07 Januari 2025
20:19 WIB
Meremajakan Pesona Kecantikan Tradisional Di Era Modern
Soal kecantikan, sejak lama perempuan Indonesia berkiblat kepada warisan tradisional. Kini, produk luar, utamanya K-beauty, jadi standar baru perawatan wajah. Lalu, bagaimana nasib produk lokal?
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rikando Somba, Satrio Wicaksono,
Ilustrasi perawatan wajah wanita. Shutterstock/Zoran Zeremski
JAKARTA - Indonesia kaya warisan budaya. Itu bukan jargon pemuas diri. Sudah sejak lama negeri ini memiliki beberapa kiblat kecantikan yang erat dengan nilai-nilai tradisional. Banyak negara di Asia mengakuinya.
Pada awal abad ke-20, kecantikan berbasis tradisi mulai dikenalkan secara luas, salah satunya oleh R.A. Kartini yang memopulerkan perawatan tradisional bagi perempuan Jawa.
Memasuki era 1970-an, pelopor industri kecantikan lokal, sebut saja Mustika Ratu dan Sariayu Martha Tilaar, membawa tradisi ini ke tingkat yang lebih tinggi. Mereka mengenalkan produk berbasis bahan alami, seperti bengkuang, kunyit, lidah buaya, dan kenanga, serta banyak tanaman, buah, dan bunga sebagai materi pembuat cantik alami.
Produk-produk berbasis kekayaan alam itu kemudian tidak hanya populer di pasar nasional. Produk kecantikan dan perawatan tubuh ini juga kemudian dikenal di tingkat internasional.
Pada masanya, bahan-bahan alami ini menjadi simbol perawatan kecantikan yang menekankan pentingnya kecantikan luar dan dalam. Dengan kata lain, perawatan tubuh tidak hanya soal penampilan, tetapi juga kesehatan dan keseimbangan.
Namun, dalam satu dekade terakhir, imbas gelombang globalisasi budaya, terutama dari Korea Selatan, mulai menggoyahkan fondasi tersebut. Kini, kiblat kecantikan perempuan Indonesia mulai bergeser.
Semula, standar cantik dan sehat berkiblat kepada tradisi lokal dan nilai-nilainya. Namun, kini standar kecantikan mengikuti tren K-beauty. Konsep kulit putih cerah dan glass skin menjadi standar baru kecantikan paripurna yang diidolakan.
Salah satu perempuan Indonesia yang mengalaminya adalah Natalia Gloricia. Dalam kesehariannya, dia tidak pernah melewatkan rutinitas perawatan kulit, mengikuti tren kecantikan dari Korea Selatan. Sejak beberapa tahun terakhir, ia rutin menggunakan salah satu rangkaian produk perawatan kulit atau skincare asal Korea yang mengklaim dapat memberikan efek glass skin. Glass skin sendiri merupakan gambaran kulit yang tampak sangat halus, lembap, bercahaya, dan bening seperti kaca.
Dua tahun sudah dia tak lepas dari produk kecantikan Korea. Hatinya kepincut iklan dan rekomendasi dari beauty influencer di Instagram.
"Mereka selalu tampil dengan kulit yang kelihatan mulus, cerah, dan glowing banget. Aku jadi penasaran. Akhirnya coba iseng beli produk yang mereka rekomendasikan," ujar Natalia kepada Validnews, Sabtu (4/1).
Menurut wanita 24 tahun itu, produk-produk skincare Korea yang ia gunakan, seperti essence, serum, dan sheet mask, memberikan sensasi ringan dan melembabkan tanpa membuat kulit terasa berminyak. Dalam waktu singkat, ia mengaku mulai melihat perubahan signifikan pada tekstur kulitnya.
"Pas pertama kali coba, kulitku langsung terasa lebih lembap dan cerah. Padahal, biasanya aku harus sabar nunggu berminggu-minggu untuk lihat hasilnya kalau pakai produk lain. Ini beda banget,” ucapnya girang.
Natalia bukan satu-satunya yang merasakan dampak dari tren K-beauty yang kian populer di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Endah Jamilah, seorang perempuan berusia 57 tahun, juga mulai beralih ke produk-produk kecantikan Korea Selatan setelah menghadapi persoalan kulit.
Endah yang dulunya merasa percaya diri dengan rutinitas sederhana, seperti menggunakan bedak dingin, mulai merasa frustrasi ketika flek hitam dan tekstur kulit yang kasar muncul seiring bertambahnya usia.
"Dulu, saya rutin pakai bedak dingin yang terbuat dari tepung beras. Itu andalan saya yang sering dijadikan masker sejak remaja. Kulit terasa lebih segar dan halus," ungkap Endah kepada Validnews, Senin (6/1).
Bedak dingin adalah salah satu perawatan tradisional yang sangat populer di kalangan perempuan generasi 70-an karena dianggap efektif dan terjangkau untuk merawat kulit secara alami. Namun, di usia paruh baya, tantangan perawatan kulit menjadi lebih kompleks.
Endah sempat mencoba krim dokter untuk mengatasi masalah kulitnya. Dia merasa hasilnya tidak sesuai harapan. Akhirnya, ia pun mulai mencari alternatif lain dengan menggunakan produk merek global, Amerika.
Kisah Endah mencerminkan pergeseran yang dialami banyak perempuan Indonesia dalam mendefinisikan kecantikan dan memilih perawatan kulit. Jika generasi sebelumnya tumbuh dengan warisan perawatan tradisional, seperti lulur, jamu, dan bedak dingin, generasi sekarang lebih terpapar oleh tren global, termasuk gelombang K-beauty yang menawarkan solusi instan dan terukur untuk berbagai masalah kulit.
Demam K-Beauty Dan Perubahan Standar Kecantikan
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Dr. (Cand.) dr. Inggrid Tania, M.Si, menuturkan bahwa pergeseran kecantikan tradisional atau alami sudah mulai dirasakan pada era 90-an hingga 2000-an. Kala itu, tren kecantikan di Indonesia lebih banyak mengarah pada kiblat Barat.
"Dulu, di tahun 90-an, kita sering melihat boneka Barbie dengan kulit terang, rambut pirang, dan mata biru. Itu menjadi standar kecantikan yang berkembang di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, tren Asia, terutama Jepang dan Korea, mulai masuk," ujar Tania kepada Validnews, Senin (6/1).
Fenomena ini semakin terlihat ketika K-pop dan K-beauty mulai memunculkan gelombang besar di awal 2000-an. Sebut saja, gelombang Korea Wave yang meliputi fenomena K-pop, drama Korea, dan berbagai aspek budaya Korea lainnya, secara signifikan mengubah lanskap industri kecantikan di Indonesia.
Ini juga yang diungkapkan oleh dr. Fransiskus Clinton, Dokter Spesialis Kulit, Kelamin, dan Estetika. Menurutnya, tren kecantikan Korea begitu diminati karena pengaruh media sosial yang sangat besar.
"Media sosial membuat aktris dan aktor Korea begitu terlihat. Mereka memiliki kulit yang sangat halus, bercahaya, dan menawan. Ini menjadi tolak ukur baru bagi masyarakat, khususnya generasi muda," ujar dokter yang juga eksis di media sosial @drclinton_dermskill kepada Validnews, Senin (6/1).
Ia menguraikan, kecanggihan teknologi Korea Selatan juga menjadi daya tarik tersendiri.
"Korea memiliki berbagai alat canggih, seperti laser, microneedling, dan teknologi lainnya yang tidak hanya memperbaiki kulit tetapi juga memberikan hasil instan yang sangat disukai oleh konsumen modern," tambah dr. Fransiskus.

Efek Bagi Konsumen
Di balik popularitas K-beauty, muncul pertanyaan, apakah produk-produk ini benar-benar memberikan manfaat nyata bagi konsumen Indonesia yang memiliki kondisi kulit dan iklim sangat berbeda dari Korea?
Menurut dr. Clinton, tren kecantikan kulit putih yang tengah populer saat ini, jika dilihat dari sudut pandang medis, berpotensi membawa risiko.
"Kalau tren glowing itu tidak begitu berisiko, karena glowing itu artinya kulit sehat. Ketika kulit glowing, permukaannya atau struktur kulit cenderung rata dan hal ini membuat kulit bisa memantulkan cahaya. Ini menunjukkan bahwa kulit terhidrasi dengan baik, cairan dalam sel kulit kita merefleksikan cahaya, sehingga menciptakan fenomena glowing yang banyak dicari orang," jelasnya.
Namun, dia mengingatkan bahwa tren kulit putih yang kerap dianggap sebagai standar kecantikan ideal, bisa berbahaya. Pasalnya, kulit putih itu bergantung pada seberapa banyak pigmen di kulit kita.
"Dan inilah yang perlu dipahami, bahwa putih itu bukanlah sesuatu yang instan. Banyak orang yang terobsesi untuk mendapatkan kulit putih, sehingga mereka melakukan berbagai cara yang tidak aman," lanjutnya.
Pada beberapa dekade lalu, banyak orang mencari jalan pintas untuk mendapatkan kulit cerah dan putih. Kebanyakan ahli kecantikan menggunakan bahan berbahaya, seperti merkuri, untuk mendapatkan kulit putih dengan cepat, meskipun risikonya bisa sangat fatal. Selain itu, ada pula pemakaian bahan, seperti hidrokinon yang memang aman digunakan untuk tujuan tertentu, seperti pengobatan flek atau bekas inflamasi.
"Hidrokinon sebenarnya digunakan untuk pengobatan dan aman asalkan tidak dipakai lebih dari 3 bulan. Namun, banyak yang salah kaprah, ingin mendapatkan kulit putih instan dengan menggunakannya dalam jangka panjang," tegasnya.
Sebenarnya, Hidrokinon bukanlah bahan untuk memutihkan kulit. Senyawa ini lebih pas untuk mengatasi masalah seperti flek, bekas inflamasi, atau kulit yang menghitam setelah prosedur medis, seperti laser.
"Banyak yang salah kaprah dengan menganggap bahan ini sebagai solusi instan untuk kulit putih, padahal itu hanya untuk perawatan kulit setelah tindakan medis atau untuk mengatasi masalah kulit tertentu," paparnya.
Selaras dengan penjelasan dr. Fransiskus Clinton mengenai tren kecantikan kulit putih, Spesialis Kulit dan Kelamin, dr. Matahari Arsy, juga menambahkan pandangannya mengenai perawatan kulit yang semakin marak.
"Glowing yang putih, terutama jika menggunakan bahan-bahan yang aman dan sudah terbukti efektivitasnya, sebenarnya tidak masalah. Yang berbahaya adalah ketika seseorang menggunakan bahan yang tidak direkomendasikan atau bahkan dilarang penggunaannya," ujar dr. Arsy kepada Validnews, Selasa (7/1).
Yang Mana Yang Aman?
Menurutnya, bahan alami tentu memiliki nama dan unsur kimianya juga, meskipun terkadang orang menganggap bahan alami lebih aman. Namun, bahan alami belum tentu lebih aman.
"Salah satu masalah utama adalah kandungan yang beragam dalam bahan alami," ucapnya.
Bahan alami, lanjutnya, sering kali mengandung zat-zat yang bisa memicu iritasi. Misalnya, getah buah yang bisa mengiritasi kulit sensitif, atau kandungan vitamin C dalam buah jeruk yang sering kali memiliki kadar rendah. Bahan kimia yang digunakan dalam produk kecantikan sering kali memiliki konsentrasi yang tepat dan hanya mengandung bahan yang dibutuhkan untuk memberikan manfaat tertentu pada kulit sehingga mengurangi risiko penggunaan zat yang tidak diinginkan.
"Di sisi lain, bahan sintetik biasanya dibuat secara spesifik dengan tujuan untuk meniru atau meningkatkan manfaat dari bahan alami. Salah satu kelebihannya adalah konsentrasinya yang lebih terukur, lebih steril, dan lebih terkontrol," terangnya.
Menurutnya, meskipun bahan alami sering dianggap lebih ramah, kenyataannya justru bahan kimia, ketika digunakan dengan dosis dan konsentrasi yang benar, dapat memberikan manfaat yang lebih aman dan efektif.
"Karena telah melalui uji klinis dan studi yang memastikan bahwa produk tersebut aman dan bekerja sesuai dengan yang dijanjikan," tegasnya.
Dr. Clinton pun merangkum secara umum, produk K-beauty tetap relevan dan dapat digunakan oleh kulit masyarakat Indonesia. Namun, ada beberapa penyesuaian yang perlu diperhatikan, terutama untuk produk seperti tabir surya atau sunscreen.
"Kulit orang Indonesia cenderung membutuhkan sunscreen dengan formula tinted, karena whitecast dari sunscreen biasa akan lebih terlihat pada kulit sawo matang atau kuning langsat. Sementara itu, pada kulit putih, whitecast tidak terlalu kentara," jelasnya.
Meski begitu, untuk produk lain, seperti toner, sabun cuci muka, atau moisturizer, menurut Clinton, umumnya cocok digunakan untuk kulit masyarakat Indonesia tanpa memerlukan banyak penyesuaian.
Kelebihan Produk Kecantikan Tradisional
Persepsi berbeda diutarakan dr. Inggrid Tania yang menilai perawatan kecantikan berbasis bahan alami memiliki potensi besar untuk terus relevan di tengah era modern. Dengan bantuan teknologi tinggi, produk berbasis tradisional dapat diolah menjadi solusi kecantikan yang efektif dan tetap memanfaatkan kearifan lokal.
"Produk kecantikan berbahan alami yang diolah menggunakan teknologi modern bisa menghasilkan formula yang tetap setia pada akar tradisinya, tetapi dikemas dengan cara yang lebih modern dan efektif," tuturnya.
Menurutnya, banyak bahan herbal khas Indonesia, seperti temulawak dan temukunci, telah mendapat perhatian di tingkat internasional. Peneliti dari Korea Selatan, misalnya, telah menggunakan bahan-bahan tersebut dalam produk perawatan kulit mereka, yang dikenal luas untuk manfaat mencerahkan kulit; anti-aging untuk mencegah penuaan; hingga anti-acne atau obat anti jerawat.
"Bahan yang sering ditemukan di produk K-beauty sebenarnya banyak berasal dari Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa potensi bahan lokal kita sangat besar untuk bersaing di pasar global," tambahnya.
Dia meyakini, produk berbahan alami memiliki banyak keunggulan dibandingkan bahan kimia sintetik. Ekstrak bahan alami dalam bentuk skincare atau minyak esensial sama efektifnya dengan bahan kimia sintetik, tetapi lebih minim efek samping.
"Meskipun hasilnya tidak instan, umumnya membutuhkan waktu sekitar 28 hari atau satu siklus regenerasi kulit, bahan alami tetap memberikan hasil yang efektif sekaligus aman," ungkapnya.
Ia pun juga menyoroti bahwa tren produk berbasis bahan alami memberikan nilai tambah yang sangat relevan dengan gaya hidup generasi modern. Pasalnya, produk berbahan alami biasanya lebih ramah lingkungan, ramah terhadap tubuh manusia, dan bahkan dapat membantu menyejahterakan petani lokal.
"Nilai-nilai ini dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen masa kini yang semakin peduli terhadap lingkungan dan keberlanjutan," terangnya.
Selain itu, ia menekankan bahwa bahan alami dari Indonesia lebih cocok untuk kondisi kulit masyarakat lokal. Pada era modern ini, penting untuk terus menggaungkan relevansi kearifan lokal dalam industri kecantikan, terutama bagi generasi muda yang mulai sadar akan pentingnya pelestarian budaya dan lingkungan.
Angin Segar Bagi Jenama Lokal
Lalu, bagaimana kondisi industri kosmetik kita kini? Validnews mencoba melihat data Compas Market Insight Dashboard, di mana kategori perawatan dan kecantikan, khususnya produk skincare, diproyeksikan akan menjadi primadona pada 2025 mendatang.
Data dari Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (PPAK Indonesia), industri kosmetik menunjukkan hal menggembirakan. Pertumbuhan signifikan terjadi dalam lima tahun terakhir.
Pada tahun 2017, pertumbuhan industri ini mencapai 6,35%. Kemudian bertumbuh menjadi 7,36% pada 2018. Kenaikan terjadi juga di 2019 menjadi 9% dan 9,39% pada 2020. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mencatatkan hal sama. Di 2022 dan 2023, pertumbuhan mencapai lebih dari 2,6%.
Berdasarkan data dari Shopee dan Tokopedia, kategori perawatan dan kecantikan mencatatkan performa yang sangat gemilang di tahun 2024, berkontribusi sebesar 51,6% atau setara dengan Rp31,9 triliun dari total nilai penjualan barang-barang kelontong, kebutuhan keseharian atau FMCG (Fast-Moving Consumer Goods) yang mencapai Rp61,8 triliun pada periode Januari hingga Oktober 2024.
Lebih menarik lagi, saat momen-momen spesial seperti tanggal kembar, kategori ini menyumbang angka yang sangat signifikan. Untuk kategori perawatan dan kecantikan menyumbang Rp221,4 miliar atau sekitar 62% dari total penjualan FMCG dan terus meningkat.
Melihat data ini, produk skincare jelas sudah mulai menjadi bagian penting dari rutinitas kecantikan sehari-hari masyarakat. Produk yang kini tak lagi didominasi hanya untuk keperluan perempuan ini, juga semakin diterima luas. Kini, laki-laki pun merasa wajar punya produk perawatan wajah sendiri. Dan, seiring dengan tren global, semakin banyak konsumen yang mencari produk yang memberikan hasil instan namun tetap aman dan efektif.
Kunci untuk memasarkan dan mengangkat kembali produk kecantikan warisan tradisional terletak pada kemasan menarik dan edukasi yang tepat. Konsumen modern cenderung tertarik pada produk dengan packaging yang lucu dan estetik, sehingga kemasan menjadi faktor penting untuk menarik perhatian pasar.
Selain itu, edukasi masyarakat mengenai manfaat utama bahan alami yang digunakan dalam produk juga sangat diperlukan. Contohnya, bahan alami seperti kulit manggis dapat dikembangkan lebih lanjut dengan teknologi modern untuk menciptakan turunan bahan yang lebih efektif. Tidak hanya itu, endorser yang tepat di media sosial atau media konvensional juga memegang peranan penting.
"Brand lokal harus bisa mengedukasi masyarakat tentang khasiat bahan-bahan tradisional yang digunakan, sekaligus memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menghasilkan produk yang lebih efektif," tutur Clinton.
Tren kian menunjukkan bahwa konsumen sering kali tertarik pada siapa yang menggunakan produk tersebut. Karenanya, kolaborasi dengan figur publik yang relevan dapat meningkatkan daya tarik produk. Misalnya, dengan menggandeng publik figur atau sosok agar meningkatkan kepercayaan publik terhadap produk yang dipasarkannya.
Dengan memadukan keunggulan bahan tradisional, teknologi modern, kemasan menarik, dan strategi pemasaran yang tepat, produk kecantikan berbahan alami memiliki potensi besar untuk bersaing di pasar global. Sehingga, banyaknya industri kosmetika Indonesia justru memproduksi resep-resep kecantikan alami dalam negeri. Bukan malah meramaikan pasar dengan produk yang berkiblat ke negeri lain, seperti ke negeri ginseng.