c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

NASIONAL

08 Oktober 2018

22:22 WIB

Antara Harta, Tahta dan Kuasa Pengusaha

Penelitian empiris di India, Pakistan, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan pun mengurai hubungan mesra penguasa dan pengusaha dalam mengejar rente ekonomi untuk membangun kelompok business-politico

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Antara Harta, Tahta dan Kuasa Pengusaha
Antara Harta, Tahta dan Kuasa Pengusaha
Ilustrasi rapat paripurna DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

JAKARTA – Meski bukan segalanya, tanpa uang, segalanya menjadi lebih sulit. Sudah jadi rahasia umum, hal ini juga berlaku di dunia politik. Tercatat sejumlah fakta integritas ditandatangani, uang masih menjadi faktor penting dalam kontestasi politik di negeri ini.

Kredibilitas ataupun integritas seseorang calon yang maju dalam kontestasi politik kian hari seolah hanya menjadi faktor penguat, jika tak bisa dibilang sekadar lip service. Dengan kekuatan uang, semua kekurangan bisa dipoles dengan menaikan citra di mata konstituen.

Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebelumnya menunjukkan, dengan daya pikat finansial yang besar, nominasi bisa dibeli agar mereka dicalonkan sebagai anggota legislatif.

Sebenarnya, fenomena ini tak hanya di Indonesia. Setumpuk penelitian secara empiris dan komparatif di negara-negara berkembang pun menunjukkan butuhnya sokongan finansial yang besar dalam berpolitik. Tak heran, hal tersebut mendorong masuknya para pengusaha bisnis ke dalam jabatan publik atau elite kekuasaan.

Sebagai barternya, pengusaha, khususnya di negara berkembang, bisa menikmati rente dari penguasa. Keuntungan yang diraih bisa berupa imbalan finansial dan kesempatan bisnis, pengamanan bisnis, regulasi yang ‘membela’ sang pengusaha, dukungan politik untuk relasi sang pengusaha dan seabrek kepentingan lainnya.

Penelitian empiris di India, Pakistan, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan pun mengurai hubungan mesra penguasa dan pengusaha dalam mengejar rente ekonomi untuk membangun kelompok business-politico.

Hal ini pun turut terjadi di Indonesia. Menurut Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, kuatnya permainan modal dalam lingkaran partai politik Indonesia tak lepas dari coretan sejarah masa Orde Baru. Euforia pasca Orde Lama membuat negara tak begitu jeli membuat pengaturan soal kepartaian.

Alhasil, sistem multipartai yang kemudian diterapkan justru dimanfaatkan oleh mereka yang berduit untuk mendirikan partainya masing-masing. Tujuannya tak lain adalah untuk menjamin kepentingannya terlindungi ke depannya. Apalagi ketika itu pengusaha banyak mendapat keuntungan dari rezim Orde Baru yang gencar melakukan pembangunan dan membutuhkan dana segar.

Kondisi itu yang kemudian menurutnya membentuk partai politik Indonesia hingga kini, masuk dalam perangkap oligarki. Hanya ada satu atau dua orang saja yang memegang kendali atas partai politik.

Mereka tak lain adalah orang-orang yang memiliki dana besar. Akhirnya partai politik pun terbentuk sebagai organisasi milik perseorangan atau kelompok tertentu dengan sistem keuangan yang tak transparan.

“Keuangan partai politik itu selalu tidak pernah bisa keluar yang originalnya. Bukan cuma karena sifatnya tertutup. Tapi membuka itu sama juga membuka aib. Jadi kalaupun ada data yang dipublikasi itu pasti bukan data sesungguhnya. Data yang sudah sedemikian rupa dipoles sehingga kelihatan wajar,” ujar Lucius kepada Validnews, Jumat (5/10).

 

 

Pragmatisme pun muncul dalam partai politik saat ini. Masalahnya mereka yang dari awal memegang modal, bisa membangun partai, dan menempati posisi-posisi strategis di situ. Partai politik betul-betul digunakan sebagai alat untuk mengejar kekuasaan. Walhasil, keberadaan idelogi partai pun jadi tak dihiraukan.

Menurut Lucius kondisinya justru semakin parah saat ini. Masyarakat seakan berada dalam pasar bebas yang harus diperebutkan oleh 16 partai politik dan ribuan caleg. Parahnya tak banyak yang dapat dipilih masyarakat. Partai dan calon legislatif cenderung memiliki warna senada sehingga uang pun berbicara.

Hal ini lah yang kemudian menurutnya membuat biaya kampanye sering kali menjadi alasan mengapa kegiatan politik di Indonesia dibilang mahal. Ironisnya, sampai detik ini, tak ada jalan keluar sesungguhnya, kecuali lagi-lagi hanya berupa macan di atas kertas.

“Malah lebih mahal lagi sekarang dengan pemilu serentak. Dia (calon legislatif) harus mulai menyumbang untuk pilpres (pemilihan presiden)-nya. Pada saat yang sama dia harus memikirkan dirinya dan partainya, jadi tambah mahal,” ujar Lucius.

Untuk dapat berkompetisi dalam pencalegan saja, partai menurutnya punya hitung-hitungannya sendiri. Mereka yang memiliki sumbangsih terbesar terhadap partai, umumnya akan ditempatkan pada nomor-nomor kecil, posisi yang paling berpeluang untuk terpilih.

Sedangkan kader partai yang telah memiliki pengalaman organisasi, jika tak bersumbangsih besar, tetap akan tersisih, atau paling banter hanya menjadi penggembira dengan nomor urut yang tak strategis. Tak bisa diganggu gugat, partai yang sudah terkooptasi sejumlah kepentingan bisnis, memiliki hak menentukan pemberian nomor sesuai sumbangsih calonnya tersebut.

Oh, iya, soal sumbangsih yang dimaksud di atas, adalah sumbangsih dalam artian modal finansial. Melihat pola ini, menurut Lucius tak heran ketika partai politik gencar melakukan perekrutan, khususnya kepada pengusaha atau orang yang mendapat sokongan pengusaha.

Namun, tak jarang juga, seorang pengusaha atau kumpulan pengusaha, mendanai sebuah partai tanpa harus terjun langsung menjadi calon legislatif. Perannya, kerap hanya menjadi aktor di belakang layar atau tak secara terang-terangan muncul di publik sebagai pendana partai.

Untuk jenis satu ini, bisa jadi seorang pengusaha atau kumpulan pengusaha, menjadi penyumbang di lebih dari satu partai. Tujuannya jelas, memperbesar probabilitas untuk membela kepentingannya.

Dominasi Elite
Dominasi kaum elite dalam partai politik ini pun turut disoroti Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini. Menurutnya sebagai suatu institusi yang bersifat inklusif, partai politik memang terbuka bagi siapapun. Akan tetapi yang dikhawatirkan adalah terjadi personalisasi kelembagaan oleh kaum elite sehingga membuat partai politik kehilangan nilai dasarnya yang demokratis.

“Tidak boleh ada tata kelola pengelolaan partai yang sifatnya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Misalnya, dominasi oleh sekelompok elite.  Lalu kemudian pengambilan keputusan yang tidak demokratis, ditentukan oleh segelintir orang dari elite,” tegasnya saat dihubungi Validnews, Sabtu (6/10).

Kekhawatiran Titi bukannya tidak beralasan. Lihat saja sederet nama pengusaha yang berhasil duduk di puncak partai politik sebagai ketua umum. Itu baru di tingkat nasional saja.

 

 

Dari pantauan Formappi, menurut Lucius bahkan banyak juga pengusaha yang ditempatkan di tempat-tempat strategis kepengurusan partai. Mulai dari ketua DPP, bendahara partai, hingga tim penggalang dana partai. 

Keadaan itu seakan membuktikan pernyataan Titi yang menyatakan, umumnya struktur partai didominasi oleh orang-orang yang memang menjadi penggerak roda keuangan partai. Bahayanya adalah ketika para pengusaha ini yang maju ke bangku dewan, mereka tidak melalui proses kaderisasi maupun rekrutmen yang demokratis. Ujungnya, hanya menjadi politisi instan tanpa bekal mumpuni dan visi yang murni.

Ironisnya lagi, kader-kader organik partai yang tak bermodal, menjadi tersingkirkan sebelum bertarung sesungguhnya di pemilu. Padahal, bisa jadi, sekali lagi bisa jadi, kader-kader organik di partai memang benar-benar memiliki visi dan aspirasi yang layak diperjuangkan.

“Ketika mereka masuk menjadi struktur elite partai, kaderisasi diabaikan. Akhirnya mereka juga ikut mengendalikan rekrutmen politik. Pengisian-pengisian jabatan yang tadi saya sebut—pemilihan presiden, DPR, DPD, kepala daerah—juga ikut mereka tentukan,” paparnya.

Kondisi itu membuat mereka rentan mengalami benturan kepentingan ketika menjabat sebagai legislator. “Ya, akhirnya pendekatan mereka ketika berada di parlemen adalah pendekatan ala businessman, ala pengusaha. Soal untung-rugi kan,” ketus perempuan ini.

Kondisi yang paling ekstrem bahkan digambarkan Peneliti Cakra Wikara Indonesia Yolanda Panjaitan. Ketika gesekan kepentingan yang dimiliki pengusaha dapat berdampak negatif dalam proses politik di parlemen. Seperti misalnya dalam pembuatan APBN atau APBD yang menyertakannya dalam pembahasan.

Apalagi sepengetahuannya, sumbangan untuk partai akhirnya juga datang dari anggota partai politik yang menduduki jabatan politik. Setoran, memang sudah menjadi hal yang teramat lazim dalam gerak kepartaian saat ini.

“Misalnya mereka dapat sumbangan reguler dari anggotanya yang duduk di DPR, anggotanya yang menjadi kepala daerah, dan tentunya dari orang-orang di dalam kepengurusan yang adalah pengusaha,” jelas Yolanda kepada Validnews, Sabtu (6/10).

Peluang otak-atik anggaran demi kepentingan kelompok tertentu ini juga menjadi menjadi catatan Formappi. Hal ini berkaca dari rentetan kasus korupsi yang melibatkan banyak pengurus partai politik, akibat berani bermain proyek demi mengeruk pundi-pundi bagi partainya.

Menurut Lucius, sebenarnya ada beberapa faktor yang kemudian memicu adanya proyek ilegal yang dimanfaatkan anggota parpol ini. Hal yang paling ketara adalah dorongan gaya hidup sebagai pejabat politik guna mendapatkan status sosial.

Sependapat dengan Titi dari Perludem, Lucius juga melihat adanya permasalahan dalam sistem rekrutmen partai. Rekrutmen partai yang cenderung borjuis membentuk pragmatisme anggota partai. Akhirnya uang dipandang sebagai kunci untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar dan berujung pada tindak korupsi.

 

 

Sumbangan Sukarela
Terkait sumbangan sukarela anggota partai politik sendiri memang cukup rancu pengaturannya. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri Bahtiar kepada Validnews, Senin (8/10) pun menerangkan, hal itu sebenarnya termaktub dalam pasal 14 UU Nomor 2/2008 jo UU 2/20011 Ayat 2.

Namun pada prinsipnya sumbangan itu hanya berdasarkan atas prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, keterbukaan, tanggung jawab, kedaulatan serta kemandirian parpol. Dengan demikian untuk detail pengaturannya pun diberikan kembali kepada parpol. Hal itu dapat diatur dalam anggaran dasar (AD) /anggaran rumah tangga (ART) masing-masing parpol.

Bahtiar pun mengatakan, sebenarnya untuk sumbangan sukarela pada partai tidak hanya dapat bersumber dari anggota partai saja. Bagi perseorangan dan badan usaha di luar parpol pun dapat memberikan sumbangan kepada parpol tanpa harus mendaftar sebagai anggota.

Hal ini pun turut diamini oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono.

“Kami punya koperasi, kami punya badan usaha koperasi yang jalan. Terus ada sumber yang berasal dari dalam sendiri. Iya itu tadi, dari potongan anggota DPR,” kata Ferry menjelaskan.

Lebih lanjut, Ferry mengatakan, khusus potongan bagi anggota DPR sendiri di Gerindra setidaknya seorang kader Gerindra di parlemen harus menyerahkan 10%-20% dari gaji yang mereka dapatkan. Aturan ini menurutnya juga diterapkan oleh partai-partai lain. 

Diakui Ferry, pada awalnya Prabowo sebagai pimpinan partai itu menjadi penyokong dana utama di awal perjalan partai ini, dengan modalnya yang adalah seorang pengusaha. Namun saat ini menurutnya partai Gerindra sudah dapat melakukan pembiayaannya sendiri. Apalagi sekarang anggota dewan dari partai yang berdiri sejak tahun 2008 ini, sudah ada di tingkat II, tingkat I, hingga pusat.

“Kami sih sudah pembiayaan sendiri sekarang, kan anggota dewan kita yang di tingkat II tingkat I, RI. Mereka kan sekarang juga menyetorkan kepada dewan pimpinan pusat partai. Pembiayaan-pembiayaan yang sifatnya rutin, sekarang sudah tertutupi oleh pembiayaan yang bersumber dari partai dari,” ungkapnya.

Selain Prabowo, Ferry mengakui, Gerindra pun memiliki kader lain yang berlatar belakang pengusaha. Jumlahnya, kata Ferry, sekitar 30% dari anggota partai yang ada di parlemen yang jumlahnya mencapai seribuan orang.

Menurutnya, pengusaha-pengusaha itu berminat bergabung pada Gerindra karena melihat partai nasionalis ini makin lama makin besar.

Berbeda dengan apa yang disampaikan Ferry, laporan ICW mengenai hasil penelitian potensi konflik kepentingan anggota DPR RI 2014-2019, justru melihat dominasi pengusaha yang besar di partai berlambang burung garuda ini.

Dari penelitian itu, bahkan Gerindra tercatat sebagai partai dengan jumlah pengusaha terbanyak, setelah partai PDIP dan Golkar. Jumlahnya kurang lebih sebanyak 51 orang, sedangkan kader yang berasal dari non-partai hanya berjumlah 22 orang.

 

 

Tak Terdata
Turut mengamati komposisi pengusaha di parlemen, Lucius pun mengatakan sulit menentukan angka pastinya. Terutama dalam pemilu kali ini. Berbeda dengan tahun sebelumnya, saat ini pihaknya tidak dapat menemukan profil lengkap dari calon legislatif yang akan berlaga di pemilu tahun 2019 mendatang.

“Sekarang susah di profil. Daftar yang disampaikan KPU itu hanya disampaikan pekerjaan. Pekerjaan itu pun serba terbatas, hanya satu jenis pekerjaan yang ditulis oleh KPU. Misalnya swasta. Swasta itu menggambarkan apa sih? Terus wiraswasta. Apakah wiraswasta itu kemudian orang yang berusaha sendiri, orang yang punya perusahaan yang besar dan lain sebagainya. Itu tidak jelas,” cetus Lucius.

Atas kondisi ini, menurut dia, pihaknya telah menyampaikan kritik pada pihak KPU. Sayangnya menurutnya, pihak KPU yang dikonfirmasinya justru mempertanyakan dasar kewajiban dipublikasikannya profil caleg itu. Apalagi, menurut KPU ada juga caleg yang meminta agar privasinya dilindungi.

“KPU sekarang bilangnya karena tidak ada yang mewajibkan mereka untuk mempublikasikan. Terus banyak juga caleg yang tidak mau datanya dipublikasi. Aneh. Orang mereka mau menjadi orang yang akan dipilih publik bagaimana mungkin mereka merahasiakan dirinya?” tanya Lucius.

Jika mengacu pada undang-undangnya, memang menurut Lucius hingga kini UU partai politik tidak mengatur masalah pendataan anggota parpol dengan jelas. Padahal seharusnya UU itu harus lebih menyoroti masalah akuntabilits partai politik, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Sayangnya, hingga kini nasib UU parpol pun masih mandeg, hanya terpampang didaftar prolegnas.

“Tapi saya kira DPR paling malas melakukan pembahasan undang-undang. Jadi, yang menurut mereka bisa mengganggu kenyamanan itu pasti tak akan mereka sentuh,” katanya. (Bernadette Aderi, Teodora Nirmala Fau, Shanies Tri Pinasthi, Monica Balqis)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar