21 Maret 2024
21:00 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Indonesia tergolong negara dengan konsumsi listrik per kapita yang rendah di ASEAN. Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi listrik rumah tangga di tanah air rata-rata pada 2023 hanya sekitar 1.137 kWh per kapita. Konsumsi ini masih jauh di bawah rata-rata Asean sebesar 3.869 kWh.
Namun untuk konteks nasional, angka konsumsi listrik per kapita di atas sejatinya tumbuh dari tahun-tahun sebelumnya. Data menunjukkan, konsumsi listrik per kapita Indonesia naik saban tahunnya, sedikitnya dalam lima tahun terakhir.
Pertanyaannya, berpijak pada kenaikan konsumsi listrik tahun ke tahun tersebut, di luar fakta konsumsi listrik per kapita Indonesia yang relatif rendah, apakah berarti tanda bertumbuhnya produktivitas masyarakat? Atau jangan-jangan, ada kecenderungan boros energi, dalam artian banyak porsi listrik yang terpakai untuk hal-hal tidak produktif?
Mencari jawabannya memang tidak mudah. Agak dilematik untuk menyebutkan masyarakat Indonesia boros atau tidak dalam hal penggunaan energi karena setiap rumah tangga punya kebutuhannya sendiri. Namun jika ingin diamati, budaya boros listrik itu masih tampak ada.
Lihat saja, di banyak sudut kota besar, khususnya di Pulau Jawa yang ‘surplus’ listrik, mudah menemukan lampu-lampu menyala di siang hari. Bahkan di wilayah seperti Jabodetabek, lampu penerangan jalan bisa menyala hingga pukul 09.00 pagi.
Di lingkup rumah tangga, khususnya di kota-kota, alat pendingin udara atau AC menyala pada siang dan malam hari. Begitu pula televisi, menyala kadang hanya untuk ditinggal tidur oleh pemiliknya. Banyak perangkat elektronik, seperti pengisi daya telepon selular yang dibiarkan begitu saja tercolok ke sumber aliran listrik, meski sedang tak digunakan.
Pengamat energi, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, budaya konsumsi listrik tak produktif sejatinya tipikal masyarakat negara berkembang. Umumnya, masyarakatnya belum memiliki kesadaran yang tinggi tentang perlunya efisiensi energi.
“Kalau dibandingkan dengan masyarakat negara lain yang sudah sadar konservasi energi, kita relatif boros ya. Misalkan siang hari kita masih menyalakan lampu. Kadang bukan hanya masyarakat, tapi hampir sebagian stakeholder,” ungkap Komaidi kepada Validnews, Selasa (19/3).
Tren boros atau penggunaan listrik berlebihan yang diafirmasi pengamat energi di atas menjadi gambaran menohok jika menilik fakta bahwa masih banyak daerah di Indonesia yang menganggap listrik barang mewah.
Ketika masyarakat di perkotaan Jawa-Bali ‘gumoh’ karena pasokan listrik dikonsumsi sesukanya, pasokan listrik, ada masyarakat di sudut Kalimantan atau Nusa Tenggara Timur yang bahkan sejak lama memimpikan jaringan listrik.
Data terkini Perusahaan Listrik Negara (PLN), rasio elektrifikasi Indonesia mencapai 99,80%. Angka yang sekali pandang terasa nyaris sempurna. Namun dalam angka, ada ratusan desa yang belum terjamah listrik. Data PLN, angkanya yakni 140 desa di yang tersebar di wilayah Papua.
Perlu dicatat, angka tersebut hanya menghitung rasio elektrifikasi secara kasar, tanpa memperhitungkan aspek kualitas listrik di setiap wilayah, juga mengecualikan desa yang mendapat pasokan listrik secara terbatas. Dengan kata lain, sebenarnya ada lebih banyak lagi desa yang hingga saat ini bermasalah terkait listrik.
“Sekarang ini sudah hampir sebagian besar memiliki listrik terutama untuk di dua sistem utama, sistem Jawa-Bali sama Sumatra relatif sudah powerfull. Yang masih perlu perluasan itu yang non-Jawa-Bali sama Sumatra, kayak Kalimantan dan Indonesia timur, itu masih jadi catatan,” ulas Komaidi.
Listrik Rumah Tangga di Perkotaan
Tagihan listrik Rp2 juta per bulan akan terdengar besar dan boros bagi mereka yang setiap bulannya hanya membayar Rp500-600 ribu sebulan untuk listrik rumah tangga. Namun, angka itu akan dianggap kecil oleh kalangan yang membayar listrik Rp5 juta sebulan.
Bisa juga diartikan bahwa nominal itu harga yang ‘pas’ bagi rumah tangga yang menampung lima anggota keluarga dengan satu atau dua asisten rumah tangga di Kota Jakarta yang panas dan membutuhkan pendingin udara.
Lanny Murdiana, seorang ibu rumah tangga di Jakarta, mengaku membayar Rp1,1-1,2 juta setiap bulannya untuk listrik di rumah mereka. Kata seorang temannya, yang membayar listrik Rp300 ribu sebulan, itu biaya yang tinggi. Namun, kata Lanny, angka sebesar itu sudah hemat untuk konteks kebutuhan keluarganya.
Konsumsi listrik keluarga tersebut mencakup untuk perangkat pendingin udara, alat pemanas makanan, penanak nasi, pemanas air, mesin cuci, alat setrika, dan sejumlah barang elektronik kebutuhan rumah tangga lainnya.
Perempuan dua anak tersebut memiliki tiga AC di kediamannya, dengan satu peringkat yang terus menyala pada siang hari untuk ruang keluarga. Tujuannya, agar bisa bercengkerama dengan nyaman di Jakarta yang terik. Sementara lainnya menyala hanya saat tidur saja.
Tentang AC, perangkat ini merupakan salah satu perangkat rumah tangga penyumbang konsumsi listrik terbesar. Dan celakanya, Indonesia berada di garis merah Khatulistiwa sehingga kebutuhan akan pendingin udara kian niscaya, terutama di kota-kota yang sudah semakin kehilangan pohon-pohonnya.
Laporan dari Asosiasi Tembaga Internasional Asia Tenggara (ICASEA) beberapa tahun lalu menegaskan hal ini. Dicatat, Indonesia adalah negara dengan konsumsi listrik tertinggi di ASEAN untuk penggunaan pendingin udara. Porsi penggunaannya mencapai 70% per tahun, jauh di atas rata-rata negara ASEAN yang hanya 30%.
Pertanyaannya, apakah Lanny boros dalam hal konsumsi listrik? Tidak juga.
Perempuan 30 tahun tersebut justru sangat sadar soal efisiensi energi. Praktik baik diterapkan dalam rumah, mulai dari mematikan lampu saat pagi dan saat tidur, mematikan alat elektronik saat malam hari, hingga pemilihan alat-alat elektronik yang ketat mengedepankan efisiensi listrik.
Bahkan, sebelum membangun rumahnya di bilangan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Lanny dan suami sudah memikirkan rencana untuk menjalani rumah tangga dengan konsep ‘hijau’.
“Saat mulai membangun rumah, kami mendesain rumahnya itu banyak jendela. Jadi dari pagi sampai magrib itu lampu semua mati karena ada banyak cahaya masuk dari jendela,” ungkap Lanny bercerita kepada Validnews.
Praktik hemat energi juga dijalani Innes Yulia (32 tahun), seorang ibu rumah tangga di Bekasi, bercerita kalau membayar listrik sebesar Rp700-800 ribu setiap bulannya, masih lebih kecil dibandingkan Lanny. Innes tinggal bersama suami dan dua anak, serta dua orangtuanya.
Innes juga menggunakan tiga unit AC untuk tiga kamar tidur, di samping barang elektronik seperti kipas angin, penanak nasi hingga televisi.
Menurut Innes sendiri telah berhemat untuk konsumsi listrik. Keluarganya tak menggunakan penerangan pada siang hari, jarang menyalakan televisi, serta menyalakan AC hanya ketika akan tidur saja.
“Sekiranya nggak dipake, ya dimatikan, tidak buang energi sia-sia. Mungkin bisa berhemat sedikit. Misal kalau pergi pun, semua colokan saya lepas. Entah kipas, TV, charger. Semua ruang lampunya dimatikan jika tidak digunakan,” imbuhnya.
Surplus di Kota, Krisis di Desa
Jika Lanny yang membayar di atas Rp1 juta termasuk tidak boros, dan Innes mengaku berhemat dengan tagihan Rp700-800 ribu sebulan, bagaimana dengan yang membayar hanya Rp100-200 ribu sebulan? Tentu tak masuk akal jika masyarakat di pedesaan dianggap boros listrik jika hanya membayar di kisaran itu untuk tagihan listrik bulanannya.
Namun gambaran itu menjadi ironi, ketika melihat ke sudut lain wilayah Indonesia yang bukan Jakarta, atau mudahnya, yang bukan Jawa.
Anak-anak di Jakarta bisa belajar tanpa kendala dalam hal kesediaan sumber listrik baik untuk penerangan maupun penggunaan perangkat teknologi seperti komputer atau laptop. Di Nusa Tenggara Timur, anak-anak banyak yang tak bisa membaca buku malam hari karena tak ada penerangan, sedangkan siang hari mereka harus bersekolah dan sepulangnya pergi ke ladang membantu orang tua.
Empriani Magi, seorang pegiat literasi asal Wewewa Timur, Sumba Barat Daya. Perempuan yang kini tengah melanjutkan studi magister di Universitas Gadjah Mada, mengaku terkadang merasa iri jika membandingkan desanya dengan Yogyakarta.
Di desa Empri, yakni Desa Mareda Kalada, listrik masih menjadi sesuatu yang ‘mahal’ bagi sebagian masyarakat. Benar desanya sudah teraliri listrik, berarti masuk dalam data jaringan PLN. Namun, aliran itu masih terbatas pada sebagian wilayah desa saja, sedangkan sebagiannya lagi tak tersentuh listrik.
“Ada yang sebagian sudah berlistrik, sebagian nggak dapat, tiangnya nggak sampai, atau kalau pun tiangnya sudah dibangun, sudah dibabat pohon-pohon untuk bangun tiang, tapi sampai sekarang kabelnya nggak sampai-sampai,” tutur Empri kepada Validnews melalui sambungan telepon, Senin (18/3) lalu.
Desa Mareda Kalada hanya satu dari sekian desa di wilayah Nusa Tenggara Timur yang belum mendapat akses listrik secara cukup. Empri sendiri belum lama ini telah menetap di desa lain, tepatnya Desa Mandas, di Kecamatan Katala Hamu Lingu, Nusa Tenggara Timur. Perempuan itu menikah dan ikut menetap di desa suaminya.
Di Desa Mandas ini, cerita Empri, kondisinya lebih parah lagi. Desa ini sama sekali tak teraliri listrik dari PLN karena terbatasnya akses, sehingga masyarakatnya harus terbiasa dengan malam tanpa penerangan cukup.
Hanya beberapa rumah yang memiliki listrik, itupun berkat inisiatif pribadi atau kolektif, membangun sistem listrik mandiri berbasis energi surya. Namun, jumlahnya masih sedikit sehingga tak bisa berbagi aliran dengan banyak rumah lainnya.
Ini menjadi beban pikiran Empri. Di benaknya, ada pertanyaan, bagaimana perjuangan masyarakat di daerahnya untuk mengakses listrik yang sangat krusial bagi kehidupan, bisa membenahi perekonomian hingga pendidikan. Saat ini, masyarakat yang tak mendapat listrik mesti bersiasat dengan menggunakan alat-alat penerangan alternatif, seperti senter yang harus dicas dengan menumpang di rumah warga yang sudah teraliri listrik.

Belum lagi soal pendidikan, anak-anak sekolah tak bisa belajar pada malam hari karena minim penerangan. Sementara pada siang hari, mereka harus melakukan berbagai aktivitas seperti membantu orang tua ke ladang, mencari kayu hingga bekerja di sawah.
Dampaknya nyata, terlebih bagi Empri yang amat peduli dengan pendidikan. Menurutnya, faktor akses listrik pada akhirnya akan memengaruhi kemampuan anak-anak muda dari desanya untuk bersaing secara kompetensi dengan anak-anak dari daerah lain.
“Yang nggak dapat listrik nggak akan belajar kalau malam. Seglamor-glamornya bilang pembangunan buktinya listrik saja belum masuk,” ucapnya ketus.
Apa yang menjadi pemikiran Empri juga menjadi perhatian bagi Syahidah Azzahra atau Rara, seorang putri asli daerah Kepulauan Seribu. Bahkan untuk wilayah yang masih masuk administrasi Provinsi DKI Jakarta, akses listrik juga pernah sangat terbatas dalam waktu cukup lama.
Di tempat asal Rara, Pulau Pramuka, listrik mulai mengalir 24 jam baru sejak 2010 silam. Sebelum itu, ketika Rara sendiri masih bersekolah, dia ingat listrik masih menyala bergilir, dan itu pun terbatas hanya pada malam hari. Ujungnya, genset menjadi andalan warga.
Rara saat ini telah memasuki dunia kerja dan menetap di Jakarta. Namun dia menyadari, bagi anak-anak dari daerah yang tumbuh dengan keterbatasan sumber listrik, ada rasa tak percaya diri kala bersaing di dunia kerja, terlebih jika ‘merantau’ ke Jakarta.
“Mungkin dampaknya juga ke sumber daya manusianya jadi kurang melek teknologi dulu. Belajar susah, kayak komputer jadi hal yang langka,” ungkap Rara.
Rara sendiri termasuk yang cukup. Orang tuanya mampu menyekolahkannya ke luar pulau saat SMA, sehingga relatif tak terjebak dalam cara pandang ‘kalah saing’ tersebut. Namun menurutnya, banyak teman-teman sedaerahnya yang dibebani pemikiran seperti itu.
“Padahal untuk bersaing dengan anak kota harusnya kita bisa, tapi karena keterlambatan itu, aku Itu ngeliatnya banyak anak ‘anak pulau’ ngerasa minder karena bukan ‘anak kota’,” tuturnya lagi.
Terlepas itu, Rara mengaku amat senang sebab daerah asalnya kini telah jauh berkembang. Berkat listrik, akselerasi penggunaan gawai dan media sosial pun meningkat, semakin luas promosi untuk pulau tersebut sebagai tempat wisata bagi orang-orang dari luar, baik Jakarta maupun daerah lainnya.
Tenaga Surya sebagai Jalan Mandiri
Sampai di sini persoalan boros dan hemat menjadi ambang, antara relevan dan tidak relevan.
Di satu sisi, masih adanya praktik boros listrik di perkotaan adalah tamparan bagi daerah-daerah yang untuk terang pada malam hari saja masih jadi mimpi.
Namun soal itu tak lagi relevan. Di sisi lain karena sejatinya ini persoalan pemerataan, terkait dengan tanggung jawab negara. Terlebih, jika mendengar cita-cita mulia PLN yang menargetkan elektrifikasi 100% pada 2025, satu tahun lagi!
Sekali lagi, yang dimaksud elektrifikasi adalah sekadar desa sudah teraliri listrik tanpa memedulikan kualitas atau seberapa optimal distribusinya, maka kondisinya juga akan masih belum menggembirakan. Ambil contoh misalnya desa Mareda Kalada di NTT yang secara data sudah teraliri listrik, namun nyatanya itu tak sampai ke semua rumah.
Akhirnya, ketika PLN mencapai elektrifikasi 100%, tetap akan masih ada anak-anak kesulitan belajar karena tak ada penerangan. Akan ada anak-anak muda yang merasa sudah kalah sebelum mulai bersaing di industri atau dunia kerja.
Pengamat energi Komaidi dalam hal ini mencoba mengajukan jalan keluar, lewat upaya mandiri masyarakat, seperti yang terjadi di Desa Mandas, NTT. Listrik berbasis energi surya (PLTS) menurutnya bisa jadi salah satu alternatif yang tepat untuk dikembangkan di daerah-daerah yang belum tersentuh jaringan listrik oleh PLN.
“Apakah dalam skala mikro ini (PLTS) membantu? Membantu sangat dalam skala mikro, katakanlah kebutuhan lampu, memasak atau menyalakan TV. Justru yang terjadi harusnya memang dengan menggali potensi lokal, kearifan lokal untuk daerah yang belum terjangkau saat ini,” ucap Komaidi yang juga pengajar Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti.
Komaidi mengedepankan upaya swadaya atau mandiri masyarakat sebagai solusi, terutama dalam konteks pemanfaatan listrik tenaga matahari yang sangat potensial di Indonesia. Dia tak mengabaikan bahwa PLN sendiri memiliki program pengembangan PLTS, baik PLTS induk maupun PLTS mandiri dalam rupa PLTS Atap di rumah-rumah konsumen.
Terkait program PLTS negara, menurut Komaidi saat ini masih menyisakan banyak catatan, sehingga tak jelas kapan itu akan bisa menjadi solusi pemerataan listrik ataupun solusi dalam konteks transformasi energi.
Di samping masalah penyediaan yang membutuhkan sumber daya besar, pengembangan sistem PLTS di Indonesia saat ini masih terbentur berbagai isu problematik. Misalnya, adanya tendensi konflik bisnis bagi PLN sendiri jika PLTS benar-benar bisa terealisasi masif. Musababnya, sekitar 70% produksi listrik PLN saat ini masih berbasis pada PLTU, artinya batu bara.
Selain itu pengembangan PLTS di Indonesia juga problematik jika dilihat dari aspek ekonomi nasional.
Pasalnya, hingga saat ini, Indonesia relatif masih mengimpor beragam perangkat termasuk panelnya. Indonesia lebih terkesan jadi konsumen bagi negara-negara produsen alat-alat pembangkit listrik tenaga surya, sehingga dianggap kontra produktif dengan visi pemajuan ekonomi dalam negeri.
Powered by Froala Editor