09 Agustus 2025
17:55 WIB
Sulitnya Menjangkau Ruang Terbuka Untuk Bermain Anak
Ruang terbuka sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Kekurangan ruang ini bisa memicu gangguan emosi, tantrum, hingga frustrasi.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Andesta Herli Wijaya
Sejumlah anak yang sedang bermain perosotan di RPTRA, Cipete Selatan. Validnews.ID/Hasta Adhistra.
JAKARTA - Di bawah terik matahari siang menjelang sore, sekelompok anak berlarian di antara batu-batu nisan di TPU Grogol, Kemanggisan, Jakarta Barat. Di antara langkah kaki kecil tersebut, beberapa anak tersandung akibat gundukan tanah, hingga tersungkur. Namun, sesaat kemudian mereka berdiri dan melanjutkan laju lari mereka.
Meski terjatuh, tangan mereka tetap erat menggenggam gulungan benang, mata mereka menatap langit, mengikuti liukan layangan yang menari tertiup angin.
Tak jauh dari sana, hanya seratus meter jaraknya, nampak beberapa kelompok anak sedang asyik menendang bola, menggiring, dan menggocek teman satunya berusaha mencetak skor.
Kegiatan tersebut dilakukan di pinggir jalan, tempat banyak lalu lalang kendaraan bermotor. Beberapa pengendara bahkan sahut-menyahut membunyikan klakson kala bola mereka melesat ke tengah jalan. Pemandangan ini jadi keseharian yang bisa disaksikan warga saban sore di sana.
Sekilas, pemandangan ini tampak seperti keceriaan masa kecil biasa. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks.
Tempat Pemakaman Umum (TPU) dan area jalan jelas bukanlah ruang bermain ideal. Meski begitu, bagi anak-anak di kawasan padat seperti Kemanggisan, lahan terbuka untuk bermain semakin langka. Di mana pun ada ruang lapang, di situ kegiatan bermain bisa mereka lakukan.
Ditambah lagi, keterbatasan ekonomi memaksa mereka mencari alternatif ruang bermain yang ala kadarnya, alias lebih sederhana dan murah meriah pastinya.
Jakarta, sebagai kota megapolitan, terus tumbuh vertikal dan horizontal. Sayangnya, pertumbuhan ini tidak diimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) yang memadai.
Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, hingga 2024, luas RTH kurang dari 10% dari total luas wilayah, masih jauh dari target ideal 30% sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ruang bermain anak, yang seharusnya menjadi bagian dari RTH, makin tersingkir oleh pembangunan properti, jalan tol, dan area komersial. Anak-anak di permukiman padat hanya punya sedikit pilihan: gang sempit, halaman sekolah yang terkunci sore hari, atau seperti di TPU Grogol yang merupakan area pemakaman.

Andalkan Taman Bermain Berbayar
Di tengah riuhnya Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur, Sinta Ambarwati (31) hanya ingin satu hal sederhana untuk anaknya. Dia ingin Hieronmy Artawan Kwok atau akrab disapa Ilo yang kini berusia empat tahun punya ruang bermain yang layak, luas, dan gratis.
Sinta menyadari bahwa waktu menemani Ilo bermain bukan masalah besar untuknya. Namun, persoalan muncul ketika pilihan tempat bermain itu ternyata sangat terbatas.
"Kalau untuk bermain ada ya, waktunya ada. Mainnya cuma di taman, di komplek. Kalau pun mau eksplorasi ke tempat lain, kebanyakan juga indoor. Paling sering ya di mal," kata Sinta kepada Validnews, Kamis (31/7).
Sinta sadar, Jakarta yang megapolitan ternyata hanya menyisakan sedikit ruang untuk anak-anak merasakan tanah, rumput, dan langit biru tanpa batas. Ruang terbuka publik yang seharusnya bisa jadi wadah anak-anak bermain dan bersosialisasi seringkali berubah jadi fasilitas berbayar atau tersingkir oleh pembangunan gedung-gedung tinggi.
"Kalau kita mau memperluas area bermain di luar, di Jakarta mahal banget. Banyaknya sih tetap di mal. Karena ruang terbuka juga kita lihat dikit ya. Sekarang juga kurang gitu sih," keluh Sinta.
Menurutnya, taman bermain berbayar yang tersebar di pusat perbelanjaan menjadi pilihan paling umum, walau tidak ideal. Meski tinggal di Kelapa Gading, Jakarta Utara yang tergolong lebih ‘beruntung’ karena memiliki mal dengan taman berkonsep semi terbuka, Sinta merasa itu bukan solusi jangka panjang.
"Ya, cuma kita beruntungnya itu di dekat rumah ada taman. Tapi ya itu, di dalam mal," kata dia.
Jika ingin mencari ruang terbuka yang benar-benar luas dan gratis, ia kadang membawa Ilo ke kawasan Jakarta Pusat, yang punya beberapa pilihan ruang publik seperti Taman Menteng atau Taman Suropati. Akan tetapi, itupun memerlukan waktu, tenaga, dan perencanaan ekstra.
Di tengah keterbatasan ruang bermain untuk anaknya ini, kepada pemerintah Sinta hanya berharap agar Ilo dan anak-anak lain seusianya bisa bermain dengan aman dan nyaman.
"Diperbanyak lagi area-area terbuka hijau gitu, nggak cuman berfokus di titik-titik yang besar atau luasan ruang terbuka hijau yang gede banget juga gitu kan, tapi setidaknya adalah ruang yang cukup memadai buat anak-anak gitu," harapnya.
Ruang Bermain Untuk Tumbuh Kembang Optimal
Berkaca pada pengalaman Sinta, keberadaan ruang terbuka bagi anak-anak perlahan menjadi barang mewah. Padahal, menurut Psikolog Anak dan Keluarga Anggiastri H. Utami, ruang terbuka bukan sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan fundamental dalam tumbuh kembang anak, terutama di usia dini.
"Kalau kita bicara ruang terbuka buat anak-anak, itu sangat penting. Karena mereka masih butuh mengasah kemampuan motorik kasarnya, bergerak, bermain, supaya tumbuh kembangnya optimal," jelasnya kepada Validnews, Kamis (31/7).
Anggi menjelaskan, bermain di luar ruangan bukan hanya soal bersenang-senang. Di balik gerakan berlari, memanjat, atau sekadar mengejar kupu-kupu, tersimpan proses perkembangan kompleks yang mencakup aspek motorik, sosial, emosi, kognitif, hingga bahasa. Semua itu, menurut Anggi, saling terkait dan dimulai dari satu hal: aktivitas fisik.
Ia menjelaskan bahwa kurangnya aktivitas fisik di luar ruang dapat menyebabkan ketidakmatangan fungsi sensorik anak.
"Kalau anak kekurangan aktivitas fisik, itu bisa memengaruhi kematangan fungsi geraknya, bahkan indra seperti penglihatan dan pendengaran. Nanti itu berdampak pada konsentrasi, bahkan kemampuan bahasa," jelasnya.
Lebih jauh lagi, kekurangan stimulasi dari ruang terbuka juga dinilainya bisa memicu gangguan emosi seperti mudah marah, tantrum, hingga frustrasi. Ini bukan hanya soal kebiasaan anak "rewel", melainkan manifestasi dari ketidakseimbangan emosi yang berkaitan erat dengan keterbatasan bergerak dan mengeksplorasi lingkungan sekitar.
"Ketika anak tidak mampu mengelola emosinya, otomatis akan berpengaruh pada perilakunya. Dia jadi lebih mudah marah, lebih mudah frustrasi. Ini bukan cuma perilaku 'nakal', tapi refleksi dari kebutuhan dasarnya yang nggak terpenuhi," terangnya.
Fenomena ini bukan teori semata. Di lapangan, Anggi kerap menemui anak-anak di Jakarta yang datang sebagai klien dengan masalah konsentrasi, keterlambatan perkembangan, hingga ketidakstabilan emosi.
Menurut Anggi, kebutuhan anak terhadap ruang terbuka sama besarnya dengan kebutuhan orang dewasa terhadap olahraga.
"Padahal secara potensi kognitif mereka bagus. Tapi tidak termaksimalkan karena tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk bermain secara fisik," tuturnya.
"Kita aja kalau kurang gerak bisa bad mood, ya kan? Anak-anak juga begitu. Bedanya, mereka melampiaskannya lewat main. Main layangan, sepeda, kejar-kejaran. Kalau itu hilang, dampaknya bisa jauh lebih kompleks," sebutnya.

Perlu Kreativitas Orang Tua
Di tengah keterbatasan ruang terbuka di kota-kota besar seperti Jakarta, banyak orang tua merasa kebingungan memberikan stimulasi gerak yang cukup bagi anak-anak mereka. Namun menurut Anggi keterbatasan tersebut masih bisa diatasi dengan kreativitas dan keterlibatan aktif orang tua.
Idealnya, anak punya ruang terbuka untuk bermain. Namun ketika ruang itu terbatas, bukan berarti anak harus kehilangan kesempatan untuk bertumbuh optimal. Di sinilah orang tua dituntut untuk menghadirkan alternatif.
Anggi membagi alternatif stimulasi motorik anak ke dalam dua pendekatan, yaitu berdasarkan kondisi finansial keluarga. Untuk keluarga yang memiliki kemampuan lebih, ia menyarankan anak bisa mengikuti kelas olahraga, seperti gimnastik atau aktivitas fisik terstruktur lainnya.
"Kalau mereka mampu, akan sangat baik kalau anak ikut kelas olahraga. Di sana, motorik kasar anak bisa terlatih secara sistematis," jelasnya.
Namun bagaimana dengan keluarga yang tidak punya akses ke fasilitas berbayar? Di sinilah keterampilan dan kreativitas orang tua diuji. Mereka bisa dengan kreatif menciptakan simulasi bermain anak dengan barang-barang yang ada di rumah.
Anggi mengatakan itu tetap bisa dilakukan. Misalnya, orang tua membuat permainan di rumah, katakanlah permainan halang-rintang. Anak diminta ambil benda, lewat bawah meja, loncat dari satu kursi ke kursi lain. Permainan yang sederhana dan murah, tapi efektif.
Anggi menekankan bahwa aktivitas bermain tidak bisa digantikan dengan sekadar mengajak anak jalan-jalan ke mal atau ke tempat rekreasi lainnya. Aktivitas seperti itu tidak cukup untuk melatih otot-otot penting dalam perkembangan motorik anak.
"Dia butuh gerakan yang kompleks: melompat, menyeimbangkan tubuh, berjongkok. Itu akan memengaruhi area perkembangan di otaknya," jelas Anggi.
Sebaliknya, orang tua bisa memodifikasi lingkungan rumah agar anak tetap bisa bergerak aktif. Misalnya membuat permainan keseimbangan dengan tali, menggunakan bantal untuk lompatan, atau mengajak anak melakukan aktivitas fisik bersama seperti senam ringan.
Namun lebih dari sekadar menyediakan fasilitas, Anggi mengingatkan pentingnya kehadiran emosional orang tua. Menurutnya anak tidak hanya membutuhkan kehadiran secara finansial maupun fasilitas, namun juga secara psikologis.
Anggi tak menutup mata akan fakta bahwa banyak orangtua di kota besar seperti Jakarta amat sibuk bekerja. Tapi dia menekankan kalau peran kehadiran orang tua sangatlah penting, sehingga sebaiknya tak diabaikan. Meluangkan satu atau dua hari untuk benar-benar hadir dan bermain bersama anak akan berdampak besar bagi anak.

Memperkenalkan Permainan Tradisional di Era Digital
Di tengah keterbatasan anak-anak pada ruang bermain yang memadai, seorang pemuda asal Sidoarjo, Jawa Timur, Achmad Irfandi, memilih untuk melawan dengan cara yang unik: menghadirkan kembali permainan tradisional lewat sebuah ruang bermain alternatif bernama Kampung Lali Gadget.
Menurut Irfandi, inisiatif tersebut merespon fenomena kian lekatnya orang-orang dengan gadget. Bahkan para orang tua sering kali sulit membatasi waktu mereka sendiri dalam mengakses perangkat tersebut.
Hal itu menurut Irfandi merupakan salah satu faktor utama yang membuat anak-anak lebih memilih layar ketimbang lari-lari di luar. Yang pertama, adalah lingkungan orang dewasa itu sendiri.
"Kita sebagai orang tua, guru, atau masyarakat tidak bisa lebih menarik dari gadget. Kita kalah menarik," ceritanya kepada Validnews, Kamis (31/7).
Faktor lainnya, ruang bermain fisik semakin sempit, seperti dibicarakan panjang lebar di bagian sebelumnya. Seiring pembangunan kota, anak perlahan-lahan tergusur karena lahan-lahan kosong tempat anak biasa bermain sepak bola atau layangan dijadikan lokasi proyek pembangunan.
"Sekarang lahan kosong sudah jadi bangunan semua. Anak-anak nggak punya ruang lagi," kata Irfandi.
Terakhir, ada faktor kesadaran para orang tua itu sendiri. Faktanya, tak banyak orang tua yang mengajak atau mengenalkan permainan tradisional pada anak.
Irfandi dalam hal ini mencontohkan permainan tradisional karena permainan-permainan ini relatif lebih cocok sebagai stimulasi anak untuk bergerak aktif. Dengan bermain, anak-anak mendapatkan manfaat fisik, emosional maupun sosial.
"Kalau dulu orang tua bikin mainan dari bambu, ban bekas, atau kayu, sekarang udah jarang. Bahkan data tentang permainan itu sendiri juga nggak ada. Anak-anak nggak tahu harus main apa," katanya.
Melalui Kampung Lali Gadget, Irfandi mencoba menjawab semua tantangan itu. Di desa tempatnya tinggal, dia menciptakan ruang yang aman, bebas gadget, dan penuh dengan aktivitas fisik serta imajinasi. Setiap minggu, anak-anak diundang untuk ikut serta dalam sesi permainan bertema.
"Kita buat satu tema setiap bulan, misalnya ‘bermain dengan daun’. Maka sepanjang bulan itu, kita ajak anak-anak bermain 16 jenis permainan tradisional yang semuanya berbahan dasar daun. Kadang tema lain seperti kayu, batang, atau air. Kita ingin anak-anak mengeksplorasi alam melalui bermain," kata dia.
Kampung Lali Gadget tidak hanya menyediakan lahan bermain, tetapi juga pemandu permainan, alat, dan materi permainan tradisional. Hari Minggu menjadi puncak kegiatan mingguan. Sedangkan pada hari-hari biasa, Kampung ini terbuka untuk kunjungan dari sekolah yang mengadakan kegiatan outdoor learning.
Hal yang menarik, Kampung Lali Gadget disediakan gratis bagi anak-anak lokal. Anak-anak di sekitarnya bisa datang kapan saja dan bermain sepuasnya.
"Kita sediakan semua alat permainannya," tutur Irfandi.
Apa yang dilakukan Irfandi bukan sekadar membuat taman bermain. Ia berusaha menghidupkan kembali memori kolektif masyarakat Indonesia tentang pentingnya bermain, tentang keakraban dengan alam, dan tentang tumbuh kembang anak yang sehat secara fisik dan psikologis.
Sayangnya, tak banyak orang yang bergerak seperti Irfandi di Sidoarjo. Di tengah pertumbuhan kota, anak-anak semakin tergusur dari ruang-ruang bermainnya.
Di antara hiruk-pikuk kesibukan para orang tua masa kini, ditambah paparan teknologi digital yang kian sulit dihindari, anak-anak terancam kehilangan aspek penting dalam fase tumbuh kembang mereka, yakni bermain sembari bergerak aktif bersama teman-teman.