c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

11 Juni 2020

20:38 WIB

Ikhtiar Mengawal Santri Beradaptasi Dengan Pandemi

Solusi atas keterbatasan dana dan tradisi ulama-santri harus dipikirkan

Ikhtiar Mengawal Santri Beradaptasi Dengan Pandemi
Ikhtiar Mengawal Santri Beradaptasi Dengan Pandemi
Santri pesantren Mahyal Ulum Al Aziziyah, Sibreh mengikuti rapid test covid-19 setelah libur panjang di Aceh Besar, Aceh, Kamis (11/6/2020). ANTARAFOTO/Irwansyah Putra

JAKARTA – Satu demi satu aktivitas kehidupan dipulihkan seiring bergulirnya penerapan kelaziman baru (new normal) di tengah pandemi covid-19. Di dunia pendidikan hal ini acap kali dimaknai dengan mengembalikan pembelajaran tatap muka di ruang-ruang kelas.

Wacana pembukaan kembali pesantren pun, sebagaimana wacana serupa pada sekolah umum, menimbulkan perdebatan. Sebagian orang menilai membuka kembali pesantren lebih aman dibandingkan sekolah umum. Mobilitas santri yang terbatas di lingkungan pesantrennya lebih mudah dipantau menjadi argumennya.

“Di pesantren itu lebih aman daripada sekolah. Kalau sekolah itu kan (siswanya) bolak-balik, pulang ke rumah, pergi lagi ke sekolah, di jalan juga. Sementara kalau di pesantren itu selama dari awal sudah ditata. Sebenarnya jauh lebih aman daripada sekolah,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Jakarta, Senin (8/6).

Sebagian lain menganggap pembukaan pesantren tak minim risiko. Terlebih sudah ada sejumlah santri positif terinfeksi covid-19.

Namun, pada akhirnya pemerintah membolehkan pesantren di zona hijau dibuka asal menjalankan protokol kesehatan. Sementara, pesantren di zona kuning, oranye, dan merah wajib berkoordinasi lebih dulu dengan gugus tugas.

Kini sejumlah pondok pesantren pun sudah bersiap menerima kedatangan santri yang beberapa bulan lalu terpaksa dipulangkan. Termasuk menyiapkan penyesuaian tata cara para santri memondok dan belajar di kelas.

Persiapan membuka kembali pesantren salah satunya dilakukan Pondok Pesantren Tebuireng di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, dengan sekitar empat ribu santri. Para santri sebelumnya dipulangkan pada 25 Maret 2020. Mereka yang berasal dari luar Jawa Timur dipulangkan menggunakan lima belas bus. Yang berada di daerah dekat pesantren, mereka dijemput keluarga.

Mereka diliburkan hingga batas waktu yang tak ditentukan. Namun, Pembina dan Penanggung Jawab Kumpulan Dai Pondok Pesantren Tebuireng, Ali Mustofa mengatakan, para santri direncanakan akan kembali pada akhir Juni atau awal Juli tahun ini.

“Untuk pastinya belum ada, cuma akhir-akhir ini masih berembuk rapat dari pihak keluarga, pihak pengurus, juga dari pihak pesantren-pesantren yang berada di Jombang. Ini masih terus digodok untuk kepastiannya,” kata Ali kepada Validnews, Selasa (9/6).

Masalah Infrastruktur
Ali menjelaskan, kembalinya santri kemungkinan akan dilakukan secara bertahap, misalnya dibagi per jenjang kelas pada waktu tertentu. Kemudian ada wacana bahwa santri harus membawa surat pemeriksaan kesehatan saat kembali ke pesantren.

Biaya pemeriksaan kesehatan diakui mungkin memberatkan sebagian santri. Solusinya belum ditemukan. Mereka untuk saat ini baru sanggup memberi keringanan kepada santri dalam pembiayaan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). 

Secara garis besar, pihak pesantren akan berupaya menerapkan semua unsur protokol kesehatan khusus pesantren. Beberapa di antaranya, mengadakan ruang isolasi, menyediakan fasilitas sanitasi yang baik untuk mencuci tangan, dan mengurangi jumlah santri dalam satu asrama maupun kelas.

“Jadi yang awal biasanya satu kelas itu empat puluh santri, bisa jadi nanti ketika para santri sudah kembali bisa dikurangi entah separuhnya atau berapa. Tetapi yang jelas pasti seperti itu,” ujar Ali.

Namun keberatan terhadap rencana pembukaan kembali pesantren pada masa kelaziman baru lebih terletak pada kemampuan pesantren yang tidak merata. Bagi pesantren-pesantren besar, yang memiliki pendanaan atau luas lahan yang cukup, mungkin tak akan mengalami kendala seperti pesantren-pesantren kecil.

Anggota Komisi VIII DPR, Bukhori Yusuf mengatakan, pesantren pada umumnya memiliki sumber daya finansial yang terbatas sehingga diperlukan intervensi atau bantuan pemerintah daerah. Apalagi banyak fasilitas penunjang yang dibutuhkan untuk menjalani kelaziman baru di pesantren.

“Untuk melengkapi protokol kesehatan terkait tempat cuci, memperbanyak wastafel, dan seterusnya, ini kan perlu pendanaan. Sedianya pemerintah daerah memang harus memfasilitasi itu. Apakah pemerintah daerah sendiri melalui dana APBD, atau kemudian dia menggandeng pihak lain yang bisa membantu itu,” ucap Bukhori kepada Validnews, Selasa (9/6).

Persoalan sanitasi ini juga sempat disinggung Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, ketika membicarakan kebijakan afirmasi pesantren tiga hari lalu, Senin (8/6). Saat itu, dia menyebutkan pemerintah akan memberi bantuan fasilitas untuk pengimplementasian kelaziman baru bagi pesantren yang menjadi prioritas.

Bantuan itu diharapkan dapat membuat pesantren menjadi percontohan penerapan kelaziman baru. Sekaligus, secara tidak langsung, dapat diduga kalau masih banyak pesantren yang belum memiliki fasilitas sanitasi yang memadai sampai saat ini.

Di samping itu, biaya tes cepat dan tes polymerase chain reaction (PCR) juga dinilai memberatkan santri maupun pesantren. Bukan hanya bagi pesantren besar di daerah seperti Pondok Pesantren Tebuireng, bahkan yang ada di Jakarta juga kesulitan. Bukhori mengatakan, saat ini biaya tes PCR rata-rata antara Rp400 ribu–700 ribu per orang.

“Kalau tidak digratiskan, mereka pasti tidak bisa melaksanakan tugas-tugas itu,” ungkapnya.

Bukhori mengungkapkan masalah lain muncul terkait ruang tambahan agar santri bisa menjaga jarak (physical distancing), baik ketika berada di asrama maupun di ruang kelas. Berdasarkan protokol kesehatan, seharusnya sebuah ruang hanya diisi separuh dari jumlah santri pada saat situasi normal.

Menggeser Tradisi Lama
Penerapan model pembelajaran daring (dalam jaringan) di dalam pesantren bisa menjadi salah satu alternatif untuk menjaga jarak ketika tidak memungkinkan tatap muka. Jadi pembukaan pesantren pun pada akhirnya bisa jadi mengubah metode pembelajaran. 

Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Sudarnoto Abdul Hakim menjelaskan, ketika metode daring diterapkan, maka mau tak mau kebiasaan atau tradisi pembelajaran tatap muka menjadi berkurang. Padahal tradisi ini punya nilai penting bagi proses pendidikan pondok pesantren.

Nilai penting yang dimaksud lantaran ada dimensi personal antara hubungan santri dan kiai dalam proses pendidikan. Sebab yang diajarkan di dalam pesantren cenderung mengutamakan perilaku dan mentalitas. Dengan demikian, mediasi interaksi ini tidak bisa dimediasi dengan menggunakan teknologi digital.

“Karena itu pertemuan kiai dengan santri menjadi sangat penting. Bukan saja untuk keperluan santri menghormati kepada kiai, tetapi dalam pendidikan itu personal touchment penting,” ungkap Sudarnoto kepada Validnews, Selasa (9/6).

Oleh karena itu, dia berpendapat pandemi covid-19 ini bisa menjadi momentum untuk mendorong pesantren memulai tradisi baru dengan pemanfaatan teknologi digital. Masalah ini mengingatkan dirinya pada masa Orde Baru ketika pemerintah memberikan televisi ke pesantren-pesantren.

Pemberian televisi saat itu bertujuan agar santri mengetahui informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Tetapi kemudian, Sudarnoto melanjutkan, hal tersebut menjadi persoalan. Ini malah membuat waktu yang diluangkan untuk pembelajaran tatap muka antara santri dengan kiai menjadi berkurang.

“Itu tradisi pesantren lama. Saya kira dengan perubahan zaman seperti sekarang ini dengan teknologi digital ya. Karena pesantren tidak bisa dan tidak mungkin menutup diri dengan bertahan dengan cara-cara lama, lalu mengabaikan atau tidak menggunakan teknologi informasi,” kata dia.

Sudarnoto mengungkapkan perlu dirumuskan ulang pola komunikasi yang terjalin antara santri dan gurunya melalui teknologi digital. Jadi kearifan-kearifan dari tradisi tatap muka tidak hilang, tetapi disesuaikan dengan cara-cara baru di tengah pandemi covid-19.

Menunggu Panduan
Meski kelaziman baru dan pembukaan pesantren sudah santer dibicarakan, tetapi sebenarnya belum ada panduan resmi dari Kementerian Agama (Kemenag). Plt Direktur Pendidikan Diniyah Pondok Pesantren Kemenag, Imam Syafei, berujar bahwa pedoman itu masih berupa draf dalam tahap pembahasan akhir.

Imam sendiri enggan membeberkan isi draf penerapan kelaziman baru untuk pesantren itu. Dia hanya memberitahukan bahwa penyusunan draf turut melibatkan organisasi Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdatul Ulama, dan Pengurus Pusat Muhammadiyah.

“Penerapan new normal dan protokol kesehatan di pesantren masih terus dibahas dengan kementerian dan lembaga terkait, Insyaallah Minggu ini selesai dan bisa langsung diterapkan di pondok pesantren,” ungkap Imam kepada Validnews, Senin (8/6).

Imam justru mengimbau para santri untuk tidak kembali ke pesantren sampai pembahasan draf tersebut rampung. Dengan demikian, tampak ada keganjilan antara permintaan Kemenag dan fakta bahwa sudah banyak pesantren yang menetapkan tanggal kembalinya santri.

“Santri yang belum kembali dapat menggunakan metode online dalam pembelajaran, sedangkan santri yang masih di pesantren wajib menerapkan protokol kesehatan dalam setiap kegiatan,” kata dia. (Wandha Nur Hidayat, Fuad Rizky)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar