c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

16 Juni 2022

20:12 WIB

Pegawai Honorer dan Bayang-Bayang Outsourcing Nakal

Eliminasi tenaga honorer dinilai jadi solusi upah tak layak di instansi pemerintah. Adanya outsourcing nakal menjadi momok buat honorer tak lulus ASN.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Pegawai Honorer dan Bayang-Bayang <i>Outsourcing</i> Nakal
Pegawai Honorer dan Bayang-Bayang <i>Outsourcing</i> Nakal
Ilustrasi tes CPNS. ANTARAFOTO/Raisan Al Farisi

JAKARTA – Surat Edaran Menteri PANRB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 menegaskan bahwa status kepegawaian di lingkungan pemerintahan hanya terdiri dari dua jenis, yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Surat sama menegaskan, per November 2023, tak ada lagi tenaga honorer di instansi-instansi pemerintah.

Pada saat bersamaan, pemerintah menyebut masih membuka skema outsourcing atau penggunaan tenaga alih daya untuk mengisi posisi-posisi penunjang yang dibutuhkan. Dalam hal ini, secara spesifik merujuk pada tenaga-tenaga di bidang pengamanan, sopir serta tenaga kebersihan yang notabennya bukan tenaga inti di lingkungan instansi.

Rencana penghapusan tenaga honorer menimbulkan polemik dan kegundahan bagi banyak pihak. 

Aturan baru ini bisa menyebabkan ratusan ribu tenaga honorer berpotensi menganggur. Tentu semuanya belum tentu bisa terserap sebagai ASN atau PPPK di hingga tahun mendatang.

Di sisi lain, skema penggunaan tenaga outsourcing di instansi pemerintah membuka spekulasi baru. Para pegawai honorer yang tak lolos seleksi, mau tidak mau harus bekerja di bawah skema itu. Pertanyaannya, siapa mau jadi pekerja alih daya?

Sejauh ini pemerintah belum membentangkan desain rigid perihal penyelesaian persoalan tenaga honorer, baik di pusat maupun daerah. 

Para pegawai honorer yang ada saat ini, menurut SE Menpan RB, diarahkan untuk mengikuti seleksi PPPK atau PNS. Namun, tak disebutkan bagaimana nasib mereka jika tak lolos seleksi, adakah skema lainnya yang menanti?

Pengamat ketenagakerjaan, Timboel Siregar memandang, peraturan baru dari Menteri PANRB adalah bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Namun, dia mengusulkan agar pemerintah benar-benar bisa menyelesaikan persoalan tenaga honorer di Indonesia, dengan mengalihkan mereka menjadi ASN atau PPPK.

Terkait adanya skema outsourcing, Timboel menilai hal itu tidak tepat bila diterapkan di instansi pemerintahan. Apalagi jika itu menyasar para honorer yang notabennya melaksanakan tugas-tugas inti, seperti tenaga pendidikan, kesehatan hingga tenaga administrasi yang berurusan langsung dengan pelayanan publik.

"Pemerintah harus bisa memastikan bahwa para tenaga honorer ini memang naik menjadi PPPK. Sehingga dia tetap, secara psikologis, merasa dalam satu kantor itu ada kepastian, bahwa mereka berkontrak dengan pemerintah,” kata Timboel berbincang dengan Validnews, Senin (13/6).

Dia mengamini, sebenarnya penggunaan tenaga outsourcing sudah lama dijalankan oleh instansi atau lembaga-lembaga pemerintah. Umumnya itu dikenakan untuk pekerjaan-pekerjaan di bidang penunjang seperti security, cleaning service, serta sopir.

Menurutnya, pekerjaan-pekerjaan kategori itu masih tepat untuk dilimpahkan ke mitra outsourcing. Alasannya jelas, karena tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik, juga tidak bersentuhan langsung dengan data-data milik negara.

Namun jika pemerintah juga menggunakan tenaga outsourcing untuk mengisi tugas-tugas inti seperti administrasi atau pelayanan publik lainnya, dikhawatirkan akan timbul masalah.

"Honorer atau PPPK ini kan mereka selama ini satu kesatuan dengan PNS. Tetapi kalau misalnya outsourcing, ini secara psikologis berbeda," ucap koordinator BPJS Watch ini.

Isu Kesejahteraan Pegawai
Pemerintah menyebut penghapusan tenaga honorer demi kepastian nasib para tenaga honorer itu sendiri. Mereka didorong untuk beralih status menjadi PPPK dan akan mendapat upah yang layak. Upah ini jauh dari horor gaji rendah honorer selama ini.

Namun buat honorer yang tak lulus seleksi PPPK, tak mendapat kepastian nasib. Jika tetap ingin mengabdi, ada jalur lain terbuka, yaitu outsourcing.

Skema itu menurut pemerintah adalah skema yang masuk akal dan akan mampu memberi kesejahteraan kepada para pegawai. Jika merujuk perundangan, pekerja outsourcing wajib pasti menerima upah yang layak standar UMR.

Menteri PANRB Tjahjo Kumolo mengatakan, aturan baru itu justru akan memberikan kepastian status kepada pegawai non-ASN untuk menjadi ASN. Pun, jika para pegawai itu menjadi tenaga outsourcing di perusahaan, sistem pengupahan juga tunduk pada peraturan perundang-undangan.

"Kalau statusnya honorer, tidak jelas standar pengupahan yang mereka peroleh," terang Tjahjo, dikutip dari laman resmi menpan.go.id.

Praktiknya, dunia outsourcing tidak sesederhana itu. Selama ini realita pekerja-pekerja outsourcing di Indonesia sejatinya tak selalu baik. Bahkan seringkali bernasib “nahas”. 

Selama ini ada banyak persoalan mengemuka di perusahaan outsourcing berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja. Pemotongan benefit yang “gila-gilaan” hingga masalah jaminan kerja yang minim, kerap bahkan jadi pemberitaan.

Apakah benar pegawai pemerintah yang bekerja di bawah perusahaan pihak ketiga akan lebih sejahtera nantinya?

Guna memperoleh secukil gambaran soal ini, Validnews mewawancarai sejumlah pekerja yang memiliki pengalaman bekerja di perusahaan outsourcing.

Salah satunya, Rina (nama disamarkan), salah seorang pekerja swasta di Jakarta. Perempuan berusia 29 tahun ini punya pengalaman bekerja di dua perusahaan alih daya berbeda. Dia bercerita, pengalamannya di perusahaan pertama (2021-2022 awal), adalah pengalaman yang buruk. Dia merasa perusahaan yang memperjakannya cenderung sangat memeras pekerjanya.

Rina memegang posisi sebagai project manager, karena masuk dengan pengalaman kerja yang sudah cukup panjang (7-8 tahun). Dia ditempatkan di perusahaan mitra yang bergerak di bidang jasa keuangan.

Dengan posisi yang cukup mumpuni, Rina hanya menerima gaji tidak lebih dari Rp10 juta dari perusahaan yang menaunginya. Padahal, setahunya, perusahaan mitra menganggarkan gaji Rp35 juta setiap bulannya untuk posisi yang diembannya tersebut.

"Saya yang kerja jungkir balik, pulang malam, lembur, tapi saya cuma terima 25%, perusahaan saya yang terima 75%," cerita Rina.

Rina tak memungkiri bahwa masih ada sisi-sisi manusiawi pada perusahaan outsourcing, seperti dipenuhinya jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, hingga adanya kontrak kerja berjangka yang jelas. 

Namun menurutnya, banyak hal-hal krusial yang tak diakomodasi oleh perusahaan alih daya. Di antaranya tidak adanya jenjang karier, kultur perusahaan yang tidak transparan hingga minimnya penghargaan perusahaan kepada pekerja. Belum lagi adanya diskriminasi yang kadangkala dialami pekerja di perusahaan mitranya.

"Kalau kita dari outsourcing, itu kita kayak karyawan kelas dua. Misalnya ada lembur, nanti yang dapat makanan cuman yang karyawannya klien saja. Yang paling kelihatan sih misalnya ini, OB, dia enggak bakalan mau disuruh atau dimintain tolong sama yang dari outsourcing,” tutur Rina ketus.

Kini, dia kini bekerja di sebuah perusahaan alih daya berskala internasional, yang menurutnya, masih lebih layak dan lebih manusiawi dibandingkan perusahaan sebelumnya.

Gambaran yang hampir sama juga dialami oleh Dino (bukan nama sebenarnya). Seorang pekerja berusia 26 tahun yang pernah bekerja selama dua tahun lebih di salah satu perusahaan outsourcing di Ibu Kota. 

Dino adalah seorang fresh graduated alias baru pertama kali bekerja ketika mendapat tawaran pelatihan dari perusahaan outsourcing. 

Pelatihan yang semula dijanjikan 3 bulan, nyatanya berjalan hanya satu bulan dan Dino pun langsung dikirim ke perusahaan mitra. Kemudian, selama bekerja menjalani ikatan kontrak, banyak hal-hal yang menurutnya mengecewakan. Mulai dari gaji yang dipotong untuk biaya berbagai keperluan karyawan yang sejatinya harus ditanggung perusahaan, hingga soal mandeknya karier serta benefit yang didapatkan.

"Hal-hal enggak enaknya, tentu selama kita menjalani ikatan dinas banyak rambu-rambu, kena potong sana-sini, banyak perbedaan juga kita dengan mereka yang karyawan asli," ungkap Dino yang bertugas di bagian pengembang program di perusahaannya.

Soal pemotongan gaji pokok oleh perusahaan, Dino agaknya lebih beruntung dibandingkan Rina. Menurut perhitungan Dino, gajinya dipotong sekitar 20-25% oleh perusahaan, sisanya itulah yang diterimanya setiap bulan.  

Setelah masuk langsung ke perusahaan outsourcing, Dino mengaku jera. Kini dia mencari pekerjaan lain di perusahaan pemberi kerja, langsung.

Daya Tawar Pekerja
Pengalaman Rina dan Dino di atas diamini Timboel Siregar. Dia menyebutkan, perusahaan-perusahaan outsourcing di Indonesia saat ini masih banyak yang “bandel”, mengabaikan pemenuhan hak-hak pekerja. Namun, dia juga tidak memungkiri ada lebih banyak perusahaan sejenis yang sangat patuh regulasi.

Hal itu menjadi alasannya menolak skema outsourcing tak diterapkan di instansi pemerintah untuk pekerjaan pelayan publik dan bidang tertentu lainnya. Instansi pemerintah haruslah didukung dengan sumber daya yang mumpuni, dan memiliki kepedulian atau loyalitas yang tinggi terhadap kerja-kerja pelayanan publik.

Untuk itu, para pekerja haruslah memiliki keterikatan secara langsung dengan pemerintah, alih-alih memakai perantara pihak ketiga.

Timboel menganalisa, berbagai persoalan pada perusahaan outsourcing , pada akhirnya merugikan pekerja. Ada sejumlah faktor penyebab. Mulai dari pengawasan yang minim, suplai & demand yang memang tak seimbang, maupun penegakan aturan yang masih belum bisa berjalan baik untuk menangani setiap pelanggaran perusahaan.

Kondisi itu pada akhirnya membuat para pekerja outsourcing tak mendapatkan perlindungan optimal dari negara. Posisi tawar mereka menjadi rendah di hadapan perusahaan. Kondisi ini lebih banyak ditanggung oleh pekerja dari kalangan pendidikan rendah.

Hal itu pula yang disorot pengamat ketenagakerjaan, Payaman Simanjuntak. Karena itu, dia menekankan pentingnya para pekerja untuk terus mengembangkan kompetensinya, agar semakin berkembang dan semakin kuat dalam “tawar-menawar” dengan perusahaan.

Namun, soal kehadiran perusahaan-perusahaan outsourcing, Payaman menilainya sebagai suatu keniscayaan. 

Dengan menguatnya kultur pelayanan digital, akan semakin banyak perusahaan outsourcing bermunculan yang bergerak di bidang IT. 

Dia menilai salah satu siasat agar tak terjebak alih daya yang ‘nakal’, adalah dengan menambang skill dan pengetahuan. Kedua bekal itu bisa menjadi penguat daya tawar pekerja terhadap perusahaan. 

“Misalnya, pekerja cleaning service dapat menambah skill-nya dan menjadi tukang reparasi toilet atau tukang pipa. Atau demikian pula security dapat menjadi ahli CCTV, pengawas keamanan bangunan atau perusahaan, dan lain-lain,” seloroh Payaman.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar