c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

28 April 2025

18:26 WIB

Novel Manurung Goenawan Mohamad, Sebuah Montase Berlatar Perang Dingin

Manurung, novel Goenawan Mohamad yang menggunakan bentuk montase dalam bercerita, yaitu teknik penceritaan dalam fragmen-fragmen cerita yang satu sama terpisah secara alur.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

<p>Novel <em>Manurung</em> Goenawan Mohamad, Sebuah Montase Berlatar Perang Dingin</p>
<p>Novel <em>Manurung</em> Goenawan Mohamad, Sebuah Montase Berlatar Perang Dingin</p>

Novel Manurung KARYA Goenawan Mohamad. Dok: Validnews/ Andesta.

JAKARTA – Penyair Goenawan Mohamad meluncurkan cetakan kedua untuk novel keduanya, Manurung. Setelah diluncurkan sebelumnya di Yogyakarta, kali ini diperkenalkan kepada publik pembaca di Utan Kayu, Jakarta Timur pada Sabtu (26/4).

Manurung merekam eksplorasi prosa Goenawan Mohamad, yang menyajikan prosa dengan sentuhan puitis di sana-sini. Secara keseluruhan, novel ini menggunakan bentuk montase dalam bercerita, yaitu teknik penceritaan dalam fragmen-fragmen cerita yang satu sama terpisah secara alur, namun berhubungan secara asosiatif.

Novel ini mengambil waktu era Perang Dingin, suatu babak sejarah dunia yang sangat penting tapi sering dianggap telah lewat dan dilupakan oleh generasi sekarang. Karel Manurung, tokoh utama novel ini, mencari adiknya yang hilang.

Abang adik ini adalah eksil Indonesia di Eropa. Ayah mereka dibunuh dalam peristiwa penumpasan PKI 1965-1966.

Karel terdampar di Jerman Timur, Yosef di Czekoslovakia (dua negara Blok Timur itu kini telah tidak ada. Jerman Timur bersatu dengan Republik Federal Jerman. Czekoslovakia terpecah menjadi Ceko dan Slovakia). Karel direkrut menjadi informan Stasi, badan intelijen Jerman Timur, membuat novel ini bernuansa spionase yang lembut.

Sementara itu, Yosef justru terlibat demonstrasi anti Uni Soviet di Praha tahun 1968—suatu peristiwa yang dikenang sebagai Musim Semi Praha yang singkat dan berakhir tragis. Kesedihan dan kecemasan menjadi perasaan mendasar Karel yang rindu sekaligus tahu bahwa Yosef dalam bahaya.

Karel sendiri mendapat tugas rahasia kecil dari badan intelejen untuk “menghidupkan kembali komunisme” di Indonesia.

Goenawan Mohamad yang terkenal dengan Catatan Pinggir, memberi nuansa reflektif yang kuat dalam bagian-bagian cerita novel ini. Seperti pada esai-esainya, dia memberikan perenungan filosofis tentang manusia, kebaikan dan keburukan, hingga tentang kapitalisme lewat dialog-dialog para tokohnya.

Goenawan yang ditemui saat peluncuran di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, mengungkapkan bahwa cerita dalam novel Manurung dia kembangkan dari bacaan-bacaan tentang masa Perang Dingin, hingga cerita kolega yang pernah menetap di Eropa dengan perjalanan hidup terkait dengan tema tersebut.

Menurut Goenawan, Manurung adalah sebuah kisah tentang masa yang penting, era sejarah yang penting namun kini makin jarang diketahui. Terlepas soal relevansi konteks Perang Dingin dengan Indonesia yang sifatnya kompleks, dia mengambil latar itu agar publik pembaca masa kini bisa menengok kembali sejarah, dan tak melupakannya.

“Kenapa ya, tertarik karena penting, tentang masa yang penting, karena ini kan banyak yang nggak tahu juga,” ungkap Goenawan atau yang akrab disapa GM, Sabtu (26/4).

Perenungan yang Relevan

Peluncuran Manurung di Utan Kayu dimeriahkan pembacaan fragmen cerita oleh Syam Anchoe Amar dan Ruth Marini. Sementara Ayu Utami memberikan ulasannya atas novel Manurung dengan perspektif yang dalam dan luas, juga penuh nada pujian.

Ayu Utami yang mengulas Manurung dalam peluncuran di Utan Kayu, menyebutkan, novel yang mengambil latar hingga tahun 1970-an awal, memang tidak menyentuh secara langsung apa yang terjadi pasca runtuhnya Uni Soviet dan Blok Timur 20 tahun kemudian. Tapi, perdebatan dan renungan yang relevan sampai masa sekarang muncul dalam percakapan para tokoh.

Misalnya, kritik pada kapitalisme banyak muncul dalam percakapan para tokoh dalam cerita ini.

“Kenapa arsitektur jadi percakapan penting di Berlin? Di seberang Tembok, di dunia borjuis, orang menganggap arsitektur kecerdasan mendesain gedung dengan gaya ini atau itu. Di sini tidak. Di sini arsitektur perjuangan menciptakan ruang agar manusia saling percaya, saling ketemu, saling membantu,” ucap Ayu membacakan petikan dialog salah satu tokoh dalam novel.

Ayu melanjutkan, kritik terhadap program sosialisme dan komunisme partai pun tak luput dari sorotan novel ini. Kritik bermunculan dalam percakapan para tokoh, juga dalam momen intim abang-adik atau sebelum atau setelah percintaan dengan kekasih.

"Itu membuat percakapan filosofis intelektual terjalin secara lembut, tidak memaksa, bahkan dengan rasa sendu," ujar Ayu lagi.

Menurut Ayu Utami, relevansi isu Manurung dengan konteks Indonesia hari ini disampaikan dalam corak dunia cerita yang serba murung. Menurutnya, itu menjadi salah satu daya tarik utama pada karya ini, karena berhasil menggambarkan kemurungan dengan cara yang menurut Ayu ‘lembut’, bahkan puitis.

Selain itu, Ayu juga menyebutkan bahwa pilihan bentuk montase pada novel Manurung yang diterbitkan Tempo Publishing, adalah manifestasi dari pemahaman Goenawan tentang bahasa yang bersifat niscaya, sebagaimana selama ini terbaca dalam kritik-kritik sastra ataupun puisi karya Goenawan.

"Bentuk tulisan GM yang puitis dan fragmentis bukan sekadar eksperimen menantang kemapanan bentuk yang linear solid yang biasa dipakai dalam novel modern yang dianggap besar," ujar Ayu.

“Bentuk montase ini datang dari kesadaran filosofis yang dalam bahwa bahasa tidak memadai sehingga manusia pun harus tetap punya daya kritis terhadap bahasa, yaitu pikiran, tanpa menyingkirkan rasionalitas,” imbuhnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar