c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

KULTURA

01 November 2025

12:09 WIB

Risiko Eksploitasi Data Di Balik Fenomena Jual Beli Foto Di Platform AI

Wajah adalah data biometrik permanen. Sekali bocor, risikonya pun bersifat permanen karena data wajah tidak bisa diubah sebagaimana kata sandi.

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p>Risiko Eksploitasi Data Di Balik Fenomena Jual Beli Foto Di Platform AI</p>
<p>Risiko Eksploitasi Data Di Balik Fenomena Jual Beli Foto Di Platform AI</p>

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan bahwa memotret di ruang publik masih diperbolehkan, tetapi memaksa warga untuk membeli hasil foto dilarang. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah.

JAKARTA - Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengingatkan ada risiko besar pencurian dan penyalahgunaan data di balik praktik fotografi jalanan yang marak dalam beberapa waktu terakhir. Dia menilai, fenomena itu bisa sangat merugikan bagi masyarakat yang wajahnya ada dalam hasil jepretan para fotografer jalanan tersebut.

Masalah menjadi kompleks karena fenomena itu dibarengi dengan aktivitas jual-beli foto di platform digital berbasis kecerdasan buatan atau AI. Pakar menyebut fenomena itu merupakan ancaman yang nyata terhadap keamanan data.

Menurut Ketua lembaga riset keamanan siber CISSRe, Pratama Persadha, fenomena itu mencerminkan inovasi pemanfaatan teknologi AI di bidang fotografi digital yang bisa dimaknai sebagai perekembangan positif dunia teknologi. Namun di sisi lain, hal tersebut membawa risiko besar terhadap keamanan data pribadi masyarakat.

"Data wajah termasuk kategori data pribadi spesifik yang bersifat sensitif karena bisa digunakan untuk mengenali identitas seseorang secara unik," ungkap Pratama sebagaimana diberitakan Antara, dikutip Sabtu (1/11).

Sebagaimana diketahui, dalam beberapa waktu terakhir ramai perbincangan di media sosial tentang aktivitas fotografi jalanan. Para fotografer yang datang entah dari mana, beramai-ramai memotret di ruang publik, terutama menangkap momen-momen masyarakat ketika tengah berolahraga.

Fenomena itu dikaitkan dengan aktivitas jual beli foto di platform berteknologi AI. Sistem kerjanya, fotografer akan menggunggah hasil tangkapan kameranya ke platform tersebut, kemudian orang-orang yang menjadi objek foto bisa mencari foto mereka dengan memanfaatkan fitur pengenalan wajah, dan kemudian membayar sejumlah uang untuk memiliki hasil foto tersebut.

Praktik itu pada dasarnya sama dengan fotografi jalanan yang sudah ada sejak lama di berbagai kota. Bedanya, dulu para fotografer memotret masyarakat dan menjual hasil fotonya secara langsung kepada orang yang bersangkutan. Sementara hari ini, para fotografer menggunakan platform digital untuk menjual foto-foto hasil jepretan mereka.

Terlepas isu komersialisasi foto, praktik tersebut menurut Pratama riskan. Dalam sistem aplikasi atau platform penjualan, data wajah dikumpulkan, disimpan, dan diproses oleh algoritma pengenalan wajah untuk mencocokkan gambar. Proses ini disebut menimbulkan risiko kebocoran data apabila infrastruktur penyimpanan tidak memiliki perlindungan enkripsi yang kuat atau akses ke data tidak diatur dengan ketat.

"Sekali data biometrik bocor, risikonya bersifat permanen karena tidak seperti kata sandi, wajah tidak bisa diubah. Potensi penyalahgunaan data ini bisa meluas, mulai dari pencurian identitas, pembuatan deepfake, hingga pelacakan individu tanpa izin," tutur Pratama.

Baca juga: Utamakan Etika Ketika Mengambil Foto Di Ruang Publik

Dia memaparkan, keamanan data digital bergantung pada tiga faktor yakni tata kelola platform, transparansi pengelolaan data, dan pengawasan dari otoritas negara. Jika platform tidak mengimplementasikan standar keamanan seperti enkripsi end-to-end, kontrol akses berbasis peran, serta audit sistem secara berkala, maka celah kebocoran akan selalu ada.

Selain itu, apabila pengguna tidak diberikan informasi yang jelas tentang bagaimana data wajah mereka digunakan, disimpan, dan berapa lama akan dipertahankan, maka hak mereka sebagai subjek data telah dilanggar.

"Dari sisi teknis, tidak ada sistem yang sepenuhnya kebal dari ancaman peretasan, tetapi regulasi dan transparansi bisa meminimalkan dampaknya," kata Pratama.

Dari situ, Pratama menekankan pentingnya percepatan pembentukan Badan Perlindungan Data Pribadi (Badan PDP). Lembaga ini dibutuhkan guna memastikan langkah perlindungan data pribadi berjalan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

"Urgensi pembentukan Badan PDP menjadi semakin mendesak karena dunia digital berkembang jauh lebih cepat daripada birokrasi negara," kata Pratama.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar