27 November 2024
20:54 WIB
Teungku Fakinah, Sang Penjaga Semangat Perang Tanah Rencong
Tak hanya bergerilya melawan Belanda selama 23 tahun, Teungku Fakinah sampai akhir hayatnya menjadi rumah bagi para perempuan dan janda-janda perang di Tanah Rencong.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rikando Somba
Teungku Fakinah. Dok. Ist.
JAKARTA – Aceh dengan posisinya yang strategis di Selat Malaka, menjadi sasaran utama ekspansi Belanda yang sudah menguasai sebagian besar wilayah Indonesia. Namun, sejarah mencatat, Aceh bukanlah tanah yang mudah ditaklukkan.
Perlawanan rakyatnya bahkan tak hanya datang dari kaum pria. Pun, kaum hawa dengan keberanian dan kecerdasan membuktikan dapat memimpin perjuangan.
Dalam suasana perang yang penuh ketegangan kita mungkin sudah mengenal nama-nama seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, hingga Keumalahayati mencuat sebagai simbol keberanian perempuan Aceh, menantang stigma sosial pada masa itu yang membatasi peran perempuan hanya di ranah domestik.
Di tengah kegemilangan nama-nama besar itu, ada seorang tokoh luar biasa lainnya yang mungkin tidak terlalu banyak disebutkan dalam arus utama sejarah, yakni Teungku Fakinah.
Srikandi Perang Aceh Yang Jarang Dikenal
Pada 5 April 1873, langit Aceh menyaksikan sebuah peristiwa monumental yang mengguncang dunia. Pasukan Belanda yang terdiri dari 3.360 tentara dengan senjata canggih dan kekuatan militer luar biasa, akhirnya untuk pertama kali mendarat di Pantai Cermin.
Mereka datang dengan percaya diri, seolah-olah kemenangan sudah di tangan. Namun, mereka tidak tahu bahwa Tanah Rencong bukanlah tempat yang mudah ditaklukkan. Nyatanya mereka akan menghadapi perlawanan rakyat Aceh hingga 31 tahun lamanya.
Mereka pun tak tahu apa yang akan dihadapi ternyata jauh lebih dahsyat dari yang dibayangkan. Rakyat Aceh dengan semangat juang yang membara saat itu dipimpin oleh Teungku Fakinah, pemudi yang juga seorang ulama.
Teungku Fakinah lahir pada tahun 1856 di Desa Lam Diran, Aceh Besar. Ia tumbuh di lingkungan religius karena ayahnya, Datuk Mahmud adalah pemilik lembaga pendidikan agama Islam Dayah Lampucok (pesantren).
Teungku Fakinan tumbuh menjadi perempuan yang tinggi ilmu agama dan ikut menjadi pendidik di Dayah Lampucok. Di tengah-tengah aktivitas mengajar ini juga akhirnya ia bertemu dengan Teungku Ahmad, seorang pemuda yang akhirnya ia nikahi di tahun 1872.
Teungku Fakinan dan Teungku Ahmad adalah pasangan yang bahagia, sampai akhirnya pasukan Belanda datang ke Pantai Cermin setahun setelah pernikahan mereka.
Sebagai salah seorang pengajar di Dayah Lampucok, Teungku Fakinah tak ingin menjadi perempuan yang lemah dan membiarkan para pria berhadapan dengan pasukan Belanda. Dia memutuskan bergabung bersama Teungku Ahmad untuk bertempur di Pantai Cermin.
Sayang, Teungku Ahmad harus gugur di pertempuran. Ini meninggalkan luka yang tak terhingga bagi Teungku Fakinah. Namun, dalam setiap tetesan air matanya, Teungku Fakinah menemukan kekuatan baru. Kehilangan suami tercinta kian mengobarkan semangat juangnya menjadi api yang lebih besar, lebih membara.
Menyentuh Hati Teuku Umar
Di tengah badai peperangan yang tiada henti sejak kedatangan Belanda di Pantai Cermin, Teungku Fakinah dan pasukannya memilih untuk memulai perang gerilya yang dikenal sangat menyulitkan penjajah. Mereka berperang dan terus berpindah di medan yang tak terhitung jumlahnya, dari Aceh Rayeuk hingga wilayah-wilayah yang lebih jauh, bersama Sultan Muhammad Daud dan tokoh-tokoh perlawanan lainnya.
Namun, dalam pertempuran panjang ini, terjadi sebuah peristiwa yang mengubah alur sejarah. Teuku Umar, seorang pemimpin perang Aceh yang sangat dihormati, tiba-tiba memilih untuk berpihak pada Belanda.
Keputusan ini menciptakan ketegangan luar biasa, karena pasukan Teuku Umar sering kali bertempur melawan pasukan Teungku Fakinah.
Namun, di balik kekesalan dan ketegangan itu, Teungku Fakinah tak membiarkan kebencian merusak semangat perlawanan. Ia memilih cara yang lebih bijaksana menyadarkan Teuku Umar dengan cara yang tak terduga.
Dengan hati yang penuh keberanian, Teungku Fakinah menulis surat kepada istri Teuku Umar, Cut Nyak Dhien. Dalam surat itu, ia mengajak suaminya untuk berhenti berperang sesama rakyat Aceh. Ia mengingatkan bahwa Belanda sendiri tak pernah mau melawan perempuan dan bahwa pertempuran antar sesama hanya akan memperkuat penjajah.
Surat yang dibaca terlebih dahulu oleh Cut Nyak Dhien pun meluluhkan hatinya. Ia segera mengirimkan pesan kepada suaminya, mengingatkan bahwa berpihak pada Belanda adalah kesalahan yang fatal.
Tersentuh oleh pesan ini, Teuku Umar akhirnya kembali ke pihak Aceh dan membawa persenjataan Belanda, sehingga kembali menguatkan perlawanan rakyat Aceh. Meski persatuan ini memberikan harapan baru, pertempuran menghadapi Belanda tak begitu saja menjadi lebih mudah.
Strategi gerilya Teungku Fakinah membuat pusing Belanda, para pasukan Belanda harus selalu terjaga sepanjang malam untuk menghindari serangan mendadak gerilyawan.
Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah II yang terpesona oleh keberanian dan kecerdasan gerilya Teungku Fakinah, mendukungnya dengan memberikan pasukan yang terdiri dari empat batalyon salah satunya sepenuhnya beranggotakan perempuan yang dipimpin langsung oleh Teungku Fakinah sendiri.
Ia merekrut para janda, anak didiknya, dan perempuan lainnya untuk membentuk pasukan yang dikenal dengan nama Sukey Fakinah.
Mereka menjadi perempuan Aceh yang berdiri sejajar dengan laki-laki dalam perjuangan. Kepada para pasukannya, ia mengajari taktik militer yang mengubah jalannya pertempuran dan dengan semangat juang yang tak kenal lelah, ia membakar hati setiap prajuritnya.
Di medan perang, Teungku Fakinah berdiri di garis depan menghadap setiap gelombang serangan bersama sahabatnya, Tjut Nyak Dhien, yang juga tak kalah tangguh.
Setiap kali Tjut Nyak Dhien bergerak untuk bergerilya, ia tak pernah lupa singgah di rumah Teungku Fakinah, dan sebaliknya, kedekatan mereka sangat erat, saling menguatkan dalam perjuangan. Selama bertahun-tahun, Teungku Fakinah dan pasukannya berjuang tanpa kenal lelah.
Pada suatu kesempatan di tahun 1896, Teungku Fakinah memimpin pasukan untuk melindungi perempuan-perempuan yang penting, termasuk permaisuri Sultan Aceh dan Pocut Awan, ibu dari Panglima Polem.
Kabar tersebut nyatanya membuat Teuku Panglima Polem terenyuh dan meminta agar Teungku Fakinah kembali ke kampung halaman demi keselamatannya. Selama 23 tahun sejak kematian suaminya membendung serangan Belanda, akhirnya Teungku Fakinah menuruti mandat Panglima Polem dengan berat hatii.
Menjadi Ulama Rumah Ilmu Para Perempuan Aceh
Panglima Polem meyakinkan Teungku Fakinah bahwa perjuangan tak harus selalu harus di medan perang. Ia pun melanjutkan peranan dalam menguatkan perjuangan dengan menghidupkan kembali perguruan agama Dayah Lampucok pada 21 Mei 1910 di usia 54 tahun.
Teungku Fakinah pun menyalakan kembali api semangat juang perempuan, mengajak mereka untuk tidak hanya menjadi penonton dalam perjalanan sejarah, tetapi sebagai penggerak yang turut membentuk masa depan Aceh.
Peserta didiknya terdiri dari remaja perempuan, perempuan paruh baya, terutama janda-janda yang kehilangan suami dalam perjuangan panjang melawan penjajahan.
Teungku Fakinah ingin memberikan mereka bukan hanya ilmu agama, tetapi juga harapan baru untuk membangun kembali hidup mereka, serta menyatukan hati perempuan Aceh dalam semangat persatuan dan kemajuan.
Setelah menunaikan ibadah haji dan menjalani kehidupan yang penuh dengan pengorbanan dan pengabdian, Teungku Fakinah meninggal dunia pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H/1938 M, di usia ke-75 tahun.
Ia wafat di Kampung Beuhaa, Mukim Lam Krak, Aceh Besar, meninggalkan warisan tak tergantikan di mana saat berjuang gerilya ia secara fisik menghalau para penjajah, dan setelah kembali ke kampung halaman ia menjadi rumah bagi para perempuan dan janda-janda Aceh untuk bisa terus teguh melanjutkan hidup di kerasnya masa peperangan.