16 Agustus 2021
19:55 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Pemandangan unik hadir dalam sidang tahunan MPR RI hari ini. Presiden Joko Widodo tampil tanpa setelan jas. Ia mengenakan pakaian adat masyarakat Baduy, terdiri dari kombinasi pakaian hitam dengan potongan sederhana, lomar atau ikat kepala biru, tas koja, serta sendal.
Untuk sehari, presiden seolah ingin menyatakan simpati dan kedekatannya dengan masyarakat Baduy. Argumen ini bisa tepat dan tidak tepat, tergantung dari perspektif mana orang-orang memandang politik berbusana Presiden. Namun, terlepas semua itu, apa sesungguhnya makna atau nilai yang melekat pada pakaian adat tersebut?
Pakaian yang dikenakan Presiden adalah pakaian yang biasa dikenakan oleh masyarakat Baduy Luar dalam kesehariannya. Pakaian ini sekaligus merupakan identitas, serta busana yang wajib dikenakan saat kegiatan-kegiatan adat.
Adapun Baduy Dalam lebih identik dengan pakaian berwarna putih, dengan ikat kepala yang juga putih. Selain itu, masyarakat Baduy dalam tidak menggunakan sandal sebagai alas kaki.
Pegiat masyarakat adat Baduy, Uday Suhada menjelaskan, pada pakaian masyarakat Baduy, baik hitam maupun putih, melekat eksistensi yang berbeda pula. Eksistensi ini terkait tugas keduanya dalam ekosistem adat Baduy.
Baduy Luar tak lain adalah “pagar” adat Baduy yang bertumpu pada keseharian masyarakat Baduy Dalam. Baduy Luar mengemban fungsi menyaring segala pengaruh yang akan datang dan merangsek masuk ke Baduy dalam. Karena itu, sifat pakaian Baduy luar pun lebih cair, termasuk adanya penggunaan sandal, seperti yang dipakai Presiden.
Sementara Baduy Dalam adalah pelaksana langsung segala adat. Merekalah yang bertugas menjalankan adat secara ketat, dan menjamin keberlanjutannya.
“Tugas hidup orang Baduy Dalam adalah bertapa di wiwitan. Bertapa di sini bukan dalam artian tidak makan, tidak tidur. Tapi mereka tidak meninggalkan adat untuk menjaga alam, hidup menyatu dengan alam. Sementara orang Baduy Luar tugasnya adalah menjaga orang yang bertapa di Baduy Dalam. Sehingga Baduy luar interaksinya lebih dinamis dengan orang luar Baduy,” ungkap Uday kepada Validnews, Senin (16/8).
Jika ditarik kembali ke identitas pakaian, pakaian Baduy luar adalah lambang kekuatan penjaga kelestarian Baduy secara keseluruhan. Kelestarian yang dimaksud menyasar kelestarian tata nilai, norma dan aturan tata sosial hingga hubungan manusia dengan alam yang tidak eksploitatif.
Di samping itu, nilai-nilai lain yang dijaga yakni nilai kemanusiaan, kemandirian, kemuliaan, keteraturan sosial, hingga nilai kepemimpinan yang tak berjarak dengan masyarakat yang dipimpinnya. Lalu, yang terpenting dari itu semua adalah, nilai keharmonisan manusia dengan alam.
“Mereka itu meyakini mereka mendapatkan mandat dari Nabi Adam untuk tidak mengubah perilaku tidak merusak alam, memanusiakan manusia, memuliakan kehidupan,” terang Uday.
Perlu Perhatian Nyata
Uday menilai, pilihan gaya berpakaian Jokowi hari ini adalah suatu pernyataan simpati dan dukungannya terhadap masyarakat adat, yang mana itu perlu diapresiasi. Namun, idealnya, simpati tersebut harus berupa dukungan yang lebih konkret terhadap eksistensi masyarakat adat.
“Ini merupakan bentuk apresiasi presiden terhadap eksistensi masyarakat adat. Cuma sayangnya presiden belum berkunjung ke Baduy, supaya bisa langsung mendengarkan aspirasi masyarakat Baduy langsung,” kata Uday.
Ia menerangkan, hingga saat ini, masih banyak aspirasi-aspirasi masyarakat Baduy yang perlu didengarkan oleh pemerintah. Di antaranya adalah soal keterbatasan lahan yang dimiliki masyarakat adat, hingga aspirasi terkait urusan-urusan administratif masyarakat Baduy yang hingga hari ini masih belum terselesaikan dengan baik.
Misalnya soal keterbatasan lahan. Masyarakat Baduy hari ini membutuhkan tambahan lahan untuk dijadikan kawasan adat. Sebab jumlah masyarakat yang terus bertambah membuat kebutuhan akan hutan semakin meningkat. Ada banyak lahan milik pemerintah di sekitar desa Kanekes (wilayah desa Baduy) yang bisa diberikan kepada masyarakat adat, jika pemerintah mau.
“Mereka juga ingin agar Sunda Wiwitan tertera di KTP mereka, bukan dikosongkan atau digantikan dengan agama lain,” jelas Uday.