07 Februari 2020
19:30 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Banjir sudah biasa. Begitu seloroh Endang Susanto, warga Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur.
Endang, warga RW 14 di Bidara Cina, Jakarta yang letaknya di bantaran kali Ciliwung. Tiap musim hujan kediamannya selalu direndam banjir. Air yang menggenang di rumah Endang biasanya sekitar satu meter. Jika apes, air merendam rumahnya tiga meter.
Awalnya, banjir adalah momok yang menakutkan bagi Endang dan keluarganya. Lama-kelamaan, banjir seperti tamu tak diundang yang dianggap sebagai hal biasa.
“Banjir sudah bukan masalah besar lagi bagi kami. Paling kalau banjir, dua sampai empat jam kemudian surut dan tinggal bersih-bersih,” tutur Endang, saat ditemui Validnews, di Jalan Sensus Raya, Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (5/2).
Memang, pemerintah tak tinggal diam untuk membebaskan warga di bantaran kali Ciliwung ini dari peristiwa banjir. Berbagai upaya dilakukan pemerintah. Salah satunya membangun sodetan dari Ciliwung ke Banjir Kanal Timur (BKT).
Proyek sodetan ini digagas saat Jakarta dilanda banjir besar pada tahun 2012. Bidara Cina merupakan salah satu wilayah yang menjadi inlet atau saluran yang berfungsi untuk menampung air dan menyalurkannya melalui gorong-gorong besar di bawah tanah menuju ke BKT.
Dalam kajian pemerintah, proyek yang pengerjaannya berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ini bisa memindahkan untuk air sebanyak 60 meter kubik per detik. Air itu diambil dari kali Ciliwung dan dialirkan ke kali Cipinang yang bermuara ke BKT.
Sayang, proyek ini tak berjalan sesuai dengan target waktu yang telah dibuat pemerintah. Faktor penyebabnya adalah pembebasan lahan di wilayah Bidara Cina. Wilayah yang belum terbebaskan adalah RW 04 dan 14. Hampir 200 rumah yang ada di RW tersebut terdampak pengerjaan proyek sodetan ini.
Sebenarnya, menurut Endang, tak satu pun warga Bidara Cina yang menentang program milik pemerintah ini. Hanya saja, saat pengerjaan proyek ini, pemerintah dinilai tak melakukan sosialisasi kepada warga setempat dengan baik.
Belum lagi, saat awal proyek ini dijalankan, pemerintah juga tak memberikan jaminan tempat tinggal yang pasti kepada warga.
Pemerintah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama sempat menawarkan warga untuk tinggal di sebuah rusun, daerah Rawa Bebek, Jakarta Timur. Namun, warga menolak.
Tawaran itu dinilai tak masuk akal. Manalagi, warga ditawarkan untuk menyewa rusun bukan menjadi hak menilik. Ibaratnya, jelas Endang, mulanya warga memiliki tanah dan tempat tinggal, saat dipindahkan ke rusun, warga kehilangan harta yang bertahun-tahun dimiliki.
Warga Menggugat
Jelas, situasi itu membuat warga Bidara Cina yang terdampak pembangunan sodetan merugi. Makanya, pada 2015, warga menolak dan melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatan ini, pihak tergugat adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Warga meminta pemerintah memberikan ganti rugi yang layak. Majelis Hakim memenangkan class action kami. Sampai putusan kasasi juga mendukung kami untuk dapat ganti rugi yang layak,” lanjut Endang.
Putusan itu, membuat pemerintah dan warga berkali-kali melakukan audiensi. Namun, hingga pertengahan 2019, belum ada jalan keluar. Pada akhirnya, sekitar Juni 2019, Pemprov DKI Jakarta sepakat untuk melakukan perhitungan ganti rugi. Tujuannya, setidaknya, agar masyarakat bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak.
“Jadi, sudah ada jalan keluarnya. Tapi belum ada perhitungan yang jelas dari pemerintah. Terakhir audiensi kami itu awal Desember 2019, kemarin. Sekarang masih menunggu bagaimana hasilnya,” katanya lagi.
Warga lainnya yang ditemui Validnews di lokasi, memilih untuk tak banyak komentar soal ini.
“Jadi, jangan ada yang bilang nolak dulu. Suruh pemerintahnya ke sini. Kalau mau lebih tau, tanya saja dengan kuasa hukum kami,” singkat Wahyudin.
Kepada Validnews, Kuasa Hukum warga Bidara Cina, Yudi Anton Rikmadani pun menyatakan senada. Sebenarnya, warga mendukung program tersebut. Hanya saja, hingga saat ini, perwakilan pemerintah belum datang untuk menyosialisasikan program tersebut.
Apalagi, membicarakan besaran biaya ganti rugi penggusuran itu. Berdasarkan informasi yang diperoleh Yudi, tim pembebasan lahan yang dibentuk Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan masih berupaya melakukan penentuan lokasi proyek.
“Tim appraisal (penaksir) belum selesai menghitung berapa yang didapat masyarakat. Karena harga tiap rumah pastinya berbeda-beda belum tentu sama,” kata Yudi, Rabu (6/5).

Anggaran
Sebaliknya, pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane (BBWSCC) menegaskan sudah menyiapkan anggaran senilai Rp60 miliar untuk pembebasan lahan di wilayah Bidara Cina itu. Hanya saja, pemerintah masih menghitung besaran nilai ganti rugi. Kepala BBWSCC, Bambang Hidayah saat ditemui Validnews di kantornya, Kamis (6/5) menuturkan, puluhan miliar itu bukanlah untuk total keseluruhan pembebasan lahan. Sebab, tim pembebasan lahan bentukan Gubernur DKI Jakarta itu masih melakukan perhitungan harga ganti rugi untuk warga setempat.
“Rp60 miliar ini hanya anggaran awal. Kalau tim pembebasan lahan sudah selesai menghitung, kalau kurang akan kami anggarkan lagi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),” kata Bambang.
Bambang menjelaskan, tak hanya Bidara Cina yang bermasalah dengan pembebasan lahan. Warga yang tinggal di Kelurahan Cipinang Besar Selatan sebagai tempat outlet dari sodetan tersebut pun belum mendapatkan ganti rugi dari proyek ini.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum selesai melakukan penetapan lokasi dan perhitungan ganti rugi. Dampaknya, seluruh warga yang terdampak proyek ini, belum mendapatkan ganti rugi.
“Bedanya, masyarakat di outlet bisa menerima. Walaupun pemerintah akhirnya membayar sewa. Pembayarannya, masih menunggu perhitungan wilayah Bidara Cina selesai,” lanjut Bambang.
Sodetan Ciliwung, kata dia, terbentang sepanjang 1,27 kilometer. Rinciannya, inlet sodetan sepanjang 7.319 meter persegi, arriving shaft 255 meter persegi, dan outlet sepanjang 4.356 meter persegi. Inlet sodetan ini berada di Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur dan outletnya di Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.
Sejauh ini, pengerjaanya masih sepanjang 600 meter atau hampir setengah dari master plan milik pemerintah. Total anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membangun setengah sodetan ini sekitar Rp446 miliar. Sementara, sisa pengerjaan sodetan ini membutuhkan anggaran sekitar Rp500 miliar.
“Anggaran pertama Rp446 miliar ini masih menggunakan kontrak tahun 2013-2017. Kalau pengerjaan lagi, kami akan mengajukan lagi di APBN,” papar Bambang.
Bambang menyebut, bila masalah pembebasan lahan selesai, pihaknya akan kembali melakukan lelang proyek sodetan. Diperkirakan, pengerjaanya akan memakan waktu sekitar delapan bulan hingga satu tahun.
“Jadi, bila masalah pembebasan lahan selesai, kami langsung bekerja. Perkiraannya satu kali anggaran bisa langsung selesai,” tambah Bambang.
Makanya, Bambang berharap, tim pembebasan lahan milik Pemprov DKI Jakarta bergerak cepat melakukan pemberkasan tanah, pengukuran. Hasil perhitungan itu akan menjadi nilai ganti rugi masyarakat Bidara Cina.
“Tim appraisal, ada konsultan yang menilai berapa ganti ruginya. Nanti, divalidasi dengan Badan Pertanahan Nasional. Lalu, musyawarah dengan masyarakat, kalau memang berupa uang nanti kami ajukan ke APBN,” urainya.
Penanganan Banjir DKI
Pemerintah Pusat juga memperhatikan persoalan banjir Jakarta. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) pada Kementerian PUPR, Widiarto menjelaskan, sodetan merupakan bagian dari rencana besar penanganan banjir di DKI. Khususnya di banjir di bantaran sungai Ciliwung.
“Sodetan ini hanya sebagian saja dari penanganan banjir. Ciliwung ini penanganannya harus dilakukan dari hulu ke hilir,” kata Widiarto, saat ditemui Validnews, Kamis (6/2).
Di hulu, kata dia, pemerintah tengah membangun dua waduk atau bendungan. Yakni, waduk Ciawi dan Sukamahi. Dua bendungan yang sedang dibangun itu merupakan jenis bendungan kering atau dry dam.
Untuk diketahui, bendungan Ciawi berdiri di lahan seluas 78,35 hektare, bendungan ini rencananya memiliki kapasitas volume tampungan efektif 5,03 juta meter kubik dan kapasitas daya tampung maksimal 6,05 juta meter kubik. Sementara, bendungan Sukamahi berdiri di lahan seluas 46,93 hektare dengan kapasitas volume tampungan efektif 1,38 juta meter kubik dan kapasitas daya tampung maksimal 1,68 juta meter kubik.
“Dua waduk ini akan mengurangi debit air yang mengalir ke DKI. Waduk ini merupakan masterplan 73 milik Belanda zaman dulu. Namanya itu Netherlands Engenering Companny. Jadi hulunya sedang ditangani," papar Widiarto.
Sementara itu, di hilir, pemerintah telah melakukan berbagai upaya pengendalian banjir. Untuk membagi beban air di DKI, pemerintah telah memperbaiki kapasitas beberapa pintu air. Contohnya, Pintu Air Manggarai yang mulanya hanya dapat menampung 330 meter kubik air.
Kapasitas pintu air Manggarai ini tak dapat menampung air dari kali Ciliwung sebanyak 570 meter kubik. Makanya, pemerintah menambah satu pintu di pintu air Manggarai sehingga dapat menampung debit air dari Ciliwung.
“Lalu pintu air Karet yang mulanya menampung 330 meter kubik air, kemudian ditambah satu pintu lagi jadi bisa menampung sekitar 734 meter kubik air. Selain itu, untuk mengurangi Ciliwung juga ada Banjir Kanal Timur. Untuk membantu wilayah Jakarta Timur,” beber Widiarto.
Kemudian, pemerintah membangun sodetan Ciliwung. Sodetan ini juga berfungsi mengurangi debit air di Ciliwung dan dipindahkan ke kali Cipinang. Kapasitas sodetan ini 60 meter kubik per detik.

Sayangnya, pengerjaan proyek sodetan dalam perencanaan penanganan banjir DKI ini masih terkendala pembebasan lahan. Kontrak pengerjaannya pada 2013. Namun, terhenti pada 2015 akibat adanya class action dari masyarakat Bidara Cina.
“Makanya, pengerjaannya terhenti. Dari 1,27 kilometer baru 600 meter yang dikerjakan,” lanjut Widiarto.
Untuk sisa pengerjaan sodetan ini, tambah dia, pemerintah pusat sebagai pengerjaan proyek ini masih menunggu penetapan lokasi dari Pemprov DKI. Penetapan lokasi ini akan memperjelas lahan mana yang akan dibebaskan oleh pemerintah.
Mengenai ini, sebelumnya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan bahwa Proyek sodetan Sungai Ciliwung telah masuk pada tahap penaksiran nilai properti atau appraisal.
"Jadi tentang sodetan Ciliwung itu pada pertengahan Desember kemarin pembicaraan dengan warga sudah selesai. Dan sekarang kami mulai pada fase appraisal dan baru kemudian transaksi untuk tanah," kata Anies beberapa waktu lalu seperti dikutip dari Antara.
Saat itu, Anies menyebut bahwa menilai transaksi pembayaran ganti lahan atau bangunan dapat selesai hingga akhir Januari 2020.
Menurut dia, jika transaksi pembayaran ganti atas lahan yang digunakan untuk kawasan sodetan telah selesai, maka Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dapat melakukan pengerjaan pembangunan, termasuk pintu air (inlet).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya bertindak sebagai fasilitator antara Kementerian PUPR dengan masyarakat di kawasan Bidara Cina, Jakarta Timur.
Anies mengatakan, hal yang memperlama proses pembangunan sodetan yakni adanya kasus hukum atas penggantian lahan atau bangunan.
"Cuma kemarin-kemarin ada gugatan dan saya putuskan untuk tidak melakukan banding, supaya bisa dieksekusi cepat. Lalu saya meminta Kementerian PUPR untuk juga mencabut bandingnya," kata mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Sementara untuk upaya perbaikan aliran Sungai Ciliwung dan sungai-sungai lain di Jakarta, yakni normalisasi ataupun naturalisasi, Anies menilai hal itu merupakan upaya jangka panjang.
Anies mengatakan pelebaran sungai hanyalah pembangunan di kawasan hilir.
Bukan Hanya Sodetan
Perlunya realisasi rencana komprehensif dinilai Pakar Bencana Hydrometrologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Tri Handoko Seto menilai, sangat perlu.
Tri Handoko mengakui, sodetan memang merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi banjir. Namun, sodetan bukan merupakan langkah akhir mencegah adanya banjir di ibu kota. Berdasarkan kajian yang dilakukan BPPT, Seto menjelaskan, cara paling optimal mengatasi banjir dengan teknologi Zero Delta Q (penyerapan air). Sistem ini lebih baik, dibanding membangun sarana drainase konvensional untuk mengurangi risiko banjir.
"Prinsip zero Delta Q adalah keharusan setiap bangunan tidak mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Idealnya, setiap bangunan menyerap air hujannya masing-masing,” kata Seto.
Teknologi zero Delta Q yang telah dikaji BPPT tersebut mencakup biopos (biopori plus pengomposan) untuk perumahan kota, lubang galian (jogangan) untuk perkampungan yang masih memiliki pekarangan luas, desain teknologi sumur resapan dan sumur injeksi untuk perkantoran dan pertokoan.
"Suatu lahan dengan tutupan alami hanya melimpaskan (run-off) air 10%, suatu lahan dengan permukaan kedap air 10-20% akan melimpaskan air 20%, lahan dengan permukaan kedap air 35-50% akan melimpaskan air 30%, sedangkan permukaan dengan 75–100% kedap air akan melimpaskan air 55%," katanya.
Sistem ini, jelas Seto, membuat seluruh air hujan yang turun ditampung. Kemudian, diresapkan ke dalam tanah. Sisanya, baru dialirkan melalui saluran-saluran yang telah dibuat pemerintah sebelumnya.
“Namun, harus diketahui, banyaknya yang ditampung itu minimal sama dengan yang diambil (digunakan.red),” tambah Seto.
Contohnya, Seto menyebut, saat ini, kondisi muka tanah di DKI Jakarta terus menunjukkan penurunan. Hal itu disebabkan penggunaan air tanah di ibu kota lebih besar dibandingkan penyerapan airnya.
Seto menyebut, BPPT pernah mengajukan hasil kajian ini ke pemerintah DKI. Kemudian, pemerintah telah meminta seluruh gedung di ibu kota untuk membuat tampungan air. Tampungan air ini berupa kolam besar yang mampu menampung air dalam jumlah besar.
Q
“Kenyataannya kini tidak ada gaungnya lagi. Sebenarnya, kalau optimal, tampungan air ini bisa digunakan untuk menyiram tanaman dan pengisian air mobil damkar,” tandasnya. (James Manullang)