24 Desember 2019
14:27 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah mendorong Indonesia untuk belajar dari Senegal yang mampu memproduksi dan mendapatkan keuntungan dari penjualan vaksin Yellow Fever halal. Pemerintah Indonesia pun harus dapat memacu riset, agar dapat menghasilkan berbagai obat dan vaksin halal yang sampai saat ini masih didominasi materi berbahan baku nonhalal.
"Kita harus dapat mengambil hikmah dari Senegal yang menemukan bahan vaksin Yellow Vever dari bahan substitusi yang halal. Kini negara tersebut mendulang devisa dari perdagangan vaksin di kawasan Afrika Barat," katanya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa (24/12) seperti dilansir Antara.
Bila Indonesia dapat mencontoh Senegal, kata dia, maka tidak perlu lagi membelanjakan triliunan rupiah untuk pengadaan vaksin Bacille Calmette-Guérin (BCG) untuk tuberkulosis, difteri, campak, cacar, meningitis, serviks dan lainnya.
"Ini sekaligus tantangan bagi Biofarma sebagai industri vaksin terbesar di Indonesia untuk mampu berkolaborasi dengan universitas untuk memperkuat riset," tuturnya.
Sebagai langkah awal, Indonesia, lanjutnya, bisa mendorong kampus-kampus terkemuka untuk menguatkan risetnya dalam industri vaksin halal. Universitas di Indonesia, misalnya, bisa fokus melakukan penelitian untuk dapat menghasilkan bahan pengganti obat dan vaksin yang tidak halal, dengan bahan substitusi yang halal.
Upaya tersebut wajib dilakukan dalam lima tahun ke depan dimulai dari saat ini. Menurut Ikhsan, Indonesia harus maksimal mengambil keuntungan dari bisnis produk halal yang sangat potensial dan besar pasarnya, meliputi makanan, minuman, kosmetika, obat, busana dan pariwisata halal.
"Saat ini kita masih menempati posisi utama sebagai negara konsumen terbesar yang membelanjakan hampir 170 miliar dolar AS per tahun untuk produk halal, berdasarkan data Global Islamic Economy Indicator 2018/2019. Artinya bila kita dapat memasok kebutuhan sendiri, maka kita akan menghemat devisa sebesar Rp2.465 triliun per tahun," bebernya.
Ia melanjutkan, hal yang tidak kalah penting adalah infrastruktur dalam negeri yang mengurusi sertifikasi halal, harus terus diperkuat. Saat ini di dalam negeri masih terus berputar-putar pada persoalan sertifikasi halal. Bahkan sampai pada stagnasi proses pendaftaran sertifikasi halal. Alasannya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum siap menyelenggarakan sertifikasi halal.
Dia mengatakan persoalan sertifikasi halal harus segera ada solusinya, sembari terus membangun berbagai unsur pendukung. Ini agar Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya sendiri dalam sektor industri halal.
"Yang harus dilakukan saat ini bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan dari perdagangan industri halal dan Indonesia menjadi industri utama dunia dalam perdagangan produk halal. Karena sertifikasi halal itu hanya salah satu instrumen saja," kata Ikhsan.

Didominasi Polio
Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) RI Bambang Brodjonegoro mengatakan, permintaan tertinggi untuk vaksin dan serum yang ada di PT Bio Farma Persero saat ini didominasi oleh polio.
"Saya tidak tahu hal ini mengejutkan atau tidak, namun permintaan tertinggi adalah untuk polio," kata dia saat menerima kunjungan tim peneliti Malaysian Society of Neurosciences (MSN) and Ind Neuroscience Institute (INI) Research Collaboration beberapa waktu lalu.
Polio atau disebut juga dengan poliomyelitis, merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus di mana hal itu dapat menyerang sistem saraf pusat. Ia menjelaskan bahaya penyakit polio itu menyebabkannya menjadi salah satu jenis penyakit yang benar-benar harus diberantas. Sayangnya, apapun langkah yang telah dilakukan tetap saja virus itu masih ada.
Tidak hanya di Indonesia, berdasarkan ekspedisi oleh PT Bio Farma Persero diketahui, wabah yang sama juga ditemukan di wilayah lain Asia Tenggara khususnya Filipina. "Ini cukup mengejutkan karena kami pikir virus itu hanya ada di Indonesia saja, ternyata juga ada di Filipina," ujarnya.
Terkait banyaknya kasus polio ditemukan, ia mengatakan, hal itu menjadi salah satu alasan pula kenapa instansi atau lembaga terkait menempatkan isu dan permasalahan di bidang kesehatan, menjadi salah satu prioritas nasional. Termasuk pula dengan masih beragamnya penyakit tidak menular di antaranya kanker, stroke dan sebagainya.
"Permasalahan ini akan digali dalam keilmuan tertentu khususnya neurosciences atau ilmu saraf. Sebab, ini berkaitan dengan bagian terpenting dalam tubuh kita," tuturnya.
Dalam rangka mendukung hal itu, pemerintah juga mendirikan atau menyediakan lembaga nasional untuk penelitian dan inovasi. Tujuannya, memperoleh kegiatan-kegiatan penelitian dan inovasi terintegrasi.
"Jadi nanti ada sinergi dan kolaborasi penelitian. Jika perlu, tentukan pula tujuan objektif dari setiap kolaborasi setidaknya terkait hal-hal yang akan diteliti dan dihasilkan baik itu satu, dua atau lima tahun ke depan sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan," tandasnya. (Faisal Rachman)