27 Oktober 2025
12:14 WIB
Pengaruh Batik Terhadap Kain Jepang Tradisional
Batik Nusantara punya pengaruh terhadap proses pembuatan dan motif kain-kain Jepang.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
Kimono asli Jepang dari Museum Nasional Tokyo dalam Pameran "Jalinan Waktu: Pewarnaan dan Tenunan Wastra Indonesia dan Jepang", di Museum Nasional: Foto: Validnews/ Arief Tirtana.
JAKARTA - Sekitar abad ke-18, batik nusantara yang identik dengan pola khas pesisir Jawa bagian selatan, masuk ke pasar Jepang. Bukan hanya itu, kepopuleran batik di Jepang pada akhirnya turut memengaruhi teknik pembuatan kain di sana.
Dalam buku Zoho Kafu Benran (Panduan Kain Hias) yang terbit pada tahun 1781; dan Sarasa Zufu (Gambar Motif Kain Sarasa), terbitan tahun 1785, menceritakan, di masa masa-masa itu ada kapal muatan yang dikirim ke Jepang, dan salah satu muatan dalam jumlah besar adalah kain batik.
Buku tersebut mendeskripsikan kaarkteristik batik-batik yang dikirim pada masa itu, yakni memiliki warna dasar indigo. Deskripsi tersebut menggambarkan karakteristik batik di pesisir selatan Pulau Jawa, mirip dengan batik Solo. Kedua buku inilah yang menjadi bukti kalau batik sudah masuk ke Jepang sejak abad ke-18. Sejak saat itu, semakin banyak ekspor batik dari nusantara ke Jepang.
Pengaruh Batin Ke Yūzen
Bukan pengaruh pada motif, kepopuleran batik nusantara di Jepang sampai memengaruhi teknik pembuatan kain di sana. Sebenarnya Jepang telah memiliki teknik pewarnaan kain menggunakan lilin pada eran Nara (710-794), namun teknik tersebut tidak berkembang dan tak banyak digunakan.
Seiring berjalannya waktu, mereka mengembangkan teknik serupa yang disebut dengan Yūzen. Secara teknik, Yūzen ini sangat mirip dengan pembuatan batik, bedanya, Yūzen tidak menggunakan lilin untuk membuat pola, melainkan menggunakan lem (berbentuk lembaran) yang terbuat dari pasta beras.
Batik Jawa memiliki ciri berupa corak halus yang digambar dengan lilin, lalu dicelupkan berkali-kali ke dalam pewarna untuk mendapatkan beragam warna. Sedangkan pewarnaan Yūzen dari Jepang menggambar garis luar dengan lem dari pasta beras itu, dan menampilkan corak beragam warna dengan menyelipkan warna secara halus menggunakan sikat atau kuas.
"Walaupun alatnya berbeda, tekniknya sangat mirip," kata Kurator sekaligus Kepala Bagian Penelitian Museum Nasional Tokyo, Yuzuruha Oyama, di pameran "Jalinan Waktu: Pewarnaan dan Tenunan Wastra Indonesia dan Jepang" di Museum Nasional.
Cerita mengenai pengaruh wastra Indonesia terhadap Jepang bisa ditemukan di pameran "Jalinan Waktu: Pewarnaan dan Tenunan Wastra Indonesia dan Jepang". Bukan hanya teknik, tapi juga motifnya. Setidaknya bisa tergambar dari deretan kimono asli Jepang dari Museum Nasional Tokyo yang dihadirkan di pameran tersebut.
Selain kain Jepang, dipamerkan juga batik buatan Indonesia yang menjadi koleksi Museum Nasional Tokyo. Koleksi tersebut merupakan milik warga Jepang bernama Okano Shigezô, yang pernah tinggal di Indonesia pada awal tahun 1900-an.
Okano awalnya melakukan perjalanan sendirian ke Padang, Pulau Sumatra pada Juli 1914 untuk bekerja di perkebunan Karet. Namun setibanya di Padang, ia justru menjadi karyawan perusahaan Taiyö Shokai, sampai kemudian dipromosikan menjadi manajer pada tahun 1917.
Tahun 1919, Okano Shigezô mulai merintis usaha dengan mendirikan perusahaan dagang Daishin Yoko. Pada tahun 1933, ia membuka toko serba ada bernama Toko Chiyoda di Surabaya dan Bandung, yang kemudian berkembang ke Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Bisnisnya itu menjadikan Okano sangat sukses sebagai pengusaha. Kesuksesannya itu juga membuat ia yang memiliki ketertarikan dengan Batik, mengoleksi berbagai jenis batik buatan Indonesia, dan menyimpannya hingga ia kembali ke Jepang pada tahun 1941, seiring pecahnya Perang Pasifik.
Di Jepang, Okano Shigezô kemudian terjun ke politik dan sempat menjadi anggota parlemen.