c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

22 Desember 2022

20:40 WIB

Ragu Hati Beli Properti Jelang Resesi

Kekhawatiran membeli properti pada masa resesi muncul karena mencicil rumah merupakan komitmen jangka panjang. Sementara nasib pendapatan pribadi, tak sepasti angsuran yang saban bulan harus dilunasi

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Rendi Widodo

Ragu Hati Beli Properti Jelang Resesi
Ragu Hati Beli Properti Jelang Resesi
Pengunjung melihat maket perumahan pada pameran Indonesia Properti Expo 2022 di JCC, Jakarta, Minggu (20/11/2022). Antara Foto/Rivan Awal Lingga

JAKARTA - Memiliki rumah sendiri merupakan impian hampir semua orang. Tak hanya untuk urusan kenyamanan dan ketenangan, memiliki rumah sendiri pun bisa menjadi bentuk aktualisasi dari pencapaian diri sendiri.

Hal inilah yang dirasakan Tasha (30). Wanita yang bekerja di perusahaan swasta ini telah tinggal hampir 10 tahun di Jakarta sejak menyelesaikan kuliahnya. Dia sudah beberapa kali berpindah tempat tinggal, demi mendekatkan diri dengan tempatnya bekerja.

Bahkan, setelah menikah pun, Tasha dan suaminya masih sempat pindah kontrakan beberapa kali, sebelum akhirnya menetap di bilangan Ciracas, Jakarta Timur. 

Sampai saat ini, dia masih bermimpi untuk benar-benar mantap menetap di rumah sendiri, dibanding harus pindah-pindah kontrakan tiap beberapa tahun sekali.

Dia bukan tak pernah mencoba merealisasikan mimpinya memiliki hunian sendiri. Tasha sempat mencicil rumah di sebuah perumahan di kawasan Tangerang. Namun karena proses pembangunan yang terus-terusan molor, akhirnya dia meminta dananya kembali.

“Karena pembangunan yang molor terus, akhirnya jadi gak jelas kapan beresnya. Ternyata untuk (rumah) level menengah, memang banyak kasus yang seperti itu. Jadi ya sudah kita minta refund,” cerita Tasha pada Validnews, Minggu (18/12).

Tasha memilih untuk memendam mimpinya untuk sementara waktu, sambil menabung mengumpulkan uang muka dan segala urusan administrasi sampai menemukan rumah yang tepat untuk dicicilnya.

Munculnya isu resesi ekonomi tahun depan, tidak menghentikan niatnya. Keinginan untuk membeli rumah sendiri tahun depan masih tetap ada. Hanya saja, belakangan dia mencoba lebih realistis dengan membidik rumah bekas atau hanya sebidang tanah.

Satu hal yang inginkan, hunian yang nanti akan ditempatinya bersama sang suami, letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya sekarang. Pertimbangannya cukup banyak, tetapi alasan terbesar adalah moda transportasi umum yang lebih mudah dijangkau, ketimbang memilih daerah yang jauh di luar Jakarta.

Alasan serupa juga dialami Dinno (31). Moda transportasi umum yang lebih mudah dijangkau di tempat tinggalnya sekarang, jadi alasannya untuk sementara waktu tinggal di rumah sang mertua. 

Meski begitu, dia mengaku tak menutup niatnya untuk memiliki rumah sendiri ke depannya.

“Di keluarganya, istri saya anak terakhir dan di rumahnya hanya ada ibunya saja. Ayahnya masih bekerja di luar kota, jadi tinggal sendirian. Karena kondisi rumahnya itu masih ada banyak ruang, khususnya untuk keluarga kecil saya, jadi ya kami tinggal di sana,” ungkap Dinno pada Validnews, Minggu (18/12).

Menurut Dinno, kalau tidak ada ruang privasi untuk keluarganya di rumah sang mertua, ia terpikir untuk mengontrak atau menyicil rumah sendiri. 

Untungnya, dia diberikan ‘kuasa’ dan privasi sendiri di lantai dua rumah sang mertua, sehingga niat untuk mengontrak atau menyicil rumah pun urung ia lakukan untuk sementara waktu.

Meski begitu, pria anak satu itu juga merasa sedikit cemas jika terus menunda untuk membeli rumah. Mengingat harga tanah dan rumah setiap tahunnya selalu naik. Belum lagi cicilan rumah biasanya memiliki tenor hingga berpuluh-puluh tahun agar bisa lunas. Rasa cemasnya pun diperparah dengan adanya isu resesi ekonomi tahun depan.

Dampak Resesi
Rasa khawatir Dinno memang bisa jadi benar. Menurut Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, sektor properti tahun depan memang akan menghadapi beberapa tantangan. Mulai dari kenaikan suku bunga yang membuat calon pembeli harus menyicil angsuran lebih tinggi.

Kemudian, inflasi yang berdampak pada harga tanah dan bangunan, hingga lembaga keuangan seperti bank yang cenderung lebih selektif dalam menyalurkan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) karena khawatir adanya kenaikan NPL (Non Performing Loan).

Sekadar informasi, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,50% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung 21-22 Desember 2022. Sementara itu, Deposit Facility sebesar 4,75%, dan suku bunga Lending Facility ada di 6,25%.

"Rapat Dewan Gubernur memutuskan menaikkan suku bunga BI 7 days reverse repo rate sebesar 25 basis poin," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/12/2022)

Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps hanya dalam waktu empat bulan. Masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, 50 bps pada Oktober, dan 50 bps pada November. Kenaikan suku bunga sebesar 175 bps adalah yang paling agresif sejak 2005.

Bhima melanjutkan, ke depan, bukan hanya berpengaruh pada kalangan menengah ke atas yang menjadikan properti sebagai investasi, isu resesi dinilainya juga berpengaruh pada masyarakat menengah bawah. Ini karena mereka harus mencari hunian dengan harga yang lebih terjangkau, khususnya jika pekerjaannya terganggu resesi ekonomi global ini.

“Pendapatan masyarakat yang dikhawatirkan turun tergerus inflasi. Ditambah menyempitnya lapangan kerja baru, menjadi alasan utama sektor properti akan melambat tahun depan. Dalam situasi resesi pun ada kecenderungan pembeli mengalihkan aset ke investasi yang lebih aman seperti emas dan dolar ketimbang membeli rumah,” tutur Bhima pada Senin (19/12).

Selain itu, ‘ketakutan’ untuk membeli properti pada masa resesi juga muncul karena membeli rumah dengan mencicil merupakan komitmen jangka panjang, belasan hingga puluhan tahun. 

Sementara itu, nasib penghasilan sendiri, tak sepasti angsuran yang saban bulan harus dilunasi.

Jika sumber penghasilan seorang pekerja seperti Dinno, terseret resesi, dana darurat yang dimiliki pun belum tentu bisa menjadi solusi untuk menutupi cicilan yang tetap harus dibayar

Waktu Yang Tepat Beli Properti
Meski sepakat dengan Bhima, pengamat properti dan Wakil Ketua Umum Bidang Informasi dan Telekomunikasi Digital Properti Real Estate Indonesia Bambang Eka Jaya, punya optimisme lain. 

Menurutnya, seberat apapun situasi resesi nanti, kebutuhan properti di Indonesia masih akan tetap ada. Bedanya, kala hal itu terjadi, masyarakat dan lembaga keuangan jauh lebih hati-hati dalam melangkah.

“Pasti untuk sebagian konsumen isu resesi ini membuat mereka lebih berhati-hati. Tapi bukan berarti akan menjadi tahun yang buruk, melainkan tahun yang penuh tantangan yang menjanjikan,” ungkap Bambang  pada Selasa (20/12).

Optimisme lebih tinggi bahkan diungkapkan Perencana Keuangan dari OneShildt Budi Raharjo. Dia menilai, tahun depan justru adalah waktu yang cukup baik untuk membeli properti. 

Pasalnya, pada saat permintaan pasar turun di tegah pasokan yang banyak, para pengembang biasanya akan mengadakan berbagai program, sampai diskon menarik untuk calon pembeli.

Belum lagi, pada masa resesi ekonomi, banyak orang yang kemungkinan membutuhkan dana cepat. Jadi sangat mungkin banyak pihak yang akan menjual properti mereka dengan harga yang lebih miring.

Oh, iya, biasanya pada saat krisis, pemerintah juga akan memberikan sejumlah insentif sampai subsidi ke beberapa sektor usaha, untuk menjaga daya beli masyarakat. Sektor properti biasanya menjadi salah satu sektor yang tak luput dari perhatian.

“Sebenarnya masa resesi bagus untuk membeli properti karena minat masyarakat sedang turun dan ada stimulus untuk membeli properti yang didukung oleh pemerintah dengan adanya subsidi. Pengembang juga banyak memberikan diskon, baik untuk down payment (DP) atau pengurangan bunga, seperti yang terjadi di 2020-2021,” kata Budi, Rabu (21/12).

Tetap Hati-Hati
Hanya saja, meski ada secercah harapan seperti yang disebutkan di atas, masyarakat juga harus mempersiapkan situasi keuangan mereka. Sebab, dengan adanya resesi, bisa saja bank atau lembaga pembiayaan justru lebih ketat dan selektif untuk menggelontorkan kredit.

Budi mengamini, masyarakat sebagai konsumen memang tidak bisa begitu saja, hantam kromo membeli properti yang terdiskon murah. Dia menganjurkan, masyarakat untuk tetap mempertimbangkan beberapa hal.

Di antaranya, tujuan pembelian properti itu sendiri. Apakah untuk pribadi atau sebagai lokasi bisnis dan usaha. Jika untuk keperluan pribadi, pertimbangkan lagi bagaimana kondisi keuangan yang dimiliki? Apakah sanggup untuk membayar DP? Apakah hadirnya kenaikan suku bunga tidak mengganggu cash flow?

“Perhatikan juga biaya-biaya yang muncul seperti iuran listrik, air, keamanan, internet, fasilitas umum seperti IPL, karena juga pasti harus dikeluarkan setiap waktunya,” tambahnya.

Begitu juga dengan akses transportasi yang ada di daerah rumah yang akan dibeli atau tempati. Hal ini tentu perlu ikut diperhitungkan karena akan memengaruhi anggaran transportasi sehari-hari.

Saat ini, beberapa pengembang pun telah menyediakan properti yang berdekatan dengan akses transportasi umum, khususnya di daerah satelit atau daerah penyangga ibu kota. Jadi bisa membantu mengurangi biaya transportasi pembeli rumah.

Begitupun dengan utang di luar tanggungan cicilan rumah. Ada baiknya, sebelum mengambil cicilan rumah yang bisa menguras 20% sampai 25% pendapatan, utang-utang lain bisa dilunasi terlebih dahulu.

Membeli properti di pameran properti juga bisa dilakukan, mengingat di hajatan tersebut umumnya banyak penawaran, promosi, dan diskon menarik yang bisa menguntungkan.

“Kalau ada tawaran bunga fixed, itu sangat menarik karena ada kemungkinan suku bunga naik tahun depan. Kalau memilih bunga fixed, kita jadi tidak ikut mengalami kenaikan suku bunga hingga beberapa tahun ke depan,” ungkap founder Finansialku.com Melvin Mumpuni.

Sementara jika membeli properti sebagai tempat usaha atau bisnis, pastikan keputusan tersebut memberikan dampak yang positif pada keuangan usaha, alias tidak menjadi beban bisnis. 

Upayakan pula, bisnis yang kita geluti itu, tidak menjadi salah satu usaha yang bakal terkena dampak resesi.

Singkatnya, keputusan memiliki sebuah hunian memang bukan perkara main-main. Seperti tulisan di atas, butuh komitmen kuat mengingat hal ini akan berlangsung belasan hingga puluhan tahun ke depan.

Jika semua persiapan, perhitungan detail dan pertimbangan matang sudah dilakukan, tinggal keberanian dan insting yang kuat untuk menentukan properti mana yang akan kita miliki, sekalipun badai resesi harus menghantui.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar