c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

KULTURA

04 Juni 2022

18:00 WIB

Pandemi Jadi Pelajaran Untuk Menatap Masa Depan

Pengalaman menjalani berbagai macam pembatasan, bisa dijadikan pelajaran untuk bersiap menghadapi segala macam potensi wabah yang mungkin terjadi

Penulis: Gema Bayu Samudra, Gemma Fitri Purbaya,

Editor: Rendi Widodo

Pandemi Jadi Pelajaran Untuk Menatap Masa Depan
Pandemi Jadi Pelajaran Untuk Menatap Masa Depan
Ilustrasi perempuan menggunakan masker di transportasi umum. Dok Envato

JAKARTA – Pandemi yang menghantam dunia, lebih dari dua tahun belakangan ini menjadi cobaan berat bagi semua negara, tak terkecuali Indonesia. Di tanah air hampir tak ada satupun aspek kehidupan yang luput dari dampak covid-19. Selain nyawa yang melayang, covid-19 menjadi tsunami buat ekonomi dan kehidupan sosial.

Dimulai dari Desember tahun 2019, virus corona (SARS-Cov-2) kali pertama ditemukan di Wuhan, China. Kemudian, ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO (World Health Organization) pada tanggal 9 Maret 2020.

Dunia terkejut dan cenderung keteteran menghalau cepat dan masifnya persebaran virus ini. Utak-atik strategi pun dilakukan untuk meramu protokol kesehatan (prokes) yang tepat untuk diterapkan. Maklum, warga dunia, termasuk Indonesia, tak punya pengalaman semacam ini sebelumnya. 

Berbagai pandangan pada prokes mengemuka. Umumnya terangkum dalam dua kubu. Pertama kubu yang taat prokes dan menjadikan cara hidup sehat sebagai gaya hidup. Kedua, kubu yang lebih cuek dan berpandangan prokes sebagai bentuk belenggu dan kapitalisasi bisnis kesehatan dunia.

Terpaksa Bermasker
Prokes yang untuk sebagian orang menjadi sesuatu yang tak perlu pun melahirkan orang-orang seperti pria berinisial AA (25 tahun). Pria yang berprofesi sebagai satpam di sebuah mal di Kota Depok ini, menganggap covid-19 sebagai penyakit yang dilebih-lebihkan.

“Gua cuek ya, kaya bodo amatan gitu, corona tuh kaya penyakit yang dilebih-lebihkan saja,” tuturnya kepada Validnews, Rabu (1/6). 

Pendapatnya pun dikuatkan oleh pengalaman pribadinya, di mana sepanjang pandemi tak ada satupun teman-temannya yang meninggal dunia karena covid-19.

“Karena gua udah nanyain ke temen-temen yang pada positif, cuman besok-besoknya enggak terjadi apa-apa ya, enggak meninggal. Kalaupun ada yang meninggal, itu karena penyakit bawaannya saja, tapi disangkanya covid,” imbuhnya.

Walau punya keyakinan kuat, namun dia tidak bisa mengelak, dia adalah seorang Satpam yang harus tunduk pada aturan perusahaannya bekerja. Mau tak mau, dia pun harus secara taat menggunakan masker (selama bekerja) dan mendapat vaksin yang sudah disediakan oleh pemerintah.

“Iyalah terpaksa gua dari pekerjaan disuruh vaksin, kalo enggak divaksin bisa-bisa bakal dipecat gitu karena enggak taat sama aturan,” tambah AA.

Tidak hanya aturan perusahaan yang membelenggu dirinya, aturan pemerintah lainnya pun dirasakan sama buatnya. Untuk transportasi kerja, dia menggunakan KRL (kereta rel listrik) yang mengharuskannya mengenakan masker.

“Terpaksa sih untuk pakai masker di kereta, dulu kan sebelum pandemi kaya biasa-biasa aja, enggak pakai masker. Terus sekarang pakai masker kaya repot saja gitu. Kita mau pergi naik kereta nih, jadi harus pergi dulu beli masker, repot lagi jadinya,” tegasnya.

Bagi AA yang percaya dengan pandemi hanya sesuatu yang berlebihan, gaya hidupnya sebelum pandemi justru terasa lebih memudahkan. New normal buatnya, tetaplah sesuatu yang tidak normal. 

Kebiasaan Baru
Lain cerita dengan Latifatul Hasanah (25 tahun). Wanita yang bekerja di divisi legal di sebuah perusahaan di Jakarta ini, justru merasa khawatir dengan wabah covid-19 sejak awal persebarannya di Indonesia. 

Rasa khawatirnya bahkan berubah menjadi rasa takut, ketika dirinya divonis terpapar covid-19. Apalagi, ia mendengar banyak cerita duka dari temannya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.

“Informasi beberapa teman yang kerja di rumah sakit, ada banyak korban juga, terus kebetulan juga di 2021 pernah kena juga, keluarga juga kena. Jadi menambah keyakinan bahwa covid itu emang bahaya dan ada,” kata Latifatul, Rabu (1/6).

Dia menambahkan, dari kejadian tersebut, kedisiplinannya pada prokes pun meningkat drastis. Apalagi menurutnya, profesi di divisi legal di perusahaan swasta punya mobilitas yang tinggi. 

Latifatul pun mengakui, prokes sslama pandemi seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak di ruang publik menjadi gaya hidupnya kini.

“Kalau sekarang karena sudah dibiasakan pakai masker, kerja di kantor pun ngelepas masker tuh kaya rada-rada kagok, karena sudah kayak jadi gaya hidup juga, ya,” ujarnya.

Selain penggunaan masker yang telah menjadi gaya hidup dalam aktivitas kerjanya, dia juga menyadari penggunaan masker juga bisa menangkal penyakit lainnya.

“Sebetulnya pakai masker bukan cuman takut covid, entah itu ada penyakit lain atau apa gitu,” pungkasnya.

Jauh berbeda dengan AA, Latifatul yang hidup di bawah kesadaran penuh bahaya akan Covid-19, menjadikan prokes gaya hidup yang mungkin akan dipraktikkan seumur hidupnya.

Gaya Hidup Sehat
Penggunaan masker sejauh ini memang dianggap jadi jurus efektif mencegah penularan covid-19. Setidaknya, hal ini disampaikan oleh Dicky Budiman seorang Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia.

Menurut Dicky, saat ini pandemi belum benar-benar punah sepenuhnya atau berhenti. Apalagi, selain covid-19, ancaman-ancaman penyakit lainnya masih sangat berpotensi menyebar di tengah masyarakat.

Seperti Monkeypox (cacar monyet), hepatitis akut yang masih belum jelas penyebabnya, polio yang mulai menyebar di berbagai negara, campak dan TB (tuberkulosis). Dari semua penyakit itu hal yang perlu disadari, potensi penyebarannya melalui berbagai cara seperti aerosol, droplets, hingga bersentuhan skin to skin

Dicky menjelaskan, gaya hidup sehat yang telah dibangun selama pandemi ini, mulai dari mencuci tangan, memakai masker dan menjauhi kerumunan, sudah selayaknya tidak hilang begitu saja. 

Malah kebiasaan baik ini masih relevan diterapkan, untuk mencegah atau menangkal penyakit lainnya pada masa mendatang.

Menurutnya, kelonggaran untuk membuka masker bisa dilakukan, tapi dengan berbagai syarat yang ketat.

“Pasti harapan besar dari masyarakat adalah buka masker. Nah, apakah itu bisa, ya, tentu bisa. Tapi harus ingat, dalam hal ini pemerintah di setiap level harus membangun kemampuan literasi, sehingga masyarakat memilikikemampuan secara mandiri untuk melakukan penilaian risiko, kapan, di mana, dengan siapa dia buka masker,” jelas Dicky, Selasa (31/5).

Masih dalam kaitan yang sama, lanjutnya, perlu ada tiga proteksi mulai dari proteksi diri, proteksi keluarga dan proteksi masyarakat. Ketiga proteksi ini menjawab kapan, di mana dan dengan siapa seseorang bisa membuka masker. 

Proteksi diri sendiri, memiliki arti seseorang sudah melakukan vaksin dengan penuh. Kemudian, bisa melihat juga apakah diri kita sebagai orang yang memiliki risiko tinggi, punya komorbid, atau ada masalah tentang sistem imunnya. Kalau diri kita termasuk dalam salah satunya, kata Dicky, maka harus tetap memakai masker.

Dalam lingkup proteksi keluarga, menurutnya seseorang harus juga melihat kondisi orang-orang di sekitar, apakah memiliki risiko yang telah disebutkan di atas. Cakupannya yang lebih luas lagi yaitu proteksi masyarakat atau komunitas, harus melihat apakah vaksinasi di daerah tersebut telah terpenuhi atau juga melihat apakah sirkulasi udara baik apa tidak.

Apapun itu, Dicky tetap berpandangan, lebih baik masyarakat tetap memakai masker, mengingat status pandemi covid-19 yang belum dicabut.

“Dalam kasus ini, ini masih dalam level pandemi ya, sebaiknya tetap memakai masker. Karena risiko yang rendah dengan level transmisi yang rendah, tidaklah berarti tidak ada risiko infeksi. Kalaupun terkena kita menghindari untuk sakit lebih parah,” ucapnya. 

Bekal Penting
Selain soal gaya hidup bermasker, ia berpandangan, menjalani gaya hidup sehat lainnya juga tak kalah penting dijalankan. Misalnya, tetap menjaga perilaku hidup bersih, mengonsumsi makanan dan minuman sehat dan personal hygiene lainnya. 

“Perilaku hidup bersih, sehat dijalankan dengan lebih meningkatkan semua aspek level standar kesehatan, baik dalam kaitan kehidupan sehari-hari, konsumsi makanan dan minuman. Termasuk personal hygiene,” imbuhnya

Dicky mengingatkan, Indonesia merupakan wilayah potensial untuk memunculkan penyakit-penyakit baru. Pasalnya, beberapa faktor seperti faktor lingkungan turut memengaruhi, seperti kualitas udara, sanitasi lingkungan dan tipisnya jarak antara kehidupan hewan liar dengan permukiman manusia.

Untuk faktor terakhir, sewaktu-waktu bisa saja terjadi lompatan virus dari hewan ke manusia. Dia berpendapat, untuk mencegah hal buruk tersebut, harus adanya strategi dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Menurut Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono, pandemi memang mengajarkan, sistem kesehatan harus segera dibenahi. Terutama untuk mendeteksi penyakit lebih awal pada tingkatan daerah atau tingkat Kabupaten.

“Jadi yang harus ditingkatkan kalau kita mengacu pada Global Health security Agenda (GHSA) itu fungsi deteksi wabah kita harus ada pada setiap kabupaten. Juga harus bisa memeriksa banyak penyakit begitu, standarnya begitu,” papar Tri, saat dihubungi Validnews, Jumat (3/6).

Dia mewanti, pandemi merupakan penyakit yang melalui beberapa proses. Penyebaran awal yang mulai dari tingkat daerah (endemi), hingga pada lingkup yang lebih luas lagi penyebarannya (epidemi). Maka dari itu, deteksi awal bisa menangkal wabah yang akan terjadi.  

“Harus punya alat untuk memeriksa beberapa penyakit. Kemudian fungsi respons yang kurang, ini sudah ada tapi kemudian timnya tidak berjalan dengan baik begitu, jadi harus ada pedoman yang baik untuk menangkal wabah,” jelasnya. 

Sebagai catatan penting, kesiapan kita menghadapi wabah di masa mendatang, sangat bergantung seperti apa kita mengambil pelajaran dan mengadopsi cara-cara efektif dalam menangkalnya. 

Di satu sisi, kita mungkin adalah masyarakat yang 'gampang lupa' terhadap satu persoalan. Namun masak iya, kita tak bisa mengambil pelajaran dari pandemi berkepanjangan selama ini. Ingatan kolektif dan literasi yang sama baik antarmasyarakat, sudah selayaknya jadi senjata dalam menghadapi wabah apapun ke depan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER