13 Februari 2023
20:08 WIB
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Bunuh diri adalah masalah yang sangat kompleks dan sensitif karena ada banyak faktor atau masalah yang kompleks sehingga mendorong seseorang mengambil tindakan drastis tersebut.
Secara statistik, jumlah kasus bunuh diri lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita. Sementara itu, wanita lebih rentan mengalami suicidal thought. Suicidal thought adalah pemikiran mengenai bunuh diri yang dipicu oleh gangguan mental tertentu.
Dilansir dari laman Bigthink, sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti di Centers for Disease Control (CDC) dan UCLA menyebut pria di Amerika Serikat (AS) memiliki kasus bunuh diri dengan tingkat yang jauh lebih tinggi daripada wanita.
Pada tahun 2019, laki-laki menyumbang hampir 80% dari 47.511 kematian bunuh diri di AS dan bunuh diri adalah penyebab kematian kedelapan untuk laki-laki di atas usia sepuluh tahun.
Namun, sekitar 60% pria AS yang meninggal karena bunuh diri tersebut diketahui tidak memiliki masalah kesehatan mental.
Mereka melakukan penelitian dari data yang dikumpulkan antara 2016 dan 2018 melalui Sistem Pelaporan Kematian Kekerasan Nasional CDC. Mereka menemukan bahwa laki-laki tanpa masalah kesehatan mental yang diketahui meninggal karena bunuh diri antara 50%, 90% lebih mungkin menggunakan senjata api, dan 20% menggunakan senjata api.
Meskipun kemungkinan beberapa laki-laki tanpa masalah kesehatan mental yang diketahui menyembunyikan permasalahan kehidupannya, penelitian ini menjelaskan bahwa laki-laki lebih impulsif daripada perempuan.
Baca juga: Bahaya Toxic Masculinity Di Lingkungan Kerja
Reaktivitas emosional ini diperparah oleh konsumsi alkohol dan ditambah dengan akses yang jauh lebih besar ke senjata api karena laki-laki dua kali lebih mungkin memiliki senjata daripada perempuan yang mengakibatkan jauh lebih banyak laki-laki bunuh diri.
Selama ini pria selalu dikaitkan sebagai sosok yang tangguh dan tak akan menangis meski dalam pergumulannya. Hal itu menjadi salah satu pemicu banyak pria sangat depresi karena tidak bebas melakukan ekspresi emosional.
Bahkan, meski berkonsultasi dengan dokter, pria akan tidak akan menyampaikan secara terbuka gejala depresi yang dialami. Mereka akan menanggap masalah tersebut hanya sebatas stres bukan perasaan sebenarnya yakni sedih dan tidak berdaya.
Hal ini bisa dikatakan sebagai bentuk dari toxic masculinity. Maskulinitas sendiri sebenarnya merupakan hal yang baik. Namun, ketika menjadi sesuatu yang toxic, sikap tersebut dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental dan bisa membuat pria cenderung mengakhiri hidupnya.
Dilansir dari laman Hellosehat, toxic mascunality muncul sebagai dampak didikan orang tua yang salah dan bisa jadi karena pengaruh lingkungan. Jika Anda adalah orang tua, sebaiknya tidak memberikan pemahaman yang salah kepada anak. Misalnya, anak laki-laki harus menyukai olahraga tinju, balap mobil, dan lain-lain.
Anda harus mengajarkan kepada anak bagaimana cara mengekspresikan emosinya dengan baik serta tanamlam sikap menghormati orang lain dan tidak harus selalu berusaha mendorong anak untuk mendominasi.
Pada intinya, Anda harus menjadi contoh yang baik buat anak laki-laki agar tidak tumbuh memeiliki sifat tersebut.