01 November 2024
14:54 WIB
Tekan Polusi Udara, KLH Minta Penggunaan Konverter Kit Di Kendaraan Digencarkan
Sektor transportasi masih menjadi salah satu penyebab utama polusi udara. Sektor ini berkontribusi sekitar 40% dari polutan yang menyebabkan pencemaran udara
Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq (kiri) dan Wamen LH Diaz Hendropriyono dalam aksi bersih sungai di Jakarta, Jumat (1/11/2024) Antara/ Prisca Triferna
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menyatakan akan berkomunikasi dengan Kementerian Perhubungan, untuk memperketat kembali pemasangan konverter kit pada kendaraan bermotor. Menurutnya, hal ini penting dilakukan dalam upaya mengurangi polusi udara Jakarta, juga mendorong elektrifikasi transit massal.
Hanif usai aksi bersih sungai di Jakarta, Jumat (1/11) mengatakan, transportasi masih menjadi salah satu penyebab utama polusi udara dan berkontribusi sekitar 40% dari polutan yang menyebabkan pencemaran udara.
"Kami akan minta ke Kementerian Perhubungan untuk memperketat kembali untuk memasang semacam konverter, jadi polutan bisa ditahan di konverter tadi," kata Hanif.
Dia juga akan berkomunikasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk peta jalan percepatan elektrifikasi dari transportasi massal, sebagai bagian untuk menekan emisi buangan dari sektor transportasi.
Ia mengatakan pihaknya di saat yang bersamaan, akan menindak industri pengguna batu bara dan praktik pembakaran sampah secara terbuka atau open burning yang berkontribusi terhadap kondisi polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Dia mengatakan telah mengidentifikasi sekitar 300 unit usaha yang menggunakan pendidih atau boiler dengan bahan bakar batu bara dan menyumbang konsentrasi partikulat 2.5 (PM2.5) yang berdampak pada kesehatan ketika terhirup.
Di saat bersamaan, Kementerian LH memastikan akan mengawal peta jalan pemberhentian bertahap dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sudah dibuat oleh PT PLN (Persero), termasuk PLTU Suralaya yang berada di Banten.
"Jadi, itu yang kami sasar dulu. Karena dari kajian yang kami lakukan secara terus-menerus beberapa tahun ini, salah satu sumber terbesarnya ada di sana. Jadi, yang di lingkup Jakarta, Jabodetabek ini, yang kami akan selesaikan," ucap Hanif.
Butuh Ketegasan
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan, butuh ketegasan dari para kepala daerah dalam menegakkan aturan untuk mengatasi masalah polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.
"Seperti keberanian gubernur dalam menerapkan aturan pembatasan kendaraan berbahan bakar dari fosil dan ciptakan blueprint yang jelas untuk mengoptimalkan angkutan publik," kata Sekretaris Utama BMKG Dwi Budi Sutrisno di Jakarta, Selasa (15/10) lalu.
Menurut dia, tanpa keberanian menegakkan atau bahkan merancang peraturan sektor transportasi publik yang ramah lingkungan secara baku, maka masalah kualitas udara di Jakarta semakin sulit diselesaikan.
Berdasarkan data Organisasi Iklim Dunia (WMO) suhu rata-rata global dari tahun 1850 - 2023 melonjak signifikan hingga mencapai 1,5 derajat Celcius atau hampir melampaui batas maksimum yang disepakati global. Peningkatan suhu tersebut salah satunya disokong oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca dari karbon yang dilepas kendaraan (CO2) pada lapisan atmosfer.
BMKG dengan beberapa kementerian atau lembaga terkait lainnya, juga mendapati kondisi polusi udara karena tingginya konsentrasi CO2 tersebut juga terjadi di Jakarta yang masih bermasalah dengan kemacetan. "Walau ini isu global tapi butuh respons kelokalan juga. Pengendalian perlu dilakukan di Jakarta. Kita juga yang rasakan dampaknya," imbuhnya.
Kondisi dapat diperjelas salah satunya melalui laporan Indeks Kualitas Udara (IAQ) yang pada Selasa (15/10) mencapai angka 178 dengan polutan utamanya sebesar PM 2,5 dan nilai konsentrasi 94 mikrogram per meter kubik (m3) atau 18.8 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WMO.
Bahkan lebih dari itu, Dwi menyebutkan, informasi penelitian terbaru diketahui kemacetan kendaraan di Jakarta telah menimbulkan kerugian perekonomian senilai Rp100 triliun per tahun. Sekitar Rp40 triliun habis untuk operasional kendaraan seperti bahan bakar dan Rp60 triliun lain di antaranya kerugian kesehatan.
"Intinya ketegasanlah yang dibutuhkan. Memang berat tapi semua akan lebih berharga jika dibandingkan dampak penurunan kualitas kesehatan anak-anak yang menjadi masa depan kita nanti," kata Dwi yang juga praktisi bidang transportasi itu.