c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

01 November 2025

13:32 WIB

Peripartum Cardiomyopathy, Ancaman Tersembunyi Ibu Melahirkan

Peripartum cardiomyopathy (PPCM) atau gagal jantung selama masa kehamilan atau dalam beberapa bulan setelah melahirkan menyumbang 4-14% angka kematian ibu di dunia.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p dir="ltr" id="isPasted"><em>Peripartum Cardiomyopathy</em>, Ancaman Tersembunyi Ibu Melahirkan</p>
<p dir="ltr" id="isPasted"><em>Peripartum Cardiomyopathy</em>, Ancaman Tersembunyi Ibu Melahirkan</p>

Ilustrasi anak lahir ke dunia, menandakan babak baru kehidupan pernikahan (Shutterstock).

JAKARTA - Peripartum cardiomyopathy (PPCM) merupakan salah satu bentuk gagal jantung langka yang terjadi pada perempuan selama masa kehamilan atau dalam beberapa bulan setelah melahirkan. Kondisi ini ditandai dengan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) di bawah 45 persen.

Menurut National Library of Medicine, secara global prevalensi PPCM diperkirakan mencapai 144 kasus per 100.000 kelahiran. Namun, angka ini sangat bervariasi antarwilayah.

Sementara itu, PPCM menyumbang sekitar 4% kematian ibu di negara maju dan hingga 14% di negara berkembang. Angka ini menegaskan betapa seriusnya kondisi ini terhadap keselamatan ibu, bahkan di kalangan perempuan yang sebelumnya sehat.

Meskipun tergolong jarang, PPCM bukanlah kondisi yang bisa disepelekan. Diagnosis umumnya dilakukan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab gagal jantung lain dan banyak kasus terdeteksi setelah pasien mengalami gejala berat.

Dampak jangka panjangnya pun cukup memprihatinkan. Berdasarkan laporan European Society of Cardiology (ESC), sebanyak 54% pasien PPCM tidak sepenuhnya pulih setelah enam bulan masa tindak lanjut, sementara 6% lainnya meninggal dunia dalam periode yang sama. Dengan kata lain, PPCM adalah penyakit yang jarang, tetapi memiliki konsekuensi besar bagi kehidupan perempuan dan keluarganya.

Tanda dan Penanganan Peripartum Cardiomyopathy (PPCM)

Melansir laman Everyday Health, tanda PPCM sering kali sulit dikenali karena mirip dengan gejala umum yang dialami ibu hamil. Namun, bila gejala tersebut muncul secara mendadak selama kehamilan atau setelah melahirkan, penting untuk segera memeriksakan diri ke dokter.

Gejalanya antara lain napas pendek terutama saat beraktivitas atau berbaring, mudah lelah, bengkak pada kaki dan pergelangan, nyeri dada, jantung berdebar atau terasa berdetak tidak teratur, batuk kering, serta pusing atau rasa melayang.

Penyakit ini terjadi ketika otot jantung mengalami kerusakan, seperti pada penyakit arteri koroner atau serangan jantung. Namun, PPCM tergolong idiopatik yang berarti penyebab pastinya belum diketahui.

Kondisi ini dapat menyerang perempuan yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit jantung, biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau dalam lima bulan setelah persalinan. Meski penyebabnya belum sepenuhnya jelas, beberapa faktor diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya PPCM.

Risiko lebih tinggi ditemukan pada perempuan dengan obesitas, peradangan otot jantung (myocarditis), tekanan darah tinggi saat hamil (preeclampsia), kekurangan nutrisi, konsumsi alkohol atau zat terlarang, serta mereka yang berusia di atas 30 tahun, atau mengandung bayi kembar. Meskipun penyakit ini bisa berkembang sebelum persalinan, sebagian besar kasus justru terjadi segera setelah melahirkan.

Jika Anda mengalami sesak napas saat istirahat, pembengkakan di kaki, nyeri dada, jantung berdebar, atau tekanan darah yang tiba-tiba turun saat berdiri, segera beri tahu dokter. Dokter akan menanyakan apakah Anda atau anggota keluarga pernah mengalami kardiomiopati, lalu melakukan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-tanda seperti detak jantung cepat, napas dangkal, serta pembengkakan pada kaki bagian bawah.

Setelah itu, dokter akan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain, seperti penyakit jantung, emboli paru (gumpalan darah di arteri paru-paru), atau peradangan otot jantung. Untuk menegakkan diagnosis, dokter biasanya melakukan serangkaian pemeriksaan seperti elektrokardiogram (EKG) untuk mengevaluasi aktivitas listrik jantung, tes darah untuk memeriksa fungsi ginjal, tiroid, dan kadar elektrolit, serta mengukur kadar brain natriuretic peptide (BNP).

Baca juga: Pentingnya Peran Keluarga Bagi Ibu Usai Melahirkan

Pemeriksaan seperti rontgen dada juga dapat dilakukan untuk melihat adanya penumpukan cairan di paru-paru, meski selama kehamilan dokter lebih sering menggunakan ultrasonografi paru untuk menghindari paparan radiasi. Dalam kasus tertentu, magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk melihat struktur jantung secara lebih rinci dengan bantuan zat pewarna kontras yang disuntikkan ke pembuluh darah.

Penanganan PPCM bertujuan meredakan gejala dan membantu jantung pulih. Sebagian besar pengobatan mengikuti prinsip terapi gagal jantung, namun dengan penyesuaian khusus bagi ibu hamil dan menyusui.

Dokter akan memastikan setiap obat yang diberikan aman bagi janin. Beberapa jenis obat yang umum digunakan meliputi beta-blocker untuk memperlambat detak jantung dan memberi waktu pemulihan bagi jantung, diuretik atau obat pengeluaran cairan untuk mengurangi tekanan darah dan mengurangi beban kerja jantung, serta antikoagulan untuk mencegah terbentuknya gumpalan darah.

Dalam beberapa kasus, dokter juga dapat memberikan bromocriptine atau obat untuk menekan hormon prolaktin yang diduga berperan dalam perkembangan PPCM. Meski demikian, penggunaan bromocriptine masih menjadi topik penelitian dan belum disepakati sepenuhnya oleh dunia medis.

Jika kondisi tidak membaik dengan obat-obatan, tindakan medis mungkin diperlukan. Salah satu opsinya adalah penggunaan wearable cardioverter defibrillator, alat seperti rompi yang dikenakan selama 3-6 bulan setelah melahirkan. Alat ini memantau detak jantung dan memberikan kejutan listrik bila irama jantung menjadi tidak normal.

Baca juga: Cara Adaptasi Jadi Ibu Baru Di 40 Hari Pertama

Bila kondisi tidak membaik setelah penggunaan alat tersebut, dokter dapat merekomendasikan pemasangan implantable defibrillator permanen di bawah kulit dekat bahu kiri untuk menstabilkan irama jantung.

Pada kasus yang lebih berat, ketika fungsi pompa jantung sangat menurun dan tidak merespons terapi standar, transplantasi jantung bisa menjadi pilihan terakhir. Selama menunggu donor jantung, pasien dapat menggunakan left ventricular assist device (LVAD) atau pompa mekanis yang membantu ventrikel kiri memompa darah ke seluruh tubuh.

Peripartum cardiomyopathy memang tergolong langka, namun dampaknya bisa mengancam nyawa. Deteksi dini, pemantauan intensif, serta penanganan medis yang tepat dapat membantu ibu pulih dan mencegah komplikasi serius, sekaligus melindungi kehidupan ibu dan bayinya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar