07 Mei 2025
20:26 WIB
Warisan Ray Sahetapy, Membuka Pintu Seni Bagi Tuli
Produktivitas tinggi dalam masa kiprah yang panjang di dunia perfilman, membuat orang-orang tak terlalu banyak tahu dunia lain Ray Sahetapy, panggung teater.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rikando Somba
Aktor Indonesia Ray Sahetapy. Antara Foto/Novrian Arbi
JAKARTA - Jumat malam, 2 Mei 2025, ruang kecil di Sunyi Coffee di Jalan Barito I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan penuh dan riuh. Para pecinta seni berkumpul untuk menyaksikan mini showcase dari kelompok Fantasi Tuli yang membawakan fragmen cerita “Senandung Senyap”.
Pertunjukan ini memang sejatinya sebuah kisah sunyi di atas panggung, tempat para pemain benar-benar tak mengeluarkan suara saat berdialog. Hanya gestur, mulai dari mata dan tangan, menjadi isyarat tuturan setiap pemain. Namun, penonton bisa memahami cerita yang dibawakan kelompok tersebut, lewat musik dan suara dialog yang diputar mengiringi adegan-adegan.
Para pemain tampak sangat presisi dalam mengikuti ritme musik dan suara yang diputarkan, menunjukkan kalau mereka memang telah mempersiapkan pertunjukan itu sejak lama.
Dari dialog-dialog yang disuarakan dari pengeras suara, penonton kemudian mengetahui bahwa pertunjukan itu menyuarakan keresahan para tuli, yang menghadapi tantangan sulit karena selalu dituntut hidup dengan cara orang-orang kebanyakan.
Orang tuli selama ini didorong belajar bicara dalam bahasa isyarat, lengkap dengan gestur yang bisa dipahami orang-orang yang bisa bicara dan mendengar. Sementara itu, orang-orang kebanyakan tak pernah dituntut untuk bisa memahami dunia orang tuli.
Seorang pemain bercerita tentang angan atau mimpi-mimpinya. Mimpi bisa bernyanyi dalam bahasa tuli, namun tetap bisa dinikmati oleh banyak orang.
Satu persatu adegan pun bergulir dengan diselingi tarian dan nyanyian yang disuarakan lewat audio panggung. Cerita bergeser ke berbagai topik. Pemain semakin banyak masuk ke dalam panggung untuk ikut bercerita.
Pertunjukan ini juga menyoal sistem pendidikan untuk orang-orang tuli yang dianggap kurang memadai, baik di Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun sekolah-sekolah umum. Di SLB, para penyandang tuli pun dipaksa belajar sistem bahasa oral.
Setelah 25 menit, pertunjukan usai. Penonton yang memenuhi ruangan, didominasi oleh teman tuli, kembali riuh. Tentu saja bukan dengan suara, melainkan dengan gestur tangan dan wajah yang antusias.
Pertunjukan oleh Fantasi Tuli di itu merupakan versi pengembangan dari karya berjudul “Senandung Senyap” yang sebelumnya ditampilkan di Festival Musikal Indonesia, Oktober 2024 lalu.
Kala itu, Fantasi Tuli menarik perhatian luas dan menjaring penonton tinggi, karena menjadi kelompok pertama yang menampilkan musikal tuli, yang memang sepenuhnya dimainkan oleh orang-orang tuli. Pertunjukan Fantasi Tuli dalam Festival Musikal Indonesia 2024, juga pertunjukan di Sunyi Coffee beberapa waktu lalu, menjadi pengalaman pertama bagi banyak penikmat seni. Masih belum umum adanya, teater menyuguhkan cerita dan suara orang-orang tuli.
Fantasi Tuli kini dikenal luas sebagai salah satu kelompok teater musikal tuli di Indonesia. Sebelum sampai ke panggung Festival Musikal Indonesia, kelompok ini berasal dari sebuah kelompok teater tuli, bernama Teater Tujuh. Kelompok inilah yang menjadi cikal bakal Fantasi Tuli, dan merupakan kelompok teater tuli pertama di Jakarta.
Ketika penonton hari ini jadi bisa mengakses pertunjukan musikal nan unik dari para Tuli di Jakarta, itu berawal dari ruang-ruang latihan Teater Tujuh. Kelompok ini diketahui merupakan warisan dari mendiang aktor terkemuka Indonesia, Ray Sahetapy.
Cinta untuk Tuli
Ray Sahetapy dikenal sebagai aktor layar perak hingga layar lebar. Aktor yang identik dengan peran-peran antagonis, termasuk di antaranya peran sebagai gembong narkoba kejam dalam film laga sukses tahun 2012, The Raid.
Produktivitas yang tinggi dalam masa kiprah yang panjang di perfilman, membuat orang-orang tak terlalu banyak tahu dunia lain dari sang aktor, yaitu di panggung-panggung teater. Meski di dunia teater, namanya sejatinya juga besar. Ray memimpin kelompok teater bernama Studio Oncor yang terkenal di era menjelang 90-an.
Wajar saja, jiwa Ray sejak muda memang tertuju pada seni peran. Makanya dia belajar seni peran dan teater di Institut Kesenian Jakarta pada tahun 70-an silam. Namun begitu, seni teater tuli adalah belokan perjalanan yang lain dalam kiprahnya di dunia seni, sebagai seniman teater sekaligus aktor film.
Ray menyimpan cinta yang besar terhadap anak-anak Tuli. Dia merasa dekat karena faktor yang memang personal. Kedua anaknya, Gisca Putri Agustina (almarhum) dan Surya Sahetapy adalah penyandang tuli sejak lahir.
Kania Widjajadi, manajer Ray Sahetapy semasa aktif berkiprah, mengungkapkan kalau cinta kepada dua anaknya bersama Dewi Yull itu, kemudian membentuk kepekaan lebih pada Ray untuk memerhatikan mereka yang terlahir tuli. Ini menjadi alasan utama dia mendirikan Teater Tujuh pada 2018 silam.
“Jadi memang terinspirasinya dari kedua anak beliau. Om Ray melihat selama ini tidak pernah ada wadah bagi teman-teman tuli untuk berekspresi. Apalagi stigma masyarakat, seperti melihat teman-teman tuli nggak bisa apa-apa, mereka dianggap nggak bisa berkarya, nggak bisa berprestasi karena tuli,” ungkap Kania saat ditemui Validnews di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Teater Tujuh menurut Kania lahir dari obrolan antara Ray dengan putranya, Surya Sahetapy. Bersama-sama, ayah dan anak itu membentuk kelompok teater yang khusus hanya melibatkan para tuli. Saat awal pembentukannya, kelompok ini beranggotakan anak-anak muda dari lingkungan pertemanan Surya sendiri.
Ray langsung bertindak sebagai sutradara untuk pementasan pertama Teater Tujuh. Di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Agustus 2018, sang aktor berhasil mengantarkan ‘anak-anaknya’ tampil di panggung teater, di hadapan banyak orang. Ketika itu, mereka membawakan pertunjukan teater berjudul “Sunyi dalam Bunyi”.
Nama Teater Tujuh memiliki makna filosofis, setidaknya pilihan Ray Sahetapy didasari pemikiran dan jalan hidupnya. Menurut Kania, ‘tujuh’ merefleksikan perjalanan atau proses, menurut pemikiran Ray. Bahwa seseorang sebelum mencapai ‘genap’ atau ‘sempurna’, harus melewati fase ‘ganjil’ terlebih dahulu. Begitulah Ray memandang Teater Tujuh sebagai proses bagi komunitas Tuli untuk menjadi ‘sempurna’ atau ‘berprestasi’.
Kania bercerita, tujuan Ray Sahetapy mendirikan Teater Tujuh adalah untuk memberi ruang bagi komunitas tuli untuk ‘muncul’ ke permukaan skena seni. Ia ingin mematahkan anggapan orang-orang kalau seorang tuli tak bisa apa-apa karena terhalang keterbatasannya. Teater Tujuh telah membuktikan, orang tuli juga bisa menciptakan karya, tak kurang bagusnya dengan "orang dengar" (istilah populer di komunitas tuli untuk entitas non-tuli.red).
Karena semangat seperti itu, Ray pun hanya bertindak sebagai sutradara untuk pementasan pertama Teater Tujuh. Setelah itu, dia pun membuka ruang lebar bagi anak-anak didikannya untuk maju, menjadi sutradara dalam pementasan mereka selanjutnya.
“Om Ray itu ingin teman-teman Tuli yang maju, bukan dia. Makanya, saat membuat pementasan sejak awal pun, cerita itu berasal dari teman-teman anggota. Om Ray nggak mau cerita dari dia, harus dari teman-teman. Jadi memang beliau mau melihat sebenarnya teman-teman ini mau menyampaikan apa,” tutur Kania.
Pada 2019, Teater Tujuh mementaskan pertunjukan berjudul “Papua Kakakku”, masih di Taman Ismail Marzuki. Karya yang membicarakan rasa penghargaan terhadap orang-orang Papua ini, tak lagi melibatkan arahan langsung dari Ray, melainkan dikembangkan bersama-sama oleh para anggota Teater Tujuh, dengan pengarah artistik hingga sutradara diambil dari para anggotanya.
Dari karya pertama hingga kedua sepanjang 2018 hingga 2019, kemudian muncul sosok-sosok pemain teater dan sutradara di Teater Tujuh. Mereka belakangan eksis di skena seni Ibu Kota. Katakanlah para anggota Fantasi Tuli yang kini cukup dikenal di skena seni populer tanah air. Sementara Ray Sahetapy hanya merayakan pencapaian para anak didiknya dari belakang panggung.

Guru yang Menginspirasi
Ray Sahetapy tak memiliki keterbatasan pendengaran seperti para tuli. Namun, dia bisa berbagi semangat dan perspektif bagi anak-anak tuli di kelompok Teater Tujuh. Sosoknya dianggap tak hanya sebagai guru teater, namun juga figur yang menginspirasi teman tuli. Seperti diungkapkan Isro Ayu, salah satu anggota gelombang pertama Teater Tujuh, yang bercerita kepada Validnews dengan bantuan seorang juru bahasa isyarat.
Ray baginya adalah sosok yang tak mendorong dia dan teman-temannya untuk berkesenian, namun lebih jauh lagi juga mendorong untuk memiliki pandangan positif tentang potensi diri.
“Beliau yang menarik saya untuk aktif di teater. Karena ternyata beliau memberikan kita dukungan yang sangat besar, katanya ‘tidak apa-apa tuli. Beliau selalu mengatakan, di dunia banyak ‘orang dengar’ yang muncul dengan prestasinya. Orang tuli kapan?’ Nah, Om Ray ingin kita juga bisa begitu,” ujar Isro.
Isro mengenang Ray sebagai sosok yang lebih mirip sebagai teman dalam proses kesenian. Alih-alih mengedepankan pengetahuannya sendiri tentang dunia seni atau teater, Ray justru adalah orang yang selalu mengutamakan diskusi dan kerja sama antara para anggota untuk menciptakan karya, pun dalam menyusun metode latihan yang pas bagi para Tuli.
Isro merasa, warisan terbesar dari Ray Sahetapy untuk komunitas tuli bukanlah Teater Tujuh sebagai suatu entitas, namun lebih pada semangat untuk terus berkarya dan berprestasi, tanpa cemas akan rintangan ataupun situasi keterbatasan.
Dengan Teater Tujuh, Isro mantap untuk menekuni dunia teater. Dia mengingat baik pesan sang mentor, bahwa orang-orang tuli juga bisa mencapai sesuatu yang besar dan membanggakan, sama seperti orang-orang pada umumnya.
“Aku punya mimpi untuk berteater sampai kapan pun, tak akan berhenti. Seperti Om Ray juga selalu bilang, saya ingat, dia tak akan pernah berhenti dan akan terus berkesenian,” imbuh Isro.
Daya Berkesenian hingga Akhir Hayat
Warisan semangat berkesenian Ray Sahetapy diakui pula dua cucu Ray, Ramiza Kuntadi dan Daegal Asmoro.
Kedua anggota keluarga bercerita kepada Validnews tentang tingginya daya berkesenian pada sosok sang aktor—hal yang kemudian juga ditularkan kepada para anggota Teater Tujuh hingga akhir hayatnya.
Ramiza yang merupakan putra dari almarhum Gisca Putri Agustina (anak tertua Ray Sahetapy), mengaku memiliki banyak pengalaman berkesan bersama Ray. Hubungannya dengan sang kakek cukup hangat dan dekat, di mana Ramiza kerap diajak dalam aktivitas-aktivitas kesenian sang kakek. Ramiza mengaku mewarisi kecintaan sang kakek terhadap seni. Meski bukan di jalan teater, karena dia kini dikenal aktif di dunia film, mulai merintis karier sebagai sutradara.
“Sejak kecil itu aku sering diajak Opa ke Taman Ismail Marzuki, melihat dia yang memang passionate sekali untuk berkesenian. Dari situ, meski Opa nggak pernah mengarahkan secara langsung, aku pun ingin terjun ke dunia kesenian,” ujar Ramiza.
“Yang pasti, Opa itu selalu menunjukkan daya juang yang tinggi untuk kesenian. Itu yang buat aku berkesan banget dan berusaha aku pelajari juga,” imbuhnya lagi.
Sementara Daegal Asmoro, cucu dari kakak Ray Sahetapy yang ditemui bersamaan, mengungkapkan kalau sang aktor itu adalah tipikal seniman yang selalu punya pandangan optimis tentang potensi diri. Hal ini agaknya karakter penting yang pada akhirnya mendorong sang aktor membentuk kelompok Teater Tujuh, karena percaya bahwa orang-orang Tuli juga bisa melampaui batas skeptisme orang banyak.
“Opa itu paling nggak suka mendengar kata nggak tahu atau nggak bisa. Kalau dia tanya sama cucu-cucunya, misalnya, tentang rencana ke depan cucunya, dan kita bilang nggak tahu atau nggak bisa, dia akan marah. Dia inginnya, kita tidak boleh pesimis pada diri sendiri, harus mau mencoba,” tambah Daegal.
Menurut Daegal lagi, Ray Sahetapy juga secara tidak langsung juga mengajarkan anak-cucu untuk bisa mengapresiasi karya seni. Namun, cara Ray mengajarkan keluarganya tidak dengan perkataan, melainkan dengan mencontohkan langsung lewat sikap yang ditunjukkan.
Lebih lanjut, Kania menuturkan bahwa semangat berkesenian Ray sangat tinggi, dan itu ditunjukkan sepanjang hidup almarhum.
Menurut Kania, mulai 2020 hingga 2021, Ray sejatinya telah mengalami penurunan kondisi kesehatan secara signifikan, karena diabetes yang dideritanya. Namun, sang aktor terus memberikan perhatian penuh untuk teater tujuh hingga ujung usianya.
“Di 2018 itu sebenarnya diabetesnya beliau sudah mulai kelihatan. Tapi dia nggak mau kelihatan capek, hanya keluarga yang tahu. Kan beliau juga masih aktif bermain film hingga 2023,” tutur Kania.
“Saya sendiri yang memang juga selalu hadir di setiap prosesnya, sudah mulai melihat di 2022 akhir kondisinya beliau sudah sangat menurun. Tapi beliau tetap mengupayakan datang langsung setiap latihan Teater Tujuh, tapi nggak mengarahkan langsung lagi, beliau banyakan duduk di kursi, lebih ke mantau. Beliau tetap ingin terus mendampingi teman-teman ini, meski kondisinya semakin lemah,” sambung Kania.
Ray Sahetapy menghembuskan nafas terakhir pada 1 April 2025 lalu, setelah lama berjuang dari kondisi stroke. Aktor kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah pada 1 Januari 1957 itu dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.