c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

21 November 2017

23:10 WIB

Menakar Ambiguitas Pakta Integritas Golkar

Pemilu dan Pilkada adalah ancaman nyata bagi elektabilitas Golkar akibat perilaku koruptif kader-kadernya

Menakar Ambiguitas Pakta Integritas Golkar
Menakar Ambiguitas Pakta Integritas Golkar
Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid (tengah) bersama Sekjen Idrus Marham (kedua kanan) dan sejumlah ketua koordinator bidang melaksanakan rapat pleno di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (21/11). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

JAKARTA – Dugaan kasus mega korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) tidak hanya menjadi mimpi buruk bagi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) secara pribadi, namun lebih luas adalah keberlangsungan integritas partai yang menaunginya, yakni Partai Golkar. Jeratan kasus korupsi yang berulang-ulang menimpa kader Golkar seharusnya menjadikan pakta integritas masuk ke dalam Anggaran Dasar/Anggran Rumah Tangga (AD/ART) partai.

Pada poin keenam, pakta integritas Partai Golkar disebutkan bahwa "setiap pengurus DPP Golkar bersedia mengundurkan diri dan diberhentikan dari kepengurusan DPP Golkar apabila terlibat kasus narkoba, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Kalimat mengundurkan diri menjadi daya tawar yang memerlukan kesadaran individu ketika berhadapan dengan kasus-kasus sebagaimana disebutkan pada poin keenam tersebut. Dan ini pula yang tak dipatuhi Setnov, sapaan akrab mantan Bendahara Umum Golkar tersebut.

Atas dasar itulah, Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing berpendapat, siapapun kader Partai Golkar yang memimpin ke depan. Tidak hanya diwajibkan menaati pakta integritas yang telah ditandatangani, melainkan juga memasukkan pakta integritas dimaksud ke dalam AD/ART partai.

Belajar dari pengalaman Setnov, Emrus berkata, Partai Golkar perlu memberikan sanksi tegas kepada tiap kader yang tersandung kasus hukum. Partai Golkar dapat mencontoh Partai Hanura yang langsung memberhentikan kadernya ketika tersandung kasus korupsi. 

“Bila perlu tersangka saja sudah dipecat,” kata Emrus kepada Validnews, di Jakarta, Selasa (21/11).

Masalahnya selama ini para petinggi partai Golkar selalu mengedepankan asas praduga tak bersalah untuk menyelamatkan kader partainya yang tersandung kasus korupsi. Bahkan ketika yang bersangkutan sudah jadi tersangka, seperti yang dilakukan Setnov.  

“Kalau masalah hukum terlokalisasi ke individu. Maka elektabilitas di partai tak tergerus karena kasus hukum. Jangan berlindung di balik asas praduga tak bersalah,” ungkapnya.

Guna mengantisipasi masalah yang sama terulang lagi, Emrus berpandangan, dewan pakar Partai Golkar perlu memberikan rekomendasi kepada DPP terkait proses pemilihan. Rekomendasi ini berguna buat melahirkan pemimpin baru yang berintegritas, bersih, serta jauh dari perilaku buruk pemilik modal.

Selama ini yang terjadi dan menurutnya salah di Partai Golkar dikarenakan jabatan tinggi selalu dikuasai oleh para kader yang memiliki finansial yang besar. Jadi, seringkali proses pemilihan Partai Golkar dimobilisasi oleh oknum yang punya modal besar agar calon yang diajukan terpilih menjadi ketua umum ataupun posisi strategis lainnya di Golkar adalah menurut pilihannya. Hal ini juga berlaku bila yang punya modal besar ingin mencalonkan diri sebagai pimpinan.

Makanya, kasus yang membelit ketua umum partai berlambang pohon beringin ini seyogianya harus jadi momentum untuk berbenah diri. Semisal, AD/ART menyatakan pemilihan Ketua umum, Sekretaris Jenderal (Sekjen), dan Bendahara umum harus dilakukan secara terbuka.

“Jadi pemilihannya tidak hanya di internal mereka (Partai Golkar.red). Semua dibuka ke publik,” jelasnya.

Bila itu terjadi, Partai Golkar akan mampu melahirkan pemimpin berintegritas serta profesional, bukan sekadar pemimpin yang hanya memiliki modal besar. Sebab pemilihan Ketua Umum Partai Golkar terkontrol publik. Kendati demikian, ia yakin, transparansi ini juga akan menuai kontroversi di kalangan kader-kader partai Golkar.

“Tidak ada salahnya kalau mereka mau memulai pemilihan tiga pimpinan itu terbuka. Tetapi pemilik suara tetap memiliki suara. Saya kira akan menjadi sejarah baru bagi bangsa Indonesia,” tambahnya.

Keterbukaan ini harus dapat jadi pertimbangan bagi Partai Golkar sebagai partai tertua. Bila hal ini berhasil, bukan tak mungkin langkah mereka akan dicontoh partai politik lainnya. Melalui transparansi dalam proses pemilihan kursi ketua umum ini, juga merupakan kesempatan yang baik bagi Partai Golkar untuk membangun kepercayaan publik pasca-penahanan Setnov.

“Sebagai partai golkar tokoh politik harus mendepankan moral dan membangun kepercayaan,” ungkapnya.

Sikap Tegas
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago pun berpandangan serupa. Sebetulnya, sebagai partai tertua Partai Golkar seharusnya sudah mahir dalam menyusun strategi untuk mengantisipasi persoalan yang terjadi. Karena itu, para pemimpin Partai Golkar perlu segera memberikan sikap tegas atas kasus tersebut untuk menyelamatkan citra Partai Golkar di masyarakat.

Partai Golkar juga harus memberikan sanksi tegas terhadap kader yang melakukan tindak korupsi. Sikap ini katanya telah dilakukan Partai Demokrat yang memberikan sanksi tegas kepada mantan Ketua Umum Anas Urbaningrum ketika menjadi tersangka oleh KPK.

“Cuma ini ketua umum yang tersangka. Jadi agak repot. Kalau Golkar kan main dualisme dengan hal ini. Contohlah fatsun politik partai lainnya. Kalau ada kader yang tersandung kasus hukumnya fokus dengan masalah hukumnya,” jelas Pangi. 

Khawatirnya, bila tak ada tindakan yang tegas, kesusahan Partai Golkar dinikmati oleh partai lainnya. Kasus yang menimpa ketua umum Partai Golkar ini dapat dimanfaatkan untuk menarik para pemilih Partai Golkar beralih menjadi pemilih partainya.

Atas kenyataan itu, Pangi menjelaskan, Partai Golkar harus menghindari peristiwa serupa seperti yang dialami Setnov. Caranya, Partai Golkar saat ini membutuhkan sosok ketua umum yang benar-benar bersih dari kasus hukum.

Pasalnya, selama ini, dia juga mengamati Partai Golkar cenderung memilih ketua umum yang mempunyai modal besar untuk menjalankan partai. Hasilnya, ketua umum yang terpilih bukan orang berintegritas tinggi dan siap mengabdi kepada partai.

“Latar belakangnya, kredibilitasnya, jam terbangnya. Jadi tidak hanya berfokus hanya banyak duit dia jadi ketua umum itu membahayakan,” ucapnya.

Partai Golkar dikatakannya juga harus segera sadar memperbaiki kebijakan partai menyongsong tahun politik. Perbaikan internal partai harus selesai sebelum tahun 2017 berakhir. Ya, pada tahun 2018 mendatang Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada) serentak tahun 2018. Lalu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) serentak tahun 2019 mendatang.

“Di tahun 2018 Golkar sudah dapat duduk bersama dan berpikir jernih. Sehingga keadaan ini dapat membuka optimisme baru. Partai Golkar yang menatap masa depan dengan konteks masuk tiga besar, dari Pilpres maupun Pileg 2019,” ungkapnya.

Selamatkan Golkar
Anggota Dewan Pakar Partai Golkar Zainal Bintang juga mengungkapkan, Pemimpin DPP Golkar perlu mengambil langkah cepat untuk menyelesaikan atas kasus e-KTP ini. Pasalnya, persoalan hukum ini telah menyeret citra baik Partai Golkar.

Zainal menegaskan, situasi ini dapat menjadi momentum untuk mencari kader idealis buat memimpin partai Golkar. Diyakininya, pemimpin yang memiliki idealisme tinggi dapat membersihkan nama Golkar dari bayang-bayang rezim kepemimpinan Setnov. 

Hanya saja, munculnya pemimpin baru ini dapat terjadi bila Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I Golkar sepakat menghendaki terjadinya munaslub. Pasalnya, sesuai AD/ART Partai Golkar, 34 DPD tingkat I tersebut berkewenangan mengambil keputusan penting di partai.

Sayang, kata dia, DPD tingkat I ini tak dapat berbuat banyak. Selama ini, keputusan internal lebih dikuasai oleh sebagian orang di sekitar Setnov. Mereka bahkan masih kerap adu argumen terkait kebenaran kasus ini.

Oleh karenanya, lanjut Zainal, tokoh Partai Golkar seperti Jusuf Kalla (JK) perlu turun tangan menyelamatkan partai ini. Sebab dia yakin jabatan JK sebagai Wakil Presiden (Wapres) akan didengar oleh 34 DPD I Golkar.

“Harus ada tokoh yang mumpuni didengar dan dipastikan memiliki kemampuan langkah politik. JK secara nyata mantan Ketua Umum Golkar yang mempunyai jabatan tinggi negara. JK, dengan jawabannya bisa mengundang adanya perubahan di 34 pimpinan DPD I. Ini bisa menyelamatkan Golkar demi kepentingan bangsa,” lanjut Zainal.

Zainal menyebutkan, sebetulnya pakta integritas yang ditandatangani oleh Setnov sebagai ketua umum telah menyatakan, kader yang terlibat kasus korupsi harus mengundurkan diri dari partai. Sayang, langkah ini tak pernah diangkat oleh pimpinan DPP Partai Golkar saat ini.

“Jadi ada yang mau mempertahankan (Setnov.red) di Golkar, sehingga akan membuat Golkar akan semakin terpuruk,” sesalnya.

Ketua Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) Ahmad Doli Kurnia mengatakan tak ada yang salah dengan fatsun partai. Dia menegaskan, keputusan musyawarah nasional telah merekomendasikan bila seseorang melakukan korupsi harus mengundurkan diri atau diberhentikan. Sejak lama, ia mengaku, telah meneriakkan hal ini kepada para pemimpin DPP Golkar. 

Rekomendasi dalam Munas 2015 silam telah menyatakan, Partai Golkar harus menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sayang, ketua umum dan Pengurus DPP Golkar menutup mata atas hal ini. Sehingga dampaknya Partai Golkar-lah yang mendapatkan citra yang buruk di masyarakat.

“Artinya, Golkar tidak suka dengan praktik korupsi kalau itu dijadikan standar nilainya. Setnov ini termasuk melakukan pelanggaran AD/ART keputusan munas,” imbuhnya.

Tunggu Proses Hukum
Kabid PP Bali-Nusa Tenggara Partai Golkar AA Bagus Adi Mahendra menyatakan, sejauh ini pihaknya masih mengedepankan asas praduga tak bersalah atas status tersangka Setnov. Namun, suara daerah pun disebutnya juga masih menunggu proses hukum yang dijalani Setnov. Mereka disebutnya tetap menganggap Setnov tak melanggar etik atau fatsun partai sebagai ketua umum.

Itu sebabnya, kasus yang menimpa Setnov tak akan mengganggu performa partai. Partai Golkar tetap optimistis melaju menghadapi tahun politik yang akan diawali dengan Pilkada Serentak 2018.

Toh dia juga tetap yakin sejauh ini langkah Partai Golkar tidak melanggar fatsun partai politik.

“Makanya, pemilihan Plt ketua umum ini juga harus dilakukan, agar Partai Golkar berjalan dengan baik juga,” kata Bagus kepada Validnews, di DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (21/11).

Meski demikian, Bagus mengakui, tetap ada kemungkinan terjadinya perubahan pada AD/ART. Perubahan ini dapat terjadi bila elektabilitas partai berlambang pohon beringin ini menurun saat tahun politik.

Hal serupa diungkapkan oleh Politisi Golkar Mukhamad Misbakhun. Saat ini, Ketua Umum Golkar masih dijabat oleh Setnov. Dia juga berpandangan, tak terdapat pelanggaran terhadap kode etik partai terhadap kasus yang membelit ketua DPR itu.

“Kami semua kan didasarkan pada AD/ART, tata kerja partai, peraturan organisasi, dan sebagainya. Semuanya itu diputuskan bersama. Partai Golkar ini ada sistemnya dalam memutuskan,” ungkap Misbakhun. (James Manullang, Denisa Tristianty)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar