04 Februari 2025
17:20 WIB
Mengenal 4 Perspektif Kepribadian Yang Perlu Diketahui
Dalam psikologi, kepribadian dipelajari dari berbagai sudut pandang untuk memahami faktor-faktor yang membentuk diri seseorang.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rendi Widodo
Ilustrasi pencarian karakter diri. Unsplash
JAKARTA - Mungkin ada banyak pertanyaan di benak Anda tentang kepribadian seseorang termasuk diri sendiri. Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda? Mengapa ada yang senang menjadi pusat perhatian dan ada yang lebih nyaman berada di balik layar?
Dalam psikologi, kepribadian dipelajari dari berbagai sudut pandang untuk memahami faktor-faktor yang membentuk diri seseorang. Untuk mengetahui lebih jelas, berikut ini ada 4 perspektif utama dalam kepribadian seseorang seperti yang dilansir dari laman Verywell Mind.
Perspektif Psikoanalitik
Salah satu teori paling berpengaruh dalam psikologi kepribadian adalah perspektif psikoanalitik yang dikembangkan oleh Sigmund Freud. Perspektif ini menekankan bahwa pengalaman masa kanak-kanak dan alam bawah sadar memainkan peran besar dalam membentuk kepribadian seseorang.
Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga struktur utama yaitu id, ego, dan superego. Dalam teorinya, Id adalah bagian impulsif dan instingtif yang beroperasi berdasarkan kesenangan.
Lalu, Ego bertindak sebagai penyeimbang antara id dan kenyataan. Dan terakhir, Superego merupakan representasi norma sosial dan moral yang dipelajari sejak kecil.
Banyak aspek kepribadian tersembunyi di alam bawah sadar dan dapat terungkap melalui mimpi, asosiasi bebas (free association), serta kesalahan bicara (Freudian slip). Ia berpendapat bahwa konflik yang tidak terselesaikan di masa kanak-kanak dapat berpengaruh pada perilaku dan kepribadian seseorang di masa dewasa.
Meskipun teori klasik Freud kini banyak dipertanyakan dan pendekatan psikoanalitik tradisional mengalami penurunan popularitas, prinsip dasarnya tetap berpengaruh dalam psikologi modern. Pendekatan ini masih digunakan dalam terapi psikodinamis dan berkontribusi pada pemahaman tentang bagaimana pengalaman awal dan alam bawah sadar membentuk kepribadian seseorang.
Perspektif Humanistik
Berbeda dengan perspektif psikoanalitik yang menyoroti konflik bawah sadar dan pengalaman masa lalu, perspektif humanistik lebih menekankan pertumbuhan psikologis, kebebasan memilih, dan kesadaran diri. Pendekatan ini memiliki pandangan yang optimistis terhadap sifat dasar manusia dan menyoroti bagaimana setiap individu memiliki potensi untuk berkembang secara maksimal.
Dua tokoh utama dalam perspektif ini adalah Carl Rogers yang menekankan pentingnya aktualisasi diri dan lingkungan yang mendukung perkembangan positif. Ia juga mengembangkan terapi berpusat pada klien (client-centered therapy), di mana empati, kehangatan, dan penerimaan tanpa syarat menjadi kunci dalam membantu individu mencapai keseimbangan psikologis.
Lalu, Abraham Maslow yang memperkenalkan hierarki kebutuhan, di mana kebutuhan dasar seperti makanan dan keamanan harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum seseorang bisa mencapai aktualisasi diri yakni pencapaian potensi tertinggi seseorang.
Pendekatan humanistik masih sangat berpengaruh hingga saat ini, terutama dalam psikoterapi dan psikologi positif (positive psychology) yang bertujuan membantu individu menjalani hidup yang lebih bermakna dan seimbang. Terapi berbasis humanistik terbukti efektif dalam menangani berbagai kondisi mental seperti kecemasan, depresi, gangguan kepribadian, dan masalah interpersonal, dengan fokus pada pemberdayaan dan penguatan aspek positif dalam diri mereka.
Perspektif Sifat (Trait)
Pendekatan ini berfokus pada mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan mengukur sifat-sifat kepribadian yang membuat setiap individu unik. Para peneliti percaya bahwa dengan memahami sifat-sifat ini, mereka dapat lebih baik memahami perbedaan individu dalam kepribadian serta bagaimana sifat-sifat tersebut memengaruhi perilaku sehari-hari.
Salah satu tokoh utama dalam perspektif ini adalah Hans Eysenck yang mengusulkan bahwa kepribadian dapat dijelaskan melalui tiga dimensi utama yaitu Ekstroversi vs. Introversi yakni seberapa sosial atau pendiam seseorang. Lalu ada Stabilitas Emosional vs. Neurotisisme yang merupakan seberapa tenang atau mudah cemas seseorang dalam menghadapi situasi.
Dan terakhir, Psikotisisme merupakan kecenderungan terhadap perilaku agresif atau impulsif. Pendekatan sifat masih menjadi standar dalam memahami kepribadian hingga saat ini.
Namun, penelitian modern tidak hanya berfokus pada mengidentifikasi sifat-sifat tersebut, tetapi juga bagaimana sifat itu berkembang dan pemahaman tentang kepribadian dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mental.
Misalnya, meskipun seseorang memiliki sifat tertentu, hal itu tidak selalu menjadi prediktor akurat dari perilaku mereka dalam setiap situasi. Oleh karena itu, studi kepribadian saat ini lebih menyoroti bagaimana sifat-sifat tersebut berinteraksi dengan lingkungan dan pengalaman hidup dalam membentuk tindakan seseorang, bukan sekadar mengklasifikasikan kepribadian mereka.
Perspektif Sosial-Kognitif
Perspektif sosial-kognitif menekankan pentingnya pembelajaran melalui observasi, efikasi diri, pengaruh situasional, serta proses kognitif dalam membentuk kepribadian. Menurut teori ini, kepribadian seseorang terbentuk melalui proses meniru, mengamati perilaku orang lain, serta faktor-faktor kognitif seperti perhatian, sikap, motivasi, dan emosi.
Pendekatan ini tetap penting dalam memahami bagaimana individu belajar dalam konteks sosial. Teori ini juga banyak digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengembangkan program promosi kesehatan.
Dengan memahami bagaimana pembelajaran observasional dan self-efficacy memengaruhi perilaku, para peneliti dapat menciptakan program yang mendorong kebiasaan sehat dan pilihan hidup yang lebih baik.
Dengan memahami keempat kepribadian ini dapat lebih mengenali diri sendiri dan orang lain, serta bagaimana kepribadian berkembang sepanjang kehidupan.