke 4 seharusnya sudah ada perbaikan,” ujarnya.

Menurutnya, Panitia Kerja Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Komisi X DPR sudah memberikan solusi dalam melengkapi sarana dan prasarana pendukung UNBK. Untuk penyediaan sarana komputer misalnya, anggarannya dimasukan pada dana Bantuan Operasional Sekolah atau Dana Alokasi Khusus.

Dengan kata lain, lanjutnya, pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana komputer tersebut dilakukan dengan cara sewa, bukan dengan cara membeli. Ia melihat, selama ini pemerintah daerah salah kaprah terhadap pengadaan laptop untuk UNBK. Jadi dengan anggaran yang ada, pemerintah daerah terkesan memaksakan untuk membeli dan jumlahnya tidak memadai.

“Harusnya Kemendikbud menyosialisasikan kepada pemerintah daerah untuk menyewa saja, daripada membeli. Kalau sewa kemungkinan besar jumlahnya bisa tercukupi dengan anggaran yang ada saat ini,” imbuhnya.

Ferdi menegaskan, Komisi X DPR sejatinya mendorong akselerasi UNBK. Hanya saja, harus menyeluruh, yakni perlu ada perbaikan terhadap SDM serta sarana dan prasarana pendukungnya.

"Kata kuncinya adalah silakan melakukan akselerasi tetapi jangan memaksakan diri," tandasnya.

Menurut Pengamat Pendidikan dari Eduspec Indonesia Indra Charismiadji, penyebab tidak apiknya UNBK diselenggarakan, lebih karena belum adanya cetak biru atau blueprint sebagai acuan pendidikan nasional.

Padahal dalam cetak biru itulah seharusnya disebutkan secara rinci bagaimana mekanisme pengadaan fasilitas digital di sekolah. Di dalam cetak biru itu jugalah skema alternatif bisa dibuat. Jika rencana awal tidak bisa dilaksanakan karena berbagai tantangan.

Banyaknya sekolah yang kekurangan komputer maupun laptop pun, kata Indra, perlu dievaluasi. Ia sangat menyayangkan dalam UNBK, peserta didik diharuskan mencari fasilitas sendiri atau ditumpangkan ke sekolah lain yang jadwal ujiannya berbeda.

“Apakah selama ini ratusan triliun per tahunnya tidak cukup untuk menyediakan komputer dan internet bagi semua sekolah di Indonesia?” kata Indra.

Indra pun dibuat geleng-geleng kepala dengan pernyataan anggota DPR yang menyebutkan sekolah seharusnya tidak jor-joran membeli, tetapi cukup menyewa saja agar anggaran tidak terkuras. Menurut Indra anggaran pendidikan selama ini harusnya lebih dari cukup untuk menyediakan fasilitas komputer secara berkala.

“Kalau DPR bilang tidak cukup, selama ini anggarannya kemana saja? Itu tidak pernah dievaluasi,” ungkapnya.

Fakta lainnya, di era digital ini sekitar 2% wilayah Indonesia belum teraliri listrik. Jika pemerintah ingin memberlakukan UNBK secara menyeluruh, lanjutnya, seharusnya ketersediaan komputer, internet, dan listrik dipersiapkan terlebih dahulu. Jangan sampai sistem UNBK dirancang, sementara unsur-unsur pendukungnya belum ada.

Kalaupun UNBK harus tetap terlaksana, lanjut Indra, seharusnya pemerintah daerah (pemda) mengusahakan fasilitas listrik alternatif seperti genset. Pemerintah tidak boleh memindahkan beban kepada sekolah atas kinerjanya yang belum maksimal. Apalagi kalau sampai peserta didik yang dikorbankan, seperti harus mencari laptop sendiri.

Psikologi Anak
Terlepas dari kesiapan teknisnya, penerapan UNBK dinilainya tidak begitu efektif dalam meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini terlihat dari fakta bahwa sampai saat ini menyontek masih jadi kebiasaan para siswa saat ujian. Itu artinya, di sistem seketat UNBK siswa masih mempunyai keinginan untuk mencontek.

“Seharusnya siswa tidak lagi mengingat-ingat atau menyontek informasi yang sudah ada. Soal yang dibuat harus bisa membuat mereka berinovasi karena ini era keterbukaan digital,” ungkap kepada Validnews, Selasa (19/2).

Sementara itu, psikolog sekaligus akademisi dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Mira Amir menyikapi penyelenggaraan UNBK ini dari sisi psikis peserta didik. Ia menjelaskan, tingkat toleransi anak dalam menghadapi persoalan berbeda-beda.

Dia menyebutkan, ada anak yang mudah stres dalam menghadapi persoalan dan ada yang tidak. Karenanya, tak mengherankan bila adanya persoalan dalam penyelenggaraan UNBK ini dapat berpengaruh terhadap psikologis anak.

Guna mengatasi hal tersebut, Mira menjelaskan fungsi keluarga dapat menciptakan iklim hubungan yang baik, agar anak merasa nyaman saat akan atau sedang menghadapi ujian. Dia mengatakan, orang tua yang panik, justru bisa mengganggu psikologis anak.

“Lingkungan keluarga harus membuat situasi senyaman mungkin misal tidak menuntut anak-anak memiliki nilai yang tinggi agar tak menjadi beban,” kata Mira, kepada Validnews, Rabu, (19/2).

Berdasarkan pengalaman konseling orang tua dan anak, Mira menyarankan agar orang tua seharusnya dapat meredakan stres dan rasa panik pada anak, bukan menambah beban dengan memberikan komentar atau perkataan yang tidak membuat nyaman anak. Apalagi, terkadang orang tua tidak sadar sikap membanding-bandingkan capaian anak dengan anak lainnya, membuat anak tidak nyaman dan berpotensi menimbulkan stress pada anak.

Menurut Mira, mengingat penyelenggaraan UNBK sudah berjalan sejak tahun 2015, seharusnya pihak sekolah juga melakukan evaluasi dari praktik penyelenggaraan sebelumnya. Tujuannya agar tidak terus terjebak dalam kesalahan yang sama.

“Seharusnya dari tahun ke tahun dilakukan evaluasi dan perbaikan bagaimana menyiasati persoalan di lapangan tersebut. Setiap kali penyelenggaraan dilakukan evaluasi bagaimana agar tahun berikutnya semakin lebih baik,” jelasnya.

Lalu, jika memang UNBK bukanlah yang terbaik dalam sistem pendidikan, sistem apa yang sejatinya paling cocok dan memungkinkan bisa diterapkan untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional? Mungkin perlu rembuk dan konsensus nasional yang melibatkan banyak pihak untuk menentukan sistem mana yang terbaik dan cocok untuk diterapkan.

Tapi ada baiknya, menengok sistem pendidikan di negeri tetangga, Singapura. Seperti yang dilansir World Forum, Kementerian Pendidikan Singapura memutuskan menghapus ujian nasional. Keputusan ini diambil Kementerian Pendidikan Singapura setelah melakukan pemantauan terhadap siswa peserta ujian, serta keluhan para orang tua saat menghadapi ujian nasional.

Singapura juga mengubah pendekatan sistem pendidikan yang semula menitikberatkan pada hafalan dan jam belajar yang panjang guna. Negeri singa tersebut saat ini memilih menerapkan sistem untuk mencetak siswa berprestasi secara personal.

Pendekatan yang diambil dengan menitikberatkan pada pengembangan pembelajaran yang menjadi minat siswa tersebut. Sistem nilai atau peringkat dalam kelas pun ikut ditiadakan. Penilaian akan menghapus sistem desimal dan lebih pada bilangan bulat, guna menghilangkan penekanan pada keberhasilan akademik.

Dengan kebijakan baru ini, Kementerian Pendidikan di sana telah membentuk tim khusus untuk mengubah pemikiran yang sudah ada. Termasuk mendorong aspirasi siswa yang selama ini hanya berpikir untuk bekerja di bank, menjadi pegawai sipil dan tenaga kesehatan. Penyesuaian terhadap pemikiran siswa ini jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengubah pandangan orang tua yang tumbuh dan berkembang dengan iklim yang sangat keras.

Pertanyaannya apakah strategi ekstrem Singapura ini bisa menjadi solusi? Mungkin ya, mungkin tidak. Pastinya, Indonesia butuh sistem pendidikan yang ajeg sesuai dengan nilai budaya dan perkembangan zaman. (Fuad Rizky, George William Piri, Elisabet Hasibuan, Dana Pratiwi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar