03 November 2025
20:52 WIB
Pentingnya Storytelling Dalam Pelestarian Kuliner Nusantara
Storytelling bukan sekadar bicara soal rasa makanan, tapi juga tentang konteks yang lebih kompleks seperti sejarah, budaya hingga manusia atau komunitas yang merawat warisan cita rasa.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi rendang daging. Sumber: Envato/Dok.
JAKARTA - Dalam sepiring sajian nasi padang rendang, bukan hanya ada potongan daging sapi dengan bumbu santan pekat, gulai nangka, daun singkong dan sambal hijau. Lebih dari itu, sepiring sajian khas daerah Minang itu juga menghadirkan kisah panjang mengenai sebuah budaya, bagaimana kuliner itu diciptakan dan memiliki makna mendalam bagi komunitas.
Cerita-cerita di balik itu tak kalah penting dari rasa makanan itu sendiri. Sebab sepotong rendang tentu tidak datang secara tiba-tiba menjadi sajian kuliner yang kini dianggap sebagai salah satu yang terlezat di dunia.
Dalam prosesnya, ada cerita-cerita yang melatarbelakangi. Jika tahu akan proses itu, maka makanan itu tak lagi sekadar hidangan lezat, tapi juga terasa istimewa sebagai sebuah cerita. Dari situlah, penghormatan atas warisan cita rasa tumbuh.
"Ketika kita tahu cerita di balik setiap hidangan. Siapa yang menanam (bahannya), siapa yang menumis, bagaimana prosesnya, kita akan lebih menghargai makanan itu. Dan dari situlah, pelestarian kuliner Indonesia dimulai," kata peneliti, penulis , sekaligus pencerita kuliner Reno Andam Suri saat ditemui di IdeaFest 2025, beberapa waktu lalu.
Reno berbicara dalam konteks pelestarian. Menurutnya, untuk melestarikan sebuah kuliner nusantara seperti rendang, mewariskan catatan menu saja tidaklah cukup. Perlu ada narasi, orang yang menceritakan setiap kekayaan kuliner yang dimiliki masyarakat Indonesia, termasuk di antaranya warisan kuliner Sumatra Barat yang kaya.
Menurut Reno, aspek inilah yang selama ini masih kerap terabaikan dalam percakapan seputar pelestarian kuliner, sebagai bagian dari warisan budaya. Padahal ini aspek yang krusial, karena cerita-lah yang membuat sesuatu hal menjadi bermakna dan relevan.
Secara psikologis, kata Reno, kalau masyarakat terbiasa dengan sesuatu, mereka kan menganggap hal itu jadi biasa saja. Dalam konteks ini, jika masyarakat merasa rendang adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, mereka pun merasa tak perlu untuk menceritakannya. Padahal, dunia jelas-jelas mengakui level cita rasa rendang.
Storytelling, kata Uni Reno, bukan sekadar bicara soal rasa, tapi juga tentang konteks yang lebih kompleks, seperti sejarah, budaya, orang-orang di baliknya. Untuk bisa menceritakan itu, seseorang memang perlu untuk belajar dari sumber literasi yang ada, dari cerita sejarah, atau bahkan bertemu langsung dengan pelaku kuliner agar ceritanya lengkap.
Namun dalam skala kecil, Reno juga mengatakan bahwa setiap orang bisa memulai sebagai pencerita kuliner dengan "merekam" apapun yang dilihat, dicecap atau yang dirasakan.
Menurutnya, menceritakan kuliner Indonesia tidak harus rumit. Misalnya saat makan di sebuah restoran atau pusat kuliner lokal, bisa dengan memotret dan memposting foto tersebut di media sosial. Jangan lupa tambahkan sedikit narasi, misal tentang siapa yang membuatnya, dari mana asalnya, kapan biasanya dimakan.
Reno menyebut cara itu sebagai pendekatan zoom in dan zoom out. Kedua pendekatan ini bisa digunakan saat mengunggah foto atau video di media sosial, yaitu membubuhkan informasi yang bisa dengan mudah dipahami.
Zoom in berarti menceritakan apapun yang dilihat dari sajian kuliner secara detail. Narasi itu mencakup elemen warna, bentuk, dan juga aroma. Sementara zoom out adalah menceritakan konteks, melingkupi tempat dan suasana di mana sajian itu dijual, siapa saja yang menyantapnya dan jika bisa juga mengenai siapa yang menjualnya.
"Gunakan panca indra untuk menggambarkan pengalaman itu. Dengan begitu, siapa pun bisa menjadi storyteller," terangnya.
Baca juga: Rendang, Kari India, dan Rendang Malaysia
Pentingnya Storytelling
Culinary storyteller, Reno Andam Suri. Validnews/Arief Tirtana.
Reno dikenal sebagai penulis buku Rendang: Minang Legacy to the World, pemenang penghargaan Best of the Best 25 Gourmand Awards pada tahun 2021.Dia menilai, saat ini ada banyak konten kuliner di media sosial, namun hanya sedikit yang memiliki muatan cerita.
Padahal menurutnya, jika dibubuhkan elemen cerita, misalnya sembari menunjukan proses masak atau bagaimana relevansi kuliner dengan komunitas masyarakatnya, maka itu akan lebih menarik bagi audiens.
Sebagai contoh Rendang misalnya, bukan sekadar makanan, tapi merupakan proses memasak menihilkan air. Ada tiga tahap dalam prosesnya, mulai dari gulai, kalio, lalu rendang. Karena itu, bahan apa pun bisa direndang, mulai dari ayam, kerang, belut. Dan itu mengandung filosofi di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, atau masakan menyesuaikan lingkungan.
Selain itu, sajian rendang yang dimasak lama hingga kering juga diyakini berakar dari budaya merantau masyarakat Minang. Karena harus bepergian jauh, rendang dimasak hingga kering agar awet. Dari situ muncul bentuk rendang seperti yang kita kenal sekarang.
Orang Minang juga mengenal filosofi tigo tungku sajorangan (tiga batu tungku). Artinya, keseimbangan, kesabaran, dan pemahaman bahan adalah kunci. Jika salah satu goyah, masakan akan gagal.
"Sayangnya, banyak pengetahuan tradisional yang tidak tertulis. Resep nenek tidak diwariskan ke ibu yang sibuk bekerja, dan akhirnya hilang di generasi ketiga. Karena itu, tugas kita adalah mencatat, menyimpan, dan menceritakannya. Meski hanya dalam lingkup keluarga. Itu pun sudah bagian dari pelestarian kuliner," jelasnya.
Namun dalam lingkup media sosial, Reno juga berpesan agar seorang storyteller harus bertanggung jawab. Cerita harus akurat agar tidak menimbulkan disinformasi. Sumber harus disebutkan, misalnya, "Resep ini dari Ibu A di desa B.” Bila perlu, lakukan pengecekan silang dengan buku atau sumber lain.