29 Juli 2025
20:31 WIB
Nasi Putih Atau Analog, Pilih Mana?
Banyak yang beranggapan kalau beras analog lebih sehat ketimbang beras putih biasa dan jadi pilihan tepat buat diet. Benarkah demikian? Yang jelas, soal sehat bukan sekadar sumber karbohidrat.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi beberapa merk yang berada di minimarket. Validnews.ID/Hasta Adhistra. |
JAKARTA - Keisengan menggulir halaman fyp akun TikTok miliknya di medio 2023, berhasil mengubah gaya hidup Jia, seorang wanita muda asal Jogja. Kala itu, sebuah video menarik perhatiannya, isinya soal informasi kandungan gizi beras porang yang lebih baik ketimbang nasi putih biasa.
Ketertarikannya beralasan. Saat itu dirinya juga tengah menjalankan program diet. Dia ingin mengurangi konsumsi nasi putih, dibarengi dengan clean eating atau hanya mengkonsumsi makanan alami, segar dan minim olahan.
Keputusannya tak salah. Satu bulan mengonsumsi beras porang ditambah konsisten berolahraga, berat badannya turun sampai 4 kilogram. Dia semakin yakin dan optimis dengan pola konsumsi itu membuatnya semakin sehat.
Meski, akunya, sesekali dia cheat meal tapi dengan porsi yang masih terjaga. "Sesekali masih makan nasi putih kalau lagi keluar sama teman-teman, tapi porsinya nggak banyak," kata Jia kepada Validnews, Sabtu (26/7).
Sama seperti Jia, ternyata banyak orang yang tertarik untuk mengganti konsumsi nasi putih dengan porang. Annisa salah satunya. Wanita 30 tahun asal Jakarta ini sejak tiga bulan belakangan mengonsumsi beras porang sebagai makanan pokok di kesehariannya.
Awalnya dia mendapat informasi dan saran dari teman bahwa kadar gula dari beras porang lebih rendah. Karenanya, dia berharap bisa lebih sehat dengan mengkonsumsi pangan yang masuk dalam kategori beras analog itu.
Dampaknya lagi, cerita Annisa, setelah rutin mengonsumsi beras porang perutnya tidak begah atau sesak setelah makan. Rasa kenyang lebih lama, juga sistem pencernaan dirasakannya jadi lebih lancar dari sebelumnya ketika masih mengonsumsi nasi putih.
"Karena kadar gulanya juga lebih sedikit dari nasi putih, setelah makan jadinya lebih tidak begah dan merasa lebih cukup meskipun dengan takaran nasi yang sedikit," kata Annisa.
Soal rasa, dia juga menyebut lebih enak ketimbang beras merah yang juga jadi alternatif sebagai makanan pokok sehat. Baginya, rasa porang tidak manis juga tidak hambar, selain itu aromanya cenderung lebih wangi.
"Sudah lama pernah mencoba nasi merah tapi secara rasa dan tekstur kurang nikmat. Lalu akhirnya belakangan memilih porang," terangnya.
Baca juga: Ini Olahraga Untuk Kurangi Risiko Sarcopenia
Tapi di balik itu, satu kekurangan dari beras porang adalah harganya yang lebih mahal dari beras merah, bahkan berkali lipat dari beras putih. Annisa mengatakan, dia harus merogoh kocek Rp100 untuk 1kg beras porang. Sementara jika dibandingkan dengan beras putih, kisaran Rp80 ribu bisa mendapat 5kg.
Nah, soal harga ini pula yang membuat Jia akhirnya harus beralih ke beras merah sejak pertengahan tahun 2024 lalu. Lebih mahal dari Annisa, kala itu 1kg beras porang Jia harus mengeluarkan uang sebesar Rp180 ribu. Sementara untuk beras beras dibelinya kisaran Rp30 ribu per kilogram.
"Sekarang aku lagi suka makan beras merah. Kalau bosen biasanya karbonya aku ganti nasi putih atau makan ubi cilembu," terang Jia.
Mengapa Nasi Putih Tidak Lebih Baik?
Ahli gizi yang juga President of World Vegan Organization dan Vegan Society Indonesia, Dr. Susianto menjelaskan, memang jika dibandingkan beras porang atau beras analog lainnya, kandungan gizi dari beras atau nasi putih lebih sedikit. Hal itu disebabkan karena penggilingan, proses menghilangkan lapisan luar (bekatul) dan lapisan tipis di bagian bawahnya (germ).
Padahal bekatul atau kulit ari itu justru mengandung banyak gizi, seperti vitamin B, serat bahkan magnesium dan antioksidan. "Itu semua sudah hilang, kalau di nasi putih," terang Doktor lulusan Fakultas Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu.
Selain itu, lanjutnya, proses pemolesan membuat kandungan Indeks Glikemik (IG) pada beras putih lebih tinggi. Indeks ini merupakan ukuran seberapa cepat suatu makanan dapat meningkatkan kadar gula darah (glukosa) setelah dikonsumsi.
Sumber karbohidrat dengan IG tinggi akan meningkatkan kadar gula darah lebih cepat daripada yang memiliki IG rendah. Adapun IG pada makanan sumber karbohidrat sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, sejak proses pengolahannya, tingkat kematangan, cara memasak dan jenis karbohidratnya.
"Jadi kalau sebuah makanan atau minuman yang Index Glikemik-nya tinggi, dia begitu masuk dalam tubuh, dia lebih cepat menaikan kadar gula darah," terang dr. Susianto.
Sementara bahan pangan alternatif seperti beras analog yang terbuat dari umbi-umbian (singkong, ubi jalar, talas), sagu, jagung atau sorgum, memiliki kadar Index Glikemik relatif lebih rendah. Dengan demikian tidak mudah menaikan gula darah ketika dikonsumsi.
Selain itu, karena berasal dari umbi-umbian, beras analog seperti termasuk juga beras porang di dalamnya, lebih tinggi serat namun rendah kandungan karbohidratnya.
"Artinya gula darah bisa lebih terkontrol dengan memakan beras atau nasi yang IG-nya lebih rendah," katanya.

Dokter spesialis gizi Brawijaya Hospital Jakarta, dr. Cindiawaty Josito Pudjiadi mengamini apa yang dijelaskan dr. Susianto. Menurutnya, beras analog memiliki kadar IG yang lebih rendah, sehingga tidak cepat meningkatkan kadar gula darah.
Namun demikian, ada beberapa jenis beras analog dengan kandungan karbohidrat sangat rendah, sehingga tidak memenuhi kebutuhan kalori tubuh. Karena bagaimanapun, manusia membutuhkan kalori yang dari karbohidrat untuk menghasilkan energi.
"Kalau (beras analog) dari umbi-umbian, boleh-boleh saja, karena umbi-umbian termasuk juga sumber karbohidrat. Tapi kalau dia dari shirataki itu nggak ada kalorinya. Jadi kalau hanya mengkonsumsi shirataki, mungkin kita akan kurang. Jadi tetap perlu dikombinasikan dengan sumber karbohidrat lainnya," terang dr. Cindiawaty kepada Validnews, Selasa (29/7).
Baca juga: Bercinta Bisa Bantu Bakar Kalori Dan Turunkan Berat Badan
Meski secara umum beras analog lebih baik dari nasi putih dalam hal takaran Index Glikemik, namun perlu dipahami pasti apa bahan dasar dari beras analog tersebut. Sebab beras porang yang ada di pasaran memiliki kandungan gizi yang berbeda.
Misalnya, ada beras porang yang sudah dicampur dengan sejumlah bahan pangan lainnya. Adapula beras porang yang terbuat dari umbi tanaman konjac atau shirataki.
Secara spesifik, beras porang sebenarnya berbeda dengan beras shirataki. Namun tak sedikit masyarakat yang menganggap kedua jenis beras ini sama karena berasal dari umbi-umbian yang mengandung serat glukomanan, padahal keduannya merupakan spesies tanaman berbeda.
Beras porang berasal dari umbi porang (Amorphophallus muelleri blume) yang banyak tumbuh di Indonesia. Sedangkan shirataki berasal dari umbi konjac (Amorphophallus konjac) yang banyak ditemukan di Jepang, China, dan beberapa negara Asia Tenggara.
Makanan Seimbang
Nasi sendiri menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia sejak lama. Bahkan ada adagium yang menyebut, 'belum makan kalau belum makan nasi'. Ini amat menggambarkan betapa lekatnya nasi dengan Indonesia.
Dengan penjelasan di atas, bukan berarti masyarakat Indonesia harus berpindah bahan pakan jika ingin hidup lebih sehat. Justru yang perlu diperhatikan adalah pola atau menu makan yang seimbang, bersamaan dengan protein dan serat lainnya.
"Kalau dikonsumsi bersama dengan serat, akan membantu penyerapan nasi itu bisa pelan. Jadi dia nggak jelek (bagi tubuh), asal kita mengakali gimana caranya," terang dr. Cindiawaty.
Apalagi, mengganti nasi putih dengan karbohidrat lainnya tak serta merta membuat tubuh lebih sehat. Karena jika bicara kesehatan, ada banyak faktor yang memengaruhinya. Bukan sekadar sumber karbohidirat tapi bagaimana kebutuhan gizi lainnya juga terpenuhi.
"Walaupun dia nggak makan nasi putih tapi makan makanan yang kolesterol tinggi, lemak jenuh tinggi, ya tetap saja nggak sehat. Jadi perlu ada namanya gizi seimbang gitu ya," papar dr. Susianto.
Buat orang-orang yang ingin menurunkan berat badan, tak lantas ketika rutin mengkonsumsi beras porang, berat badan jadi ideal seketika. Seperti diceritakan Jun. Dia can suami sudah setahun belakangan mengkonsumsi beras porang dengan tujuan awal menurunkan berat badan.
Baca juga: Konsumsi 100 Gram Protein Per Hari, Ini Manfaatnya
Tapi alhasil sampai saat ini belum terasa khasiatnya. Mengapa? Dia mengakui karena belum bisa mengatur pola hidup sehat. Bersama suami, dia kerap makan camilan tinggi kalori dan tidak dibarengi dengan berolahraga.
"Masih belum kelihatan sih efektivitasnya buat diet karena suami pun masih belum bisa sepenuhnya change to healthier lifestyle. Jadi tujuan awal ganti beras buat diet nurunin berat badan belum tercapai," terangnya.
Dia berujar, kala tujuannya tidak juga tercapai dalam beberapa bulan ke depan, pilihan untuk berhenti mengonsumsi beras analog sangat terbuka. "Belum tahu ya mungkin 3-6 bulan kedepan, soalnya sayang juga kalo ga diimbangi perubahan gaya hidup yang lebih sehat," terangnya.
Apa yang terjadi pada Jun dan suami sebenarnya menegaskan apa yang diutarakan dr. Susianto, makanan pengganti yang dikatakan lebih sehat belum tentu memberikan dampak positif ketika tidak diimbangi dengan gaya hidup yang lebih sehat.
Kunci Hidup Sehat
Lebih lanjut dr.Susianto menekankan, kata kunci hidup lebih sehat bukan sekadar mengatur asupan karbohidrat saja, melainkan pada gizi seimbang. Seperti panduan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, yakni "Isi Piringku".
Pada dasarnya, tidak ada satupun bahan makanan yang mengandung semua gizi yang dibutuhkan tubuh. Menu makan harus memenuhi kebutuhan gizi makro, seperti karbohidrat, protein, lemak dan serat. Sementara gizi mikro didapat dari vitamin dan mineral.
Nasi sebagai sumber karbohidrat hanya mengisi sepertiga dari kebutuhan tubuh, lalu sepertiga lagi sayur-sayuran. Sementara buah-buahan hanya separuh dari sayur-sayuran, atau seperenam. Sisanya seperenam lagi adalah lauk pauk, baik itu sumber lauk nabati ataupun hewani.
"Ini sayuran yang orang kurang makan, padahal kebutuhannya hingga sepertiga. Jadi makanan sayur itu masih dua kali lebih banyak daripada buah," tegasnya.
Setelah urusan gizi dari makanan terpenuhi, yang tak kalah penting adalah aktivitas fisik. Dalam hal ini tidak selalu harus pada olahraga yang berat. Cukup dengan aktivitas fisik seperti jalan kaki, atau olahraga ringan seperti jogging dan sepeda. Dan yang terakhir sesuai panduan GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) juga jangan merokok, minum alkohol, serta minumlah air putih yang cukup.
"Kalau mau sehat, ikuti itu," pesan dr.Susianto.