11 November 2025
09:33 WIB
Pidato Kebudayaan DKJ 2025 Menyoroti Misi Jakarta Menuju Kota Global
Pidato Kebudayaan 2025 yang digelar Dewan Kesenian Jakarta menyoroti isu ruang kesenian lewat tema "Ruang sebagai Agensi: Jakarta, Kota Global, dan Negosiasi Budaya".
Editor: Andesta Herli Wijaya
Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Felencia Hutabarat, dalam sambutannya di Pidato Kebudayaan DKJ 2025, di Jakarta, Senin (10/11/2025) malam. (ANTARA/Sri Dewi Larasati)
JAKARTA - Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyoroti misi Jakarta untuk menjadi kota global dalam Pidato Kebudayaan 2025. Pidato tahun ini menilik isu ruang kesenian lewat tema "Ruang sebagai Agensi: Jakarta, Kota Global, dan Negosiasi Budaya."
Wakil Ketua 2 DKJ Felencia Hutabarat mengatakan, menjadi kota global berarti menjadi kota yang maju secara budaya, termasuk di dalamnya seni. Karena itu, salah satu syarat utama yang harus hadir yaitu ruang-ruang berkesenian bagi warga kota.
"Ketika kita bicara kota global, ruang-ruang warga untuk berkesenian, mengekspresikan diri, itu harus hadir. Kita berharap Jakarta menjadi kota global, tapi jangan lupa ada hal-hal yang harus ditanam terlebih dahulu sebelum kita memetik hasilnya," ungkap Falencia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (10/11), dilansir dari Antara.
DKJ mengadakan Pidato Kebudayaan sebagai bagian dari tradisi intelektual dan kultural dalam merespons dinamika sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia dengan pijakan di Jakarta. Dalam acara Pidato Kebudayaan DKJ 2025 yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Senin malam, sastrawan Afrizal Malna menyampaikan pidato bertajuk "Suara Bajaj dari Cikini."
Baca juga: Garin Nugroho Menyorot Urgensi Strategi Kebudayaan Era Media Baru
Dalam pidatonya, Afrizal menuturkan kenangan masa kecil tentang Jakarta dengan sarana transportasi seperti becak dan bajaj serta refleksinya tentang perubahan Jakarta yang kini ingin menjadi kota global. Dia menggarisbawahi tentang hal-hal yang perlahan hilang nyaris tanpa disadari oleh banyak orang, misalnya bajaj yang sedikit banyaknya turut membentuk wajah kota sejak lama.
"Kota global yang kapitalistik ya ada teknologi, kantor-kantor dagang yang bisa diakses internasional, ada festival internasional, seniman dunia yang hilir mudik. Sementara yang hilir mudik di sini bajaj, ternyata posisi bajaj pun sedang terancam di Jakarta," katanya.
Namun begitu, Afrizal menyadari ruang kota dinamis, terus bergerak membentuk wajah baru. Dari masa ke masa, era ke era, kota dan warganya terus bertransformasi membentuk identitas baru, menghidupi kota dengan visi yang terus diperbarui.
Maka itu, menurut penyair tersebut, kehadiran alias keterlibatan warga dalam membentuk ruang kota, itulah yang paling penting. Kota, katanya, harus tumbuh dengan suara dari masyarakatnya.
"Tapi begitulah, akhirnya kota global adalah satu pelacakan ulang pada bagaimana membentuk ruang kita. Jadi kayak pelacakan ulang terhadap itu. Forum ini jadi seperti itu, pelacakan bagaimana kita semua terlibat memberi suara," demikian Afrizal Malna.