c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

06 Mei 2019

09:53 WIB

KPA: Ganti Tradisi Pemberian Sertifikat Tanah Dengan Pelepasan Klaim Negara

Presiden Joko Widodo memerintahkan agar para menterinya segera menyelesaikan konflik agraria, tidak menguap begitu saja

Editor: Agung Muhammad Fatwa

KPA: Ganti Tradisi Pemberian Sertifikat Tanah Dengan Pelepasan Klaim Negara
KPA: Ganti Tradisi Pemberian Sertifikat Tanah Dengan Pelepasan Klaim Negara
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Forum Aliansi Mahasiswa Pejuang Agraria (FAPERTA) berunjuk rasa memperingati Hari Agraria di depan Kantor Gubernur Banten di Serang, Senin (24/9). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan bahwa presiden perlu memimpin langsung dan mengawasi secara berkala penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Sebab, KPA menilai selama ini kementerian terkait, seperti Kementerian ATR/BPN, KLHK dan Kementerian BUMN, menghindari upaya penyelesaian konflik agraria bersama rakyat.

“Kami menilai jajaran kementerian terkait justru menghindari langkah penyelesaian konflik agraria bersama rakyat, dan kembali pada kerja-kerja business as usual, dimana masalah konflik agraria dengan rakyat dipandang sebagai problem administrasi hukum semata, bukan sebagai problem keadilan sosial,” kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, dalam keterangan rilisnya, Minggu (5/5).

Dewi menjelaskan, presiden seharusnya dapat memimpin dan mengawasi secara berkala strategi untuk menyelesaikan konflik agraria. Bahkan menurutnya, Jokowi seharusnya juga menggunakan kecepatan dan ketepatan penyelesaian konflik agraria yang dilakukan oleh jajaran menterinya untuk mengevaluasi kinerja mereka.

“Oleh karenanya, menurut kami diperlukan langkah korektif yang cepat dan sistematis, yang langsung dipimpin dan diawasi oleh Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria di Indonesia,” jelasnya.

Adapun langkah yang dapat dilakukan yakni dengan membuat data konsesi perusahaan terkait, seperti HGU, HTI dan HGB, yang menyebabkan konflik agraria dan melanggar hak-hak masyarakat. Dengan begitu, imbuh Dewi, Jokowi dapat mengganti acara penyerahan sertifikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan acara pelepasan lahan yang diklaim milik negara, HGU dan konsesi lainnya. Lahan tersebut berupa lahan tinggal (desa), kampung, sawah, dan kebun. 

Dia mengatarakan, cara ini menjadi langkah awal untuk mewujudkan reforma agraria sebagaimana undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

“Segera overlay data-data konsesi tersebut dengan data-data wilayah hidup rakyat yang telah dilaporkan dan diusulkan berulangkali kepada pemerintah (pusat-daerah) untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria,” jelasnya.

Tidak Menguap
KPA berharap agar hasil Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet Presiden Joko Widodo bersama jajaran menterinya, Jumat (3/5) yang memerintahkan agar para menterinya segera menyelesaikan masalah konflik agraria, tidak menguap begitu saja.

Dewi menyebutkan, Presiden Jokowi sejak awal tahun 2019 sudah pernah memberikan perintah yang serupa. Menurutnya, pemimpin daerah, baik gubernur dan bupati harus mengambil langkah yang sesuai dengan agenda presiden agar komitmen penyelesaian konflik agraria tidak menguap kembali.

“Kami berharap, hasil Ratas dan perintah Presiden ini tidak menguap. Sebab, kami mencatat dalam bulan Februari, Maret dan di awal Mei Presiden memimpin Ratas dengan pembahasan yang hampir serupa,” terangnya.

Gerakan masyarakat sipil, kata Dewi, sebenarnya sudah selalu menuntut penyelesaian konflik agraria pada tiap rezim pemerintahan yang berkuasa. Pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam catatan KPA ada 1.770 kejadian konflik agraria yang dialami oleh 926.700 kepala keluarga. Konflik itu turut disertai dengan penangkapan 1.534 pertani dan masyarakat adat yang tersebar di sejumlah daerah.

Karenanya, penyelesaian masalah konflik agraria oleh pemerintahan Jokowi-JK memang menjadi pekerjaan pemerintah yang hasilnya sangat dinantikan masyarakat. Hanya saja Dewi menyayangkan, selama ini pemerintah belum serius atasi konflik agraria di Indonesia, baik konflik rakyat dengan perusahaan swasta, perkebunan negara (BUMN), maupun konflik agraria antara rakyat dengan pemerintah.

“Dalam 4 tahun terakhir ini, para menteri terkait enggan menyentuh wilayah-wilayah konflik agraria yang bersifat struktural untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria. Sejak 2015 – 2018, terjadi 1.769 kejadian konflik agraria di seluruh provinsi (Catatan Akhir Tahun KPA, 2018),” paparnya.

KPA juga mengkritisi kinerja unit-unit penyelesaian konflik dan sengketa lahan yang ada di kementerian dan lembaga negara di tingkat pusat dan daerah yang terbukti tidak sanggup untuk menyelesaikan konflik agraria. Hal itu dikarenakan penyelesaian konflik agraria ini merupakan masalah yang melibatkan lintas sektor pemerintahan. (Dana Pratiwi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar