18 Januari 2022
15:25 WIB
Editor: Rikando Somba
KOTA BENGKULU – Kalangan muda di Bengkulu kini gandrung berbaju branded. Namun, mereka tak ingin menghabiskan isi koceknya untuk kebutuhan itu. Karenanya, toko pakaian bekas atau thrift store di Provinsi Bengkulu saat ini punya peminat banyak. Keuntungan dari usaha ini pun cukup tinggi. Hingga ada yang beromzet belasan hingga puluhan juta per bulan.
Salah satu pedagang pakaian bekas, Atika di Bengkulu, mengungkapkan usaha yang digelutinya cukup cerah belakangan ini. Remaja di kota ini kian banyak yang menyukai pakaian dan aksesoris branded dengan harga yang murah.
"Saat ini masyarakat khususnya muda-mudi Bengkulu ingin memiliki baju yang bermerek dengan harga yang murah," kata Atika, dikutip dari Antara, Selasa (18/1).
Hal yang diungkapkan Atika bisa dilihat dari banyaknya toko pakaian bekas atau thrift store di berbagai sudut Kota Bengkulu. Para remaja di sana, selain suka pakaian bermerek, juga memilih pakaian bekas karena model atau bentuk yang unik dan berbeda dari model baju yang dijual di pasaran.
Dia mengaku, saat memulai usaha tersebut, merogoh kocek sebesar Rp1,2 juta. Kini keuntungan yang didapatkan mencapai Rp15 juta per bulan. Dalam sehari, tokonya menjual sekitar 40 hingga 50 buah pakaian. Uniknya, peminat baju di toko ini, tidak hanya berasal dari Kota Bengkulu tetapi juga hingga ke Kalimantan.
Atika membanderol baju yang dijualnya berharga dari Rp20 ribu hingga Rp70 ribu. Sedangkan untuk celana, harga yang diterapkan berkisar sekitar Rp85 ribu hingga Rp120 ribu.
Dia menambahkan, kini pakaian yang berasal dan bermerek Korea memiliki peminat yang lebih banyak. Kebanyakan pakaian dan aksesoris itu berbahan dan desain yang unik.

Sejumlah Kelebihan
Apa yang dipaparkan Atika soal tren di Bengkulu, lebih dulu ada di beberapa kota lainnya. Belanja pakaian bekas yang buat sebagian orang mungkin bukan sebuah pilihan, kini meluas artinya. Ada juga yang melakukannya sebagai kegemaran tersendiri. Mereka yang punya kegemaran ini belakangan menyebut kegiatan ini sebagai thrifting yang artinya juga berhemat.
Ada beberapa hal mendasari tren ini. Membeli pakaian dan aksesoris bekas yang masih bagus dan layak pakai dianggap lebih ramah lingkungan. Mereka berpandangan, yang dilakukannya adalah upaya ikut melestarikan lingkungan, dengan memperpanjang masa pakai suatu benda.
Sejatinya ini bukan tren baru. Times,com beberapa waktu lalu melansir bahwa kegiatan Salvation Army’s (1897) dan Goodwill Industries (1902) sudah memulai hal ini. Mereka awalnya memberdayakan orang-orang miskin untuk mengolah kembali pakaian bekas sehingga menjadi layak pakai.
Thrifting jelas membuat belanja lebih hemat. Tetapi, ada sisi lain dari upaya berhemat ini. Jika cermat, Anda bisa menemukan barang langka yang mengangkat gengsi. Bahkan, ada platform khusus yang menjadi wadah para pencari ‘barang langka’ bekas pakai bergengsi ini.

Meski demikian, ada sisi lain yang bisa berimplikasi serius. Karena yang Anda beli adalah pakaian bekas, pastikan sebelum memakainya, dibersihkan secara sempurna. Cucilah pakaian yang dibeli itu dengan memanaskannya juga.
Risiko penyakit kulit dan lainnya merupakan implikasi yang harus diantisipasi dari memakai pakaian bekas. Kementerian Perdagangan pernah melakukan uji laboratorium setelah maraknya penjualan baju bekas. Ada 25 sampel baju dan celana bekas impor dari Pasar Senen, Jakarta yang diuji.
Hasil uji laboratorium menunjukkan banyaknya kontaminasi bakteri berbahaya di pakaian tersebut. Ada 216.000 koloni bakteri menghuni celana impor bekas per gramnya. Pada masa pandemi ini, virus juga menjadi hal yang harus menjadi pertimbangan. Seram kan!.
Asal Pakaian Dan Aspek Legal
Seperti diungkapkan Atika, pakaian bekas yang disukai remaja di Bengkulu juga berasal dari Korea Selatan. Ya, negeri ginseng itu memang menjadi asal pakaian bekas impor ke negeri ini.
Data Kementerian Perdagangan menyebutkan ada beberapa negara asal pakaian impor. Paling tinggi adalah Perancis dengan pangsa sebesar 26,9% terhadap total impor Pakaian Bekas tahun 2014, diikuti Singapura (19,6%), dan Belanda (14,7%). Kemudian ada juga Amerika Serikat (10,6%).
Sementara itu, negara asal impor pakaian bekas adalah Korea Selatan(72,9%), Bangladesh (21,9%), dan Singapura (3,2%). Dan, lebih dari 90% pakaian bekas atau gombal, diimpor dari Korea Selatan dan Bangladesh.
Sejatinya, impor pakaian bekas sudah dilarang sejak puluhan tahun lalu, tepatnya 18 Januari 1982. Namun, penyelundupan tetap marak terjadi.
Beleid rujukan importasi pakaian bekas ada beberapa. Yang tertinggi adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Dalam UU tersebut, pada Pasal 47 ayat (1) dinyatakan bahwa Setiap Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.
Namun, dalam keadaan tertentu Menteri Perdagangan dapat menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru. Kondisi “dalam hal tertentu” untuk diperbolehkannya impor barang tidak baru adalah barang yang dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa Barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu
Diimpor, dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali.
Dalam hal terjadi bencana alam, jika dibutuhkan barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam, dibolehkan. Itu pun harus merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kementerian Perdagangan juga mengatur hal sama, dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.54/M-DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Impor. Pakaian bekas jelas dinyatakan dilarang untuk diimpor.
Nah, bagaimana masyarakat dapat dengan mudah memperoleh bahkan memperdagangkan, itu menjadi bahasan lain, ya. Dalam pelaksanaan perundangan yang melarang impor itu, Direktorat Bea dan Cukai kerap mengadakan razia dan pemusnahan pakaian bekas impor.
Akan tetapi, ada juga yang bisa menjadi pemikiran untuk membeli pakaian bekas atau tidak, selain kesehatan dan unsur legal itu.
Maraknya impor pakaian bekas, secara langsung berimbas menurunkan penyerapan produksi pakaian buatan dalam negeri. Jika kian banyak yang membeli pakaian bekas impor, beraneka pakaian produk bangsa ini kian jarang pula dipakai anak negeri.