c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

KULTURA

22 Juni 2021

21:00 WIB

Pajak Sembako; Dilema Cita-cita Sejahtera

Banyak objek lain yang bisa disasar guna memberikan pemasukan bagi negara

Penulis: Dwi Herlambang, Chatelia Noer Cholby,

Editor: Yanurisa Ananta

Pajak Sembako; Dilema Cita-cita Sejahtera
Pajak Sembako; Dilema Cita-cita Sejahtera
Penjual menunggu pembeli di Pasar Sentral Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (12/ 6/2021). ANTARAFOTO/Abriawan Abhe

JAKARTA – Kabar akan dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang-barang kebutuhan pokok (sembako) membuat Siti (31) masygul. Ibu satu anak itu tidak bisa membayangkan bagaimana keluarganya akan bertahan di tengah situasi serba sulit seperti sekarang. Di benaknya, pengenaan pajak ini kian membuat sembako kian sulit dibeli.

Wajar jika Siti cemas. Sebagai warga pinggiran Ibu Kota, hidup Siti seperti tidak sudah-sudah dihardik kesulitan. Sudah 13 tahun belakangan, ia berjuang melawan penyakit ginjal kronis dan kanker paratiroid. Penyakit itu mengharuskannya menjalani cuci darah delapan kali dalam sebulan. Sekali berkunjung ke rumah sakit, Siti butuh uang saku sebesar Rp100 ribu.

Sementara sehari-hari, Siti dan suami bekerja sebagai pemulung yang harus berjalan minimal dua kilometer untuk memungut sampah botol, kemasan, kardus, dan besi di lokasi pembuangan sampah sementara.

"Dengan cara seperti itu kami bisa makan," cerita Siti yang biasa memulung di daerah Pagedangan, Tangerang Selatan, kepada Validnews, Jumat (18/6).

Dari hasil memulung, Siti mengaku bisa mengantongi uang maksimal Rp30 ribu sehari. Sebagian uang ditabungnya untuk biaya cuci darah, kebutuhan sekolah anak, membayar premi BPJS suami dan anaknya Rp150 ribu sebulan, dan sisanya untuk makan.

Di meja makan Siti, tidak ada ikan, daging ayam, atau daging sapi. Makan satu butir telur dengan sepiring nasi saja sudah bersyukur. "Yang penting anak saya bisa makan. Entah kalau pajak sembako diterapkan, mungkin hanya akan ada nasi dan garam saja," ujar Siti terisak.

Kegusaran Siti lumrah dirasakan masyarakat menengah ke bawah. Rencana pembebanan pajak itu dikhawatirkan bakal mengerek harga sembako.   


Kontroversi dan Klarifikasi
Rencana pengenaan pajak barang kebutuhan pokok memang tengah jadi perbincangan hangat beberapa pekan terakhir. Pemerintah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 dan akan segera memasuki pembahasan di DPR. 

Rencana tersebut tercantum dalam revisi kelima UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Cara Perpajakan. Nada-nada sumbang pun mengiringi munculnya wacana tersebut. Tidak sedikit pihak yang menilai kebijakan ini akan menyengsarakan masyarakat kecil.

Sadar pergunjingan semakin tak tentu arah, Menteri Keuangan Sri Mulyani turut bicara. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bingung draft RUU KUP bisa bocor ke publik, padahal belum dibahas.

Menurut Bu Ani, kabar yang beredar tidak utuh dan sepotong-potong sehingga menimbulkan distorsi.

Melalui akun Instagram resminya, Senin (14/6), Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah hanya akan mengenakan PPN untuk bahan pangan kelas premium. Sementara, sembako yang ada di pasar tradisional (non-premium) tidak akan dikenakan pajak alias bebas PPN.

Meski besaran tarif masih harus didiskusikan lebih lanjut bersama DPR, Sri Mulyani menegaskan, pemerintah akan membedakan besaran tarif konsumen masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah.

Komoditas beras lokal, seperti beras lokal dengan merek Rojolele hingga Pandan Wangi tidak akan terkena PPN karena jamak dikonsumsi masyarakat. Sementara beras premium seperti beras basmati dan beras shirataki bisa dipungut PPN. 

Pasalnya, beras kalangan kelas atas itu berharga 5–10 kali lipat dari harga beras lokal.

Begitu juga dengan komoditas lain seperti daging sapi. Daging sapi yang akan dipungut pajak adalah daging sapi Kobe dan daging sapi wagyu yang harganya sekitar 10–15 kali lipat dari harga daging sapi biasa. 

"Saya jelaskan, pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum," jelas Sri Mulyani.

Tak hanya sampai situ, pemerintah berupaya meredam kegundahan publik dengan mengirim email blast klarifikasi kepada publik melalui Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak. 

Email tersebut menekankan bahwa pemberitaan mengenai pengenaan pajak atas sembako bukan informasi resmi yang berasal dari pemerintah.

Email tersebut juga menyatakan, di tengah situasi pelemahan ekonomi akibat pandemi, pemerintah memandang perlu menyiapkan kerangka kebijakan perpajakan, di antaranya usulan perubahan pengaturan PPN.

Poin-poin penting usulan perubahan tersebut, antara lain pengurangan berbagai fasilitas PPN yang dinilai tidak tepat sasaran dan untuk mengurangi distorsi; penerapan multi tarif dengan mengenakan tarif PPN yang lebih rendah dari pada tarif umum misalnya atas barang-barang yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. 

Pemerintah juga akan mengenakan tarif PPN yang lebih tinggi dibanding tarif umum untuk barang-barang yang tergolong mewah, yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi.

Bahkan untuk jenis barang tertentu akan dikenai PPN Final untuk tujuan kesederhanaan dan kemudahan.

Melihat wacana tersebut, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai, gebrakan pemerintah ini menimbulkan situasi kontra produktif.

Sebab, sembako merupakan kepentingan hajat hidup orang banyak dan menjadi tanggung jawab negara sebagaimana amanat UUD 1945.  

Menurut Trubus, jika kebijakan ini terealisasi, akan ada banyak rakyat yang dirugikan, terutama petani yang menjadi garda terdepan pangan. Meskipun pemerintah mengklaim tidak akan menyentuh komoditas kelah bawah, Trubus menilai secara logika kebijakan itu akan sulit diimplementasi.

“Penerapan di lapangan bisa jadi akan semuanya beras dipajakin,” kata Trubus kepada Validnews, Sabtu (19/6).

Belum lagi risiko adanya oknum-oknum yang mencari keuntungan pribadi. Maka itu, ia menyayangkan keputusan pemerintah membuat kebijakan yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Apalagi kebijakan ini dirasa janggal karena digulirkan di tengah kesulitan ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi covid-19.

“Dan akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri meskipun niatnya pasti ada positifnya,” ujarnya.

Di sisi lain, ia juga menyoroti buruknya komunikasi pemerintah yang tidak melakukan komunikasi dengan masyarakat saat menggodok kebijakan ini. Apalagi, hingga saat ini besaran pajaknya belum diketahui.

Kualitas Kesehatan Masyarakat
Tidak hanya persoalan dompet masyarakat, kebijakan pengenaan PPN atas sembako juga akan berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat.

Dengan daya beli yang menurun, masyarakat akan semakin sulit membeli bahan makanan sehat. Padahal pemerintah punya cita-cita Indonesia bebas stunting.

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. 

Tenaga Gizi Nusantara Kementerian Kesehatan, Swary Anisti Azhari, mengatakan rencana pengenaan pajak atas sembako akan memberatkan masyarakat dalam penyediaan bahan makanan di rumah.

Apalagi masih ada daerah-daerah yang akses penyediaan bahan makanannya sulit. Salah satunya bisa karena kendala keadaan geografis.

“Jika pemenuhan gizi dan kesehatan di rumahnya pun banyak kendala, pasti perkembangan gizi pada anaknya juga tidak akan berjalan dengan optimal,” ujarnya, Sabtu (19/6).

Stunting bisa terjadi karena dua faktor, yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung, antara lain karena asupan makan dan penyakit infeksi.

Sementara, faktor tidak langsung seperti tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan memengaruhi pola asuh orangtua sehingga berdampak pada tumbuh kembang anak.

Persoalan stunting masih menjadi tantangan besar yang dihadapi Indonesia. Global Nutrition Report pada 2018 menunjukkan, Prevalensi Stunting Indonesia dari 132 negara berada pada peringkat ke-108. Sementara, di kawasan Asia Tenggara prevalensi stunting Indonesia tertinggi kedua setelah Kamboja. 

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, angka stunting nasional pada tahun 2013 sebesar 37,2 % dan turun menjadi 30,8 % pada 2018. Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019, angka ini menurun menjadi 27,7 %. 

Penurunan angka stunting telah dinyatakan sebagai program prioritas nasional. Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) 2018–2024 sebagai rujukan, sudah dibuat.  Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, juga menetapkan target angka stunting nasional agar bisa turun ke angka 14 %.

Melihat fakta di atas, Swary menekankan,  hanya dengan pemenuhan gizi yang cukup, mimpi Indonesia menurunkan angka stunting bisa terealisasi.

“Salah satu upaya pemerintah dalam menurunkan angka stunting melalui intervensi gizi spesifik, yaitu salah satunya dengan meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. Dari sini seharusnya bisa menjadi evaluasi untuk pemerintah. Apakah pajak ini memang bisa ditetapkan atau tidak, mengingat banyak sekali pertimbangan dari pajak sembako ini.”

Berbeda dengan Swary, Dokter Anak, RS Mayapada, dr. Andreas menyebut kebijakan ini tidak secara langsung memengaruhi penambahan angka stunting di Indonesia.

Jika memang targetnya adalah kalangan menengah ke atas, Andreas meyakini hal itu tidak akan berdampak kepada kesehatan masyarakat.

Di sisi lain, Andreas juga mengungkapkan bahwa angka stunting Indonesia kian meningkat di tengah pandemi.

Diskriminasi Kelas Sosial
Selain berdampak pada masalah kesehatan, wacana PPN sembako dikhawatirkan akan menimbulkan diskriminasi antara masyarakat kelas menengah ke atas dan kelas menengah ke bawah. Kecemburuan tidak dapat terhindarkan.

“Orang nanti akan terkotak-kotak misalnya orang yang ke pasar tradisional berarti orang miskin karena enggak dipajakin. Jadi masyarakat akan terbelah,” jelasnya. 

Trubus khawatir akan ada pandangan bahwa orang yang membeli bahan pangan pokok di mal atau supermarket dicap orang kaya. Sementara yang berbelanja di pasar tradisional akan merasa orang tidak mampu.


Hingga kini persoalan pajak sembako masih menjadi polemik. Masyarakat hanya bisa berharap pemerintah bisa dengan adil menyejahterakan rakyatnya, sembari mencari objek pajak lain yang bisa mengerek pendapatan negara.

Apapun caranya, jangan sampai niat memperoleh pendapatan justru menciderai cita-cita bebas stunting 2030 yang ditetapkan pemerintah sendiri. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER