c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

19 Maret 2024

18:21 WIB

Mengenal Kuliner Khas Takjil Dari Pelosok Nusantara

Mulai dari kudapan ringan hingga santapan berat, beberapa kuliner tradisional di Nusantara secara khusus hanya muncul sebagai takjil di bulan Ramadan.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Rendi Widodo

Mengenal Kuliner Khas Takjil Dari Pelosok Nusantara
Mengenal Kuliner Khas Takjil Dari Pelosok Nusantara
Ilustrasi makanan tradisional Bongko kopyor yang biasa dihidangkan untuk buka puasa. Shutterstock/sri widyowati

JAKARTA - Berburu kuliner takjil menjadi salah satu aktivitas yang paling dinanti selama momen Ramadan. Di kota-kota besar, takjil yang dijual pun umumnya tak jauh berbeda dengan kudapan yang umum ditemui pada hari-hari biasa. Tapi bisa jadi lain cerita jika kita menengok ke berbagai pelosok Nusantara.

Seperti halnya berbagai daerah yang memiliki makanan tradisionalnya, takjil pun demikian. Lebih istimewa lagi, makanan takjil di beberapa daerah bahkan hanya muncul di bulan Ramadan.

Berikut deretan makanan unik di berbagai daerah yang mudah ditemui selama Ramadan.

Bongko Kopyor
Berasal dari Gresik, bongko kopyor merupakan perpaduan dari dua jenis makanan berbeda, yakni bubur nangka dan kelapa kopyor.

Bubur nangka dalam bongko kopyor biasa menggunakan bubur mutiara yang dicampur dengan irisan roti tawar, potongan pisang, serutan daging kelapa, dan nangka. Guna menambah kesan segar, jenis kelapa yang digunakan adalah kelapa kopyor dengan tekstur yang lebur.

Dilihat dari tampilan, bubur pada bongko kopyor sekilas mirip dengan bubur sumsum, tapi sebenarnya bongko kopyor memiliki isian lebih bervariasi, dan lebih manis dari berbagai bahan yang dicampur.

Kita bisa menemui bongko kopyor dengan mudah saat sore hari menjelang berbuka di berbagai sudut kota Gresik. Kuliner ini dijual seharga Rp5.000 hingga Rp8.000 per porsi.

Asida
Bercita rasa manis, asida merupakan salah satu kue tradisional khas Maluku yang terbuat dari sagu dan gula merah yang dicampur dan diaduk hingga mengental. Biasanya, kue ini disajikan dalam bentuk bulat pipih dan dilengkapi dengan taburan kelapa parut di atasnya.

Sedikit mengulik asal-usulnya, pembuatan kue asida konon berawal saat masa kolonial Belanda, di mana pada saat itu orang Maluku yang bekerja sebagai buruh di perkebunan sering mendapat bahan makanan yang terbatas.

Mengatasi kondisi tersebut, orang Maluku kemudian menciptakan kue asida sebagai alternatif yang bisa bertahan lama dan mudah dibawa, hingga kemudian menjadi makanan yang populer di antara orang-orang Maluku.

Kicak
Kicak adalah kudapan yang versi aslinya hanya menggunakan bahan dasar ketan yang ditumbuk halus, kemudian dicampurkan dengan kelapa dan gula pasir. Makanan ini konon pertama kali diperkenalkan pada Ramadan tahun 1907, oleh salah satu warga asli Kampung Kauman dan langsung digemari warga pada saat itu.

Pada versi modern, kicak mulai dicampur dengan beberapa bahan tambahan seperti nangka dan pisang. Santapan takjil satu ini dapat dijumpai di pasar jajanan Ramadan yang berada di Kampung Kauman, salah satu kampung yang identik sebagai kampung Islam, yang terletak dekat Masjid Agung Yogyakarta.

Disebutkan bahwa kicak juga menjadi salah satu makanan yang hanya dapat ditemukan saat bulan Ramadan, dan versi aslinya hanya dibuat serta dijual di kampung Kauman.

Pakat
Beralih dari kudapan ringan, makanan yang menjadi primadona saat Ramadan kali ini adalah makanan berat yang berasal dari Sumatra Utara, tepatnya makanan khas suku Mandailing, yakni pakat.

Dikenal juga dengan nama umbul rotan, pakat adalah bagian pucuk rotan muda yang diolah dengan cara dibakar selama berjam-jam, dan dikonsumsi sebagai lalapan atau bahkan diolah sebagai asinan.

Karena tak umum diolah di rumah, biasanya pakat memang hanya dijual secara khusus di pinggir-pinggir jalan Kota Medan, dengan penjual yang memperlihatkan langsung proses pembakaran hingga rotan muda yang tadinya hijau menghitam.

Pakat yang dibakar dengan sempurna memiliki cita rasa agak pahit, dengan tekstur lembut ketika dikunyah. Biasanya, satu kantong pakat dijual dengan harga antara Rp5.000 hingga Rp10.000.

Bubur Lodeh
Bubur dan sayur lodeh menjadi dua jenis makanan berbeda sebelumnya tak terbayangkan untuk dijadikan satu. Tapi nyatanya, makanan satu ini menjadi hal yang lumrah dikonsumsi saat berbuka puasa di wilayah Bantul, Yogyakarta.

Bukan makanan biasa, bubur lodeh diyakini sudah dikonsumsi sejak ratusan tahun lalu secara turun temurun, oleh masyarakat yang bermukim di Pedukuhan Kauman, Wijirejo, Pandak, Bantul.

Lebih tepatnya, setiap hari selama bulan Ramadan, warga di kampung tersebut akan bergotong royong memasak sebanyak 300 porsi bubur lodeh untuk buka puasa bersama di Masjid Sabilurrosyad, yang sudah berdiri sejak tahun 1570.

Tradisi berbuka puasa dengan bubur lodeh ini juga dipercaya sudah dilakukan oleh Panembahan Bodho dan dikenal sebagai murid dari Sunan Kalijaga yang bernama asli Adipati Trenggono, sejak abad ke 16.

Bubur pada santapan ini dimasak dengan santan air kelapa, sehingga memiliki rasa lebih gurih dan teksturnya lembut. Selain itu taburan potongan tempe dan krecek juga ditambah sebagai lauk di samping sayur lodeh.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar