c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

08 Desember 2018

13:44 WIB

Denyut Barter di Tapal Batas

Transaksi barter yang dilakukan masyarakat di daerah perbatasan lebih dari sekedar aktivitas ekonomi

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Denyut Barter di Tapal Batas
Denyut Barter di Tapal Batas
Warga Papua Nugini melintas Posko militer Perbatasan Indonesia-Papua Nugini setelah melakukan transaksi kebutuhan pokok dengan warga Papua di Skouw, Distrik Muara Tami, Jayapura, Papua, beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/ Sigid Kurniawan

JAKARTA – Pesatnya perkembangan ritel yang diiringi dengan perkembangan teknologi, berdampak besar pada perubahan tren transaksi jual-beli di kalangan masyarakat. Belakangan makin banyak transaksi jual-beli di masyarakat yang memanfaatkan fitur layanan online.

Namun, situasi demikian tak seutuhnya berdampak hingga tapal batas negeri. Keterbatasan infrastruktur penunjang 'memaksa' masyarakat setempat membangun cara sendiri yang jauh dari kesan modern. Ya, masyarakat di perbatasan nyatanya memang masih mengandalkan pasar tradisional dan melakukan barter dalam transaksinya.

Menariknya, transaksi barter yang dilakukan masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia tak hanya terjadi di dalam pasar lokal. Guna memenuhi kebutuhan hidupnya, tak jarang masyarakat di wilayah perbatasan harus berkunjung ke pasar tradisional yang berada di negara lain.

Fenomena barter ini tidaklah terjadi tanpa sebab. Minimnya ketersediaan infrastruktur di daerah perbatasan telah menyebabkan distribusi barang tak merata. Bilapun barang yang dibutuhkan tersedia harganya bisa menjadi lebih mahal.

Hasil penelitian Endang Rudiatin di daerah Sebatik, Indonesia, setidaknya menguatkan fakta ini. Dalam penelitiannya dijelaskan bagaimana kegiatan ekonomi masyarakat di daerah itu terkait kuat dengan masyarakat di daerah Tawau, Malaysia.

Dalam penelitiannya yang dilakukan di salah satu desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat, Kalimantan Utara, seorang warga menguak alasan masyarakat kerap pergi ke pasar di Tawau, Malaysia. Sebabnya karena jarak ke Tawau lebih dekat ketimbang ke ibu kota Nunukan, dan kota-kota wilayah Kalimantan Timur lainnya.

Mudahnya akses keluar dan masuk melintasi perbatasan, memang semakin meningkatkan keleluasaan interaksi masyarakat di daerah perbatasan. Utamanya penduduk yang rumahnya yang tepat berada di atas garis perbatasan.

Dalam laporan penelitiannya, Endan menggambarkan jika rumah mereka terbagi ke dalam dua bagian, misalnya ruang tamu masuk ke wilayah Indonesia. Sedangkan, ruang dapur masuk ke wilayah Malaysia, situasi itu membuat mereka begitu mudah mengakses sumber-sumber daya dari wilayah Indonesia maupun Malaysia. Apalagi ada Pas Lintas Batas (PLB) yang membuat mereka keluar masuk wilayah Malaysia secara leluasa.

Ketertarikan masyarakat di daerah perbatasan untuk membeli barang dagangan di negara lain ini juga tak terlepas dari persoalan pembangunan. Pada kasus Sebatik misalnya, Endang menyebutkan lebih majunya pembangunan di daerah perbatasan Malaysia telah berdampak pada kelambanan pertumbuhan ekonomi.

Produk kebutuhan masyarakat yang lebih bervariasi memang hanya dapat ditemukan di Tawau. Oleh sebab itu, kata Endang, masyarakat berbondong-bondong untuk melintasi batas Tawau untuk membeli produk dagang mereka, baik dengan menggunakan uang sebagai alat transaksi atau barter hasil bumi.

Ikatan Budaya
Terlepas dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup, transaksi jual beli yang terjadi di daerah perbatasan menyimpan keunikan tersendiri. Di Desa Aji Kuning Sebatik, Endang menemukan bahwa perilaku pelaku-pelaku ekonomi, dalam hal ini penjual dan pembeli di pasar, tidak melulu didasari oleh hal-hal yang sifatnya rasional.

Mereka turut menggunakan hubungan-hubungan kekerabatan dan etnik yang dapat mempermudah mereka dalam proses transaksi. Bahkan menurut Endang, relasi antara mereka lebih dilekati dengan kedekatan hubungan daripada keuntungan.

Mereka pun tak hanya menggunakan sistem transaksi tunai dan kredit, tetapi juga barter. Sistem barter yang diterapkan yaitu seperti petani yang menjual produknya dan ditukar dengan kebutuhan sembako dan sarana produksi pertanian.

Cara transaksi mereka ditentukan dari jenis komoditas yang diperdagangkan, tanpa adanya batasan tempat dan waktu. Endang menyebutkan, kegiatan ekonomi masyarakat di sana tidak dapat dilepaskan dari lingkungan, keadaan sosial, etnisitas, politik lokal, relasi bilateral, serta iklim.

Uang, barang, dan jasa di daerah itu juga tidak hanya berfungsi sebagai bisnis dan ekonomi, tetapi juga ada fungsi sosial-budaya dan politik. Hal ini biasanya terjadi dalam persekutuan-persekutuan bisnis, baik kekerabatan, etnis, kelompok agama ataupun kelompok usaha tani atau nelayan.

Persekutuan-persekutuan itu pun tak hanya berorientasi profit, tetapi juga melekat dengan adanya kewajiban sosial yang dimiliki anggotanya.

Adanya kesamaan budaya daerah Sebatik, Indonesia dengan Sabah, Malaysia, yang didominasi kultur dan etnis, seperti Bugis dari Sulawesi Selatan, Jawa-Madura, serta Dayak Tidung, menurut Endang, turut mendukung proses interaksi sosial-ekonomi di perbatasan antar kedua negara tersebut. Utamanya yakni etnis Sulawesia yang banyak berasal dari Bugis.

Hal itu membuat peraturan lintas batas kedua negara tak menyurutkan keberlangsungan kegiatan antar dua masyarakat di perbatasan tersebut. Justru Endang melihat bahwa kesamaan budaya dan etnis menjadi sumber manfaat yang mempermudah proses interaksi sosial-ekonomi mereka.

Endang menjelaskan bahwa masyarakat suatu negara yang etnis dan budayanya saling bersentuhan, akan dapat menghilangkan ide-ide konstruksi etnis yang memisahkan mereka. Hal itu dikarenakan karakter dari batasan-batasan yang dimiliki etnis yang tidak bersifat tetap.

Artinya batasan etnis tersebut dapat dipersempit atau diperluas dalam rangka kepentingan ekonomi. Pada akhirnya, mereka pun akan bersama-sama melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kekurangan yang dibutuhkan dari masing-masing etnis demi keberlangsungan hidup mereka. Endang menyebut fenomena tersebut sebagai integrasi ekonomi yang terjadi di masyarakat perbatasan antar negara.

Aktivitas ekonomi lintas batas yang terjadi di perbatasan negara kiranya juga tak mengancam integrasi bangsa. Menurut Endang, aktivitas ekonomi masyarakat perbatasan seperti di Sebatik, hanyalah strategi mereka dalam mata pencaharian mereka. Aktivitas ekonomi mereka tak terhubung dengan aktivitas separatis.

Mereka juga masih terus-menerus harus bernegosiasi terhadap peraturan yang telah ada, baik peraturan pemerintah pusat maupun lokal. Aktivitas ekonomi mereka tidak seperti blackmarket skala besar. Cara mereka mendistribusikan barang pun tidaklah membahayakan pemerintah pusat dalam arti separatis, meski memang bersifat ilegal.

Apalagi fenomena serupa juga terjadi di daerah lain, seperti di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulwesi Utara yang berbatasan dengan Davao del Sur, Filipina. Maria Heny Praktinjo lewat penelitiannya mengungkapkan bahwa sebagaimana daerah perbatasan lainnya, daerah Talau masih mengalami problematika terkait kemiskinan, serta persoalan infrastruktur seperti akses transportasi dan komunikasi.

Untuk memenuhi kesejahteraan hidup masyarakat Talaud melakukan barter barang dan perdagangan tradisional dengan masyarakat perbatasan Filipina. Hal tersebut memang menimbulkan adanya asimilasi budaya di antara kedua masyarakat lintas perbatasan tersebut.

Kendati demikian, Maria mengamati hal tersebut tak menjadi ancaman bagi integrasi nasional bangsa Indonesia. Identitas nasional Indonesia begitu melekat oleh mereka melalui identitas kedaerahan mereka sebagai orang Talaud.

Masyarakat Talaud memang masih berupaya mempertahankan tradisi kebudayaan mereka, antara lain yaitu sistem kepemimpinan adat ratumbanua, kearifan dalam bentuk Eha, Mane’e, Manamme, dan kesenian rakyat seperti lagu-lagu daerah, tari ba’ra, tari gunde, garis dobol.

Kemudian adanya kepatuhan masyarakat terhadap adat istiadat dan kepada tokoh informal yang sangat kuat ikut turut melindungi kelestarian budaya tradisi Talaud. Masyarakat Talaud diketahui begitu meyakini dan percaya bila mereka melanggar peraturan adat, maka mereka akan mendapatkan malapetaka. Dengan demikian, potensi ancaman identitas nasional dapat ditangkal dengan adanya kesadaran identitas tersebut, meski masyarakat Talaud  memiliki hubungan yang terbuka dengan bangsa luar.

Tak Melulu Negatif
Aktivitas perdagangan lintas batas memang rentan trejadi transaksi ilegal, namun bukan berarti tak ada nilai positif dari aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat di daerah perbatasan.

Hermansyah dalam penelitiannya terkait aktivitas ekonomi masyarakat perbatasan di daerah Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia, menilai aktivitas perdagangan yang dilakukan mereka adalah hal yang positif. Alasannya karena hal itu mereka lakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Di daerah itu, masyarakat melakukan barter dengan jenis barang seperti hasil produk pertanian. Aktivitas barter yang dilakukan oleh mereka juga tak terlepas dari adanya jalinan hubungan kekeluargaan dengan negara tetangga yang terjadi baik karena perkawinan maupun karena berada pada satu garis keturunan.

Dari kondisi itu, Hermansyah melihat bahwa aktivitas barter yang mereka lakukan tak hanya sekedar aktivitas ekonomi semata, melainkan juga ada makna hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.

Hal senada juga turut diungkapkan oleh Akademisi Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia (UI) Aisha Kusumasomantri. Aisha juga menilai jika ada hal positif dan negatif dari adanya aktivitas perdagangan dengan cara barter yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan.

“Positifnya bagi masyarakat perbatasan justru menguntungkan mereka karena dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Aisha, kepada Validnews, Jumat,(07/12).

Aisha menyebutkan bahwa rata-rata orang yang melakukan sistem barter terdiri dari masyarakat tradisional di daerah perbatsan. Ia mengatakan bahwa aktivitas barter yang mereka lakukan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bagi masyarakat yang membutuhkan kebutuhan pangan dengan cepat, menurut Aisha, hal itu tentunya akan lebih mudah bagi masyarakat di perbatasan untuk menggunakan sistem barter dari pada menggunakan sistem pembayaran yang formal. Ia juga mengatakan bahwa mereka menilai sistem barter lebih praktis dibandingkan dengan sistem jual beli yang modern.

“Bagi masyarakat tradisional, sistem barter dirasa lebih praktis karena  disesuaikan dengan kebutuhan yang cukup mirip, sehingga mereka akan saling melakukan barter untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain,” terangnya.

Ia mencontohkan misalnya di Indonesia memiliki hasil umbi-umbian, sedangkan di wilayah lainnya  memiliki makanan cepat saji atau kaleng. Sedangkan ketika menggunakan transaksi dengan mata uang tertentu itu, masyarakat di daerah perbatasan harus menukarkan kembali mata uang sesuai dengan spesifik mata uang yang digunakan. Namun di lain sisi, mereka pun sulit untuk menemukan tempat pertukaran mata uang asing.

Sebagaimana hasil penelitian lainnya, Aisha juga berpendapat adanya ikatan kekeluargaan atau kekerabatan antara penduduk Indonesia dan negara lain di wilayah perbatasan menjadi salah satu penyebab masyarakat melakukan transaksi barter. Hal ini menurutnya bisa terjadi lantaran batas garis wilayah perbatasan bersifat imajiner.

“Jadi mereka memisahkan satu rumpun etnis yang sebenarnya masih mirip. Itu terjadi misalnya seperti antara Papua dan Papua Nugini,” jelasnya.

Hal tersebut membuat banyak di antara masyarakat yang mengandalkan kekeluargaan. Mereka kemudian melakukan sistem barter dengan komoditas yang mirip atau sesuai dengan kebutuhan mereka.

Meski begitu, Aisha juga menjelaskan bahwa adanya dampak negatif dari transaksi barter yang dilakukan oleh masyarakat di perbatasan, seperti adanya transaksi ilegal. Hal tersebut  bisa menjerumuskan masyarakat di perbatasan terlibat ke dalam kejahatan transnasional.

Akan tetapi menurutnya, hal itu semata-mata dapat terjadi bukan karena keinginan mereka, melainkan akibat kungkungan dari sistem yang ada. “Mereka terjebak dalam sebuah sistem yang dapat membuat mereka terlibat ke dalam kejahatan transnasional,” paparnya.

Terlebih transaksi barter tidak hanya dilakukan di jalur legal seperti di Pos Lintas Batas Negara (PLBN), tetapi juga dilakukan di jalan-jalan tikus.

“Ada juga titik-titik diperbatasan yang tidak terdaftar seperti jalan tikus yang tidak terkontrol, berpotensi masuknya barang-barang ilegal seperti narkoba dan senjata,” jelasnya.

Adanya transaksi melalui jalur-jalur tikus tersebut menurut Aisha dikarenakan masih kurangnya penjagaan di perbatasan, sehingga menjadi celah terjadinya kejahatan transnasional.

Aisha menambahkan, belum adanya regulasi yang mengatur aktivitas barter juga merugikan penghasilan pajak negara karena barang-barang yang terdistribusi tidak terdata. Ketiadaan regulasi juga membuat barang-barang ilegal yang beredar di masyarakat menjadi tidak terkontrol.

Saat ini, dikatakan Aisha, ada rencana pemerintah untuk membuat peraturan perdagangan barter antara masyarakat di daerah perbatasan Indonesia dengan masyarakat negara lainnya. Aturan itu diharapkan dapat mengatasi persoalan terkait perdagangan barter di perbatasan. (Dana Pratiwi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar