c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

11 November 2023

17:55 WIB

Self-Diagnosis, Mendeteksi Penyakit Dengan Logika Awam

Akibat self-diagnosis dan pengobatan yang salah, penyakit yang seharusnya sembuh dengan tindakan sederhana atau obat dosis ringan, justru bisa makin buruk hingga menimbulkan penyakit tambahan

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Rendi Widodo

Self-Diagnosis, Mendeteksi Penyakit Dengan Logika Awam
Self-Diagnosis, Mendeteksi Penyakit Dengan Logika Awam
Ilustrasi diagnosa mandiri seorang lansia. Shutterstock/Kmpzzz

JAKARTA - Rahma (27), seorang perempuan pekerja di Ibu Kota, baru saja melalui masa-masa ‘tersiksa’ saat dirinya mengalami sakit tak terkira di sebagian sisi kepala yang disertai rasa berdenyut. Bahkan, sakit yang dia rasakan hampir setiap saat ikut menjalar sampai ke bagian tengkuk dan leher.

Dia ingin rasa sakit yang dialaminya ini sirna dengan cepat jika perlu, tanpa harus berobat. Berbekal informasi dari melakukan riset di internet, Rahma pun mencari tahu penyakit yang diderita.

Penelusurannya di berbagai website kesehatan pun memberinya kesimpulan. Dia mendiagnosis, sakit kepala yang dirasa adalah migrain. Rahma pun memilih solusi membeli obat sakit kepala di apotek terdekat.

Namun, obat sakit yang dikonsumsinya ternyata tak mampu meredam sakit kepala yang dialaminya. Rasa sakit justru semakin bertambah dan makin menyiksa, kala penyakit asam lambung yang Rahma miliki ternyata ikut kambuh.

“Sakit kepala ada sekitar dua hari, minum obat bukan sembuh ternyata lambung malah ikut kerasa, dihitung-hitung jadi enam hari kemarin sakit,” ujar Rahma, saat bercerita kepada Validnews, Selasa (7/11).

Rahma pun sadarakan kesalahan yang diperbuat. Dia hanya mendiagnosis sendiri penyakitnya dengan pengobatan ’sekenanya’. Apalagi, selayaknya pekerja di Ibu kota, dia acap kali telat makan, bahkan saat mengonsumsi obat.

“Akhirnya nyerah karena ‘tumbang’, berobat ke dokter langsung dan baru ketahuan kalau ternyata jadi sakit ke lambung karena obat yang sebelumnya dibeli sendiri, ada kandungan yang gak ramah untuk lambung,” jelasnya.

Perihal penyebab sakit kepala yang diderita, dia baru mengetahui setelah berkonsultasi langsung dengan dokter. Kondisi yang dialaminya, terjadi lantaran besarnya beban pekerjaan yang membuat tubuhnya menjadi lelah, tegang, dan stres.

Terbukti, sakit kepala yang dialaminya berangsur hilang dan kondisi kembali membaik ketika Rahma dianjurkan untuk rehat sejenak dari aktivitas bekerja selama tiga hari. Pun dengan asam lambung yang diderita, rasa sakitnya juga menghilang setelah dia mengonsumsi obat yang lebih tepat sesuai resep dokter. Tentu, turut dibarengi dengan pola makan yang lebih terjaga.

Datangnya Budaya Self-Diagnosis
Apa yang dialami Rahma sejatinya hanya salah satu contoh kecil dari sekian banyak kebiasaan melakukan self-diagnosis di tengah masyarakat ketika merasakan sakit. Kebiasaan ini bahkan sudah menjadi fenomena tersendiri.

Merujuk penjelasan yang dimuat pada laman Kementerian Kesehatan, self-diagnosis adalah suatu kondisi ketika seseorang mendiagnosis diri sendiri terkena suatu penyakit, berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi di internet yang berkaitan dengan keluhan tersebut.

Padahal, informasi yang tersedia di internet sering kali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis atau tidak evidence-based medicine. Sekalipun sahih, pada akhirnya potensi kesalahan self-diagnosis bisa terjadi lantaran tak semua orang bisa menemukan informasi yang tepat di internet dengan keterbatasan kata kunci dan keterbatasan pengetahuan untuk menyimpulkan  satu gejala dengan gejala lainnya.

Ferdi Ragil Hidayat, dokter sekaligus Kepala Instalasi Rawat Jalan, Hemodialisa, dan Fisioterapi Rumah Sakit Hermina Group Ciputat memberikan contoh dan dampak paling umum dalam skala kecil yang terjadi, akibat kebiasaan self-diagnosis di tengah masyarakat.

“Contoh pada kasus pasien yang datang dengan keluhan sakit kepala, mereka minum obat sakit kepala bukannya hilang justru lambungnya ikut kena. Setelah kita tanya ternyata sebelumnya sudah konsumsi obat dengan kandungan asam mefenamat yang tidak ramah lambung, biasanya ada di obat penghilang nyeri yang memang umum dan mudah didapat,” jelas Ferdi, melalui sambungan telepon, Rabu (8/11).

Karena inilah, tak heran, ketika berobat, dokter umunya akan lebih dulu bertanya kepada pasien, obat-obatan apa saja yang sudah dikonsumsi.

Pada saat bersamaan, kebiasaan self-diagnosis yang dilakukan dengan bermodalkan pencarian informasi di internet juga semakin didukung dengan hadirnya aplikasi layanan konsultasi online

Pada awal kehadirannya, layanan online tersebut pasti memiliki laman resmi yang memuat konten atau artikel berisikan berbagai macam informasi medis.

Meski jika ditelusuri sebenarnya artikel atau konten medis yang ada dibuat dengan pengawasan dan validasi oleh para dokter di masing-masing bidang, namun nyatanya tidak semua masyarakat mampu memilah dan merespons informasi yang ada sesuai dengan keluhan atau kondisi sakit yang dialami.

Untungnya, kebiasaan dan risiko self-diagnosis, setidaknya bisa diminimalkan dengan adanya layanan konsultasi online. Setidaknya, masyarakat atau pasien bisa menerima arahan penanganan dari ahlinya.

“Memang ada pro dan kontra dari layanan kesehatan atau konsultasi online, tapi setidaknya untuk saat ini kehadiran teknologi tersebut bisa dibilang sangat membantu, ketimbang pasien atau masyarakat menimbang-nimbang atau menerka sendiri diagnosis sakit yang mereka alami,” ujar Ferdi lagi.

Sisi Gelap Self-Diagnosis
Lebih lanjut, Ferdi juga mengungkapkan bahaya self-diagnosis jika makin terbiasa dilakukan di tengah masyarakat. Sejauh ini, dia melihat, self-diagnosis terhadap penyakit ringan sesederhana sakit kepala seperti yang dipaparkan pada kejadian di atas jadi salah satu yang paling umum.

Akibatnya, penyakit yang sebenarnya bisa sembuh hanya dengan tindakan sederhana seperti relaksasi diri atau mengonsumsi obat dosis ringan, justru dapat menyebabkan timbulnya penyakit tambahan akibat tindakan atau pengobatan yang salah.

Lebih dari itu, self-diagnosis yang dilakukan secara terus-menerus apalagi jika menyangkut penyakit penyakit berat, bukan tidak mungkin akan memengaruhi kesehatan mental orang yang bersangkutan.

“Dampak dalam jangka panjang dan serius bisa dari segi asupan makanan, orang (yang melakukan self-diagnosis) jadi membatasi karena ada keyakinan tidak boleh makan makanan tertentu. Bisa juga sampai pada akhirnya pikiran orang tersebut hanya dipenuhi rasa takut atau was-was, sehingga dapat memberi dampak ke kondisi mental orang yang bersangkutan,” jelas Ferdi.

Selain dari pengaruh teknologi dan internet, sejatinya, ada sejumlah faktor lain yang membuat banyak masyarakat di Indonesia kerap melakukan self-diagnosis

Menurut Ferdi, self-diagnosis bisa terjadi lantaran adanya ketidakmampuan masyarakat dalam mencari sumber informasi yang valid dan benar.

“Akan ada beberapa faktor. Misalnya usia, dan yang paling sering ditemui kondisi keuangan,” serunya.

Dia tak menampik, sebenarnya, bisa saja self-diagnosis dilakukan dengan hasil yang benar. Misalnya, seseorang mendapatkan informasi mengenai suatu kondisi penyakit yang dialami dari sumber yang valid. 

Kemudian secara kebetulan melakukan langkah pengobatan secara benar, maka hasil dari diagnosis yang efektif tetap bisa terjadi.

“Yang menjadi masalah di lingkungan kita saat ini kan tidak semua masyarakat memiliki kesadaran atau kemampuan lebih untuk mencari informasi dengan metode seperti itu. Jika ada pasien yang ternyata melakukan self-diagnosis dengan bermodalkan mencari tahu dari sumber kredibel, hal tersebut sebenarnya dapat menjadi modal ketika dia berkonsultasi dengan dokter mengenai kondisi atau penyakit yang dialami,” papar Ferdi.

Tilikan dan Aksi Penyangkalan
Di sisi lain, sebagian masyarakat bahkan mendiagnosis dirinya sendiri dan tidak melakukan pengobatan apapun dan merasa sakit yang dirasakan, bukanlah suatu kondisi yang perlu dikhawatirkan atau dianggap sebagai situasi sepele.

Salah satunya adalah Lita (26), perempuan yang selama 4 tahun terakhir mengalami gangguan dalam beraktivitas sehari-hari. Kepada Validnews, Sabtu (4/11), Lita mengaku pertama kali mengalami beberapa macam gangguan sejak kisaran akhir tahun 2019.

Beberapa gangguan yang dimaksud di antaranya mengalami kesulitan tidur baik di malam maupun siang hari. Dia mengaku baru bisa tertidur jika ada suara-suara yang menemani entah itu suara orang berbicara, atau suara yang berasal dari ponsel, televisi, dan media lainnya.

Lebih anehnya lagi, meski tidak suka keheningan, Lita sebenarnya juga mengaku tidak begitu suka keramaian, bahkan kerap memilih menyendiri. Namun, Lita mengaku masih menganggap kondisi yang dialami bukan hal serius.

“Ya, bisa dibilang waktu itu masih denial, kita cuma menganggap diri kita gak ada permasalahan apapun, apalagi sampai ke permasalahan mental. Sampai akhirnya ada salah satu pemicu yang mendorong diri buat coba konsultasi ke dokter (psikiater). Ternyata hasilnya di luar dugaan,” ujarnya.

Ya, jika belakangan banyak dijumpai kalangan anak muda atau yang disebut generasi-z, dengan mudah melakukan self-diagnosis atas kondisi kesehatan mental, Lita justru kebalikannya.

“Sebenarnya bukan gak sadar kalau ada yang salah, diri sendiri memang sedikit banyak merasa. Tapi entah karena kepribadian aku yang memang gak mau menanggapi sesuatu terlalu rumit, jadi waktu itu sama sekali gak terpikir kalau akan divonis PTSD (post-traumatic stress disorder),” ungkap Lita lagi.

Apa yang dialami oleh Lita rupanya diluruskan lebih jauh sekali lagi oleh Ferdi. Nyatanya dalam dunia medis, kata Ferdi, penolakan terhadap kondisi suatu penyakit apapun jenisnya, entah kesehatan mental atau lainnya, bukan termasuk ke dalam self-diagnosis, melainkan “tilikan”.

Dalam dunia medis, tilikan dikenal dengan kondisi kesadaran atau pemahaman seseorang atau dalam hal ini pasien terhadap kondisi sakitnya. Secara teori ada enam fase tingkat tilikan yang dialami seseorang.

Mulai dari fase ke-1 saat di mana orang tersebut secara penuh menyangkal kondisi sakitnya, hingga fase terakhir (ke-6) saat di mana seseorang sudah menyadari kondisi sakitnya, namun mengalami perubahan perilaku dan emosional.

Selain Lita, sosok yang secara tak sadar berada di fase tilikan adakah Titiek, seorang penderita kanker payudara yang menyangkal penyakitnya, sekalipun sudah melihat ragam indikasi tumornya.

Awalnya, Titiek melihat gejala berupa benjolan yang ada di sekitar payudara. Namun alih-alih berkonsultasi ke dokter, Titiek tidak mengambil langkah serius untuk menindaklanjuti penyakit yang akhirnya merenggut nyawanya itu.

“Pasien itu terkadang denial dengan penyakit yang mereka rasa. Untuk pasien saya di poli, biasanya yang mengalami kondisi ini adalah pasien Carcinoma mammae atau umum dikenal tumor payudara. Mereka merasa payudaranya baik-baik saja, benjolan yang ada itu benjolan biasa. Intinya, dia merasa tidak mau didiagnosis dengan penyakit itu,” papar Ferdi.

Kerap dianggap sebagai situasi yang sama, self-diagnosis dan tilikan dalam dunia medis nyatanya merupakan hal berbeda. Meski demikian, keduanya memiliki fokus permasalahan, dampak, dan bahaya yang sama dalam hal kekeliruan jika tidak ditangani dengan tepat.

“Apapun kondisinya, agar tidak menjurus ke self-diagnosis atau tilikan akan lebih baik jika lebih bijak dan mengambil langkah yang tepat. Jika memang ingin melakukan pengamatan sendiri lebih dulu, alangkah lebih baik jika merujuk kepada sumber kredibel. Terakhir langkah paling aman, konsultasi ke dokter dengan memanfaatkan fasilitas atau semua kemudahan yang ada,” pungkas Ferdi.

Pada akhirnya, kesehatan bukanlah hal yang bisa dikendalikan oleh asumsi-asumsi. Buat seorang dokter, perlu ilmu pengetahuan yang cukup dari hasil pembelajaran yang rumit dan sulit untuk bisa mengambil kesimpulan atau mendiagnosis gejala-gejala yang ada pada seseorang. Jadi, wajar adanya jika dokter dan biaya pengobatan terbilang mahal.

Lagipula, seorang dokter dengan segala ilmu dan segudang pengalaman saja, masih memiliki risiko salah diagnosis, apalagi kita sebagai orang awam yang hanya bermodalkan ilmu ’gratisan’ dari internet.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar