c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

KULTURA

18 November 2023

17:08 WIB

Menilik Strategi Capres-Cawapres Dekati Pemilih Muda

Mampukah imej muda yang dibangun oleh para capres-cawapres, efektif dalam mendulang suara dalam pemilu mendatang? Atau justru sebaliknya, membuat banyak pemilih muda tidak menaruh simpati?

Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Arief Tirtana

Editor: Satrio Wicaksono

Menilik Strategi Capres-Cawapres Dekati Pemilih Muda
Menilik Strategi Capres-Cawapres Dekati Pemilih Muda
Siswa memperhatikan contoh surat suara saat sosialisasi Pemilu 2024 untuk pemilih pemula di MAN 2 Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/9/2023). Antara Foto/Arif Firmansyah

JAKARTA - "Dua calon itu, sudah saya coret," kata Prabowo dengan suara tegas yang dilanjutkan jogetan kedua tangan dan diakhiri mimik wajah lucu.

Pernyataan Prabowo Subianto itu dilontarkan menjawab pertanyaan Najwa Shihab tentang adanya dua mantan koruptor yang menjadi calon legislatif (caleg) dari Partai Gerindra.

Gerakan lucu seorang mantan Danjen Kopassus di acara Mata Najwa yang digelar di Graha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, beberapa waktu lalu itu sontak membuat banyak orang 'salah fokus'. Karena di luar itu, cara menjawab pria 72 tahun tersebut dinilai cukup menggemaskan.

Harus diakui, cara itu ternyata sukses menarik perhatian banyak pihak. Terbukti saat video wawancaranya dengan Najwa diunggah di media sosial, nama Prabowo langsung menjadi trending topic. Diperbincangkan banyak pihak, termasuk anak muda yang melabelinya sebagai capres "gemoy".

Sadar akan hal itu, label "capres gemoy" dijadikan sebagai salah satu peluru di kontestasi Pemilu 2024. Benar saja, secara konsisten di berbagai kesempatan setelah itu, Prabowo selalu muncul dengan gimmick jogetan kecil. Termasuk di malam pengundian nomor urut Pilpres 2024 yang berlangsung di gedung KPU, Selasa (14/11).

Bangun Image Santai
 Apa yang dilakukan Prabowo dengan aksi-aksinya itu, tentu bisa dibaca sebagai upaya untuk menarik perhatian para pemilih muda. Data KPU menyebutkan Pemilu 2024 didominasi pemilih muda, jumlahnya mencapai 52% dari total pemegang hak pilih atau sekitar 113 juta pemilih.

Apalagi jika dibandingkan dengan kandidat capres lainnya, usia Prabowo memang paling 'senior'. Karenanya, sangat masuk akal jika kemudian ia melakukan usaha lebih untuk bisa menampilkan citra (image) untuk bisa dekat dengan pemilih muda. 

Sangat berbeda dengan citra di pemilu sebelum-sebelumnya yang tampil sebagai pria tegas, khas militer yang menjadi background profesinya.

Pengamat sekaligus Konsultan Politik dari Aljabar Strategic Arifki Chaniago kepada Validnews, Selasa (14/11) mengatakan, apa yang dilakukan Prabowo bisa menjadi strategi jitu untuk menggaet suara anak-anak muda. Karena menurutnya, kalangan muda akan lebih senang dengan hal-hal santai, berbau hiburan, lucu dan menyenangkan, dibandingkan hal-hal yang lebih serius dan terkesan rumit.

"Ini menunjukkan, ketika politisi itu berumur, bukan berarti dia lantas akan berjauhan dengan anak muda. Semuanya tergantung seberapa baik dia bisa berkomunikasi dengan apa yang dia inginkan dengan anak muda," jelas Arifki.

Salah satu pemilih muda berusia 23 tahun, Fathiyah, mengakui apa yang dilakukan Prabowo cukup menarik perhatiannya. Apalagi, Prabowo memilih Gibran Rakabuming Raka yang masih muda sebagai calon wakilnya.

Tak butuh usaha berlebihan, hanya dengan joget dan tampil lebih santai, Mantan Danjen Kopasus tersebut berhasil mengubah citra garang yang selama ini melekat dalam dirinya. Tak ada lagi kesan menakutkan.

"Padahal dulu Prabowo dikenalnya kan tegas banget ya, atau cenderung kalau bicara berapi-api banget. Bagus, sih, branding ini, bikin image pak Prabowo jadi lebih kelihatan beda dari Prabowo lima tahun yang lalu," ungkapnya.

Meski cukup mencuri perhatian, tapi Fathiyah tak begitu saja ’jatuh hati’ kepada sosok yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan itu. Tak hanya Prabowo, kepada pasangan capres-cawapres lainnya, ia juga belum terlalu yakin.

Dia merasa, masih ada hal-hal yang harus dilakukan oleh para kontestan, selain sekedar membangun image. "Aku masih mempertimbangkan beberapa hal, dan masih melihat perkembangan yang terus terjadi di antara capres dan cawapres tersebut," jelas lulusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya itu.

"Boleh, sih, humoris, tapi harus tahu batas. Jangan sampai untuk branding image 'lucu' malah menjatuhkan wibawa mereka. Pokoknya yang penting jangan jadi capres yang anti kritik aja sih," ungkapnya.

Branding vs Visi Misi
Jika dicermati, bukan hanya Fathiyah. Sejauh ini, banyak anak muda yang belum menentukan pilihannya. Dari berbagai survei yang dilakukan, mereka yang termasuk dalam swing voter ini jumlahnya masih sangat tinggi.

Pemuda asal Depok, Tiyo Bayu misalnya. Dia juga mengaku belum tertarik dengan satu pasangan pun. Menurutnya, upaya-upaya ketiga capres-cawapres untuk mendekatkan diri ke anak muda, masih sangat terlihat dibuat-buat. Hal itulah yang kemudian dirasanya justru bisa berujung pada antipati.

Sebaliknya, dia malah ingin para kontestan bisa menunjukkan image yang lebih realistis dan apa adanya. Setidaknya, mampu menunjukkan gaya komunikasi yang mudah dimengerti, dan bisa menjabarkan tantangan serta solusi yang harus dilakukan.

Karena baginya, dibanding image, visi misi, latar belakang, partai koalisi pendukung dan track record menjadi pertimbangan yang lebih penting untuk dalam menentukan pilihan capres.

"Ketiga capres belum cukup menarik, karena saya rasa image yang ditampilkan belum tepat sasaran," kata pria 27 tahun itu.

Namun, Arifki sendiri meyakini, pemilih muda kebanyakan akan cenderungan menentukan capres berdasarkan image, alih-alih visi-misi atau program yang ditawarkan. Hal itu didasarkan pada kenyataan, minat baca kalangan muda secara umum masih sangat rendah. Mereka cenderung tidak tertarik dengan sesuatu yang rumit.

"Ketika misalnya ada program-program yang ditawarkan kepada para generasi muda, itu tentu juga akan akan menyulitkan bagi anak muda. Karena secara pengetahuan tidak terlalu menarik bagi mereka, program-program yang kesannya rumit," yakin Arifki.

Menurutnya, dengan pencitraan yang tepat dapat membuka peluang untuk bisa mendulang suara yang lebih banyak. Setidaknya, branding nama dan wajah para calon itu sudah bisa melekat.

Barulah setelah merasa mengenal, visi dan misi mulai dijabarkan. Tentu dengan bahasa kekinian yang mudah diterima anak-anak milenial dan Gen-Z.

"Dalam konteks ini, kuncinya bagaimana pasangan calon capres dan cawapres ini mampu menerjemahkan program yang memang rumit itu, dalam konteks yang lebih simpel," serunya.

Pilihan Segmentasi Anak Muda
 Sedikit berbeda dengan Arifki, Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, saat ini, perilaku pemilih muda yang memiliki kecenderungan lebih mengutamakan image capres dalam memilih, tak bisa dipukul rata.

Meski secara umum dirinya setuju, image dan visi-misi memang akan menjadi dua hal utama yang diperhatikan para pemilih muda, namun kecenderungannya akan berbeda antara pemilih yang berada di kota-kota besar dengan di desa.

Bagi pemilih muda yang berada di desa, kecenderungan untuk memilih capres berdasarkan image memang akan lebih besar. Mereka cenderung mengasosiasikan image capres dengan kapabilitas dan kecakapannya memerintah kelak.

Hal ini terjadi karena pemilih muda di desa merasa perlu melihat adanya sisi pengayom dan pelindung pada seorang pemimpin, sebagaimana yang mereka lihat di figur bapak maupun tokoh masyarakat yang ada di desa mereka.

Sebaliknya, bagi pemilih muda yang tinggal di kota, diyakini Wasisto, mereka akan lebih mengedepankan pertimbangan visi dan misi. Hal itu didasari karena pemilih muda di perkotaan umumnya lebih kritis dalam menilai kebijakan.

Dalam pengamatannya, Arifki melihat, sebenarnya ketiga kandidat sudah punya target segmen pemilih muda yang cukup berbeda satu sama lain. Ganjar misalnya, terlihat bahwa ia berusaha mendekati segmen anak-anak muda yang gaul. Karena itu dalam beberapa kesempatan ia menyempatkan diri datang ke konser musik, hingga pameran sneakers.

Sementara Anis, relatif mengarah kepada anak-anak muda dari kalangan santri, atau kelompok pemuda muslim. Itu tak bisa dilepaskan juga dari keberadaan pasangannya, cawapres Muhaimin Iskandar yang berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki irisan basis massa dari kalangan yang sama.

Nah, untuk Prabowo, dia melihat ada hal menarik yang bisa dicermati. Di antaranya, sejauh apa, dia mampu menarik pemilih muda dengan mengandalkan cawapresnya, Gibran, yang memang secara usia paling muda. Apakah juga sebatas menarik perhatian dengan image gemoy atau akan ada trik yang lebih jauh lagi.

Sementara dari pandangan Wasisto, perihal umur tampaknya tak akan banyak berpengaruh. Ia berkaca pada hasil dua pemilu sebelumnya, di mana usia belum menjadi hal relevan untuk mendulang suara. Bahkan elektabilitas kandidat senior, tetap masih lebih tinggi daripada kandidat muda.

Apalagi, dengan kondisi pemilih muda yang terbagi dalam berbagai segmen ini. Dia menilai, alih-alih menghadirkan image yang dibuat-buat, sebaiknya lebih jujur menampilkan kepribadian apa adanya.

Jadi, alangkah lebih baik jika para kontestan fokus menghadirkan berbagai solusi nyata yang bisa mereka lakukan untuk mengurai berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia.

"Saya pikir tentu baiknya capres itu menjadi diri mereka sendiri, serta menawarkan solusi riil untuk permasalahan umum yang dihadapi anak muda," kata peneliti yang menjalani program S2 Master of Political Science di The Australian National University (ANU) itu.

Wasisto pun masih percaya, dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, para pemilih muda akan realistis untuk memilih. Setidaknya, anak muda akan tertarik untuk memilih pemimpin yang memiliki image sebagai sosok yang bernyali dalam menghadapi situasi yang tak menentu, berani mengambil risiko dan mampu menyelesaikan masalah.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar