15 Februari 2025
17:39 WIB
Mengejar Cita Rasa Dengan Api Kayu Di Era LPG
Ketergantungan tinggi masyarakat pada LPG membuat mereka lupa untuk mencari alternatif di saat terjadi kelangkaan. Api kayu bakar apakah bisa dianggap solusi?
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
Sebuah tungku memasak dengan kayu bakar di Banyumas, Jawa Tengah. Wikimedia/Wibowo Djatmiko
JAKARTA - Kelangkaan LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 kg terjadi di berbagai daerah di Indonesia beberapa waktu lalu. Antrean ramai terjadi di agen-agen penyaluran, dan berjam-jam waktu pun habis demi bisa mendapatkan paling banyak dua tabung gas 3 kg.
Di momen kelangkaan itu, menariknya, ada pula yang menolak untuk menggantungkan kepul dapur pada gas LPG. Mereka ingat lagi pernah punya tradisi memasak dengan kayu atau arang, maka menerapkannya di rumah sebagai pengganti gas.
Di masa kelangkaan itu, ada banyak orang yang membagikan aktivitas memasak mereka di media sosial, dengan menggunakan kayu atau arang sebagai bahan bakar. Tungku kembali dipanaskan dan di sebagian wilayah oleh masyarakat yang kembali menggunakan anglo, sejenis tungku yang dibuat dari tanah liat. Masalah pun usai.
Praktik memasak dengan kayu bakar atau arang yang kembali dilakukan sebagian masyarakat, sekilas terlihat sekadar bentuk respons atas kebijakan unik dadakan pemerintah yang memicu kelangkaan LPG. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ternyata ada hal lain yang jadi pertimbangan pula, yaitu cita rasa.
Di Batang, Jawa Tengah, seorang ibu rumah tangga memasak dengan menggunakan kayu bakar karena dua alasan. Pertama, karena gas langka dan kedua karena cita rasa makanan yang dimasak.
“Karena kemarin ini gas langka, kami masaknya sehari-hari di tungku, pakai kayu lagi. Seperti dulu-dulu. Rasanya lebih sedap juga,” ungkap Siti Maryam (52 tahun) asal Batang, Jawa Tengah kepada Validnews, Kamis (13/2) lalu.
Siti Maryam salah satu ibu rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, namun tidak sebagai yang utama atau untuk harian. Dia sudah lama menggunakan kompor gas sebagai media utama, dan hanya sesekali memasak dengan kayu untuk keperluan-keperluan tertentu. Misalnya, jika harus memasak banyak untuk makan orang-orang yang bekerja di sawah milik keluarga.
Menurut Siti, memasak dengan kayu bakar untuk membuat porsi masakan yang besar, lebih efisien daripada menggunakan kompor gas. Selain itu, keluarga mereka masih rutin menghidupkan api di tungku untuk memasak air panas yang hendak disimpan di termos, sebagai bahan pembuatan teh, kopi atau semacamnya.
Alasan Siti adalah soal cita rasa masakan dan juga efisiensi penggunaan kayu bakar, khususnya untuk kebutuhan memasak dalam porsi besar. Kebetulan tinggal di wilayah desa, ada banyak lahan atau pekarangan yang menyediakan kayu untuk keperluan dapur.
Faktor tempat tinggal yang relatif rural, dengan banyak sumber kayu api tersedia, memungkinkan bagi Siti dan juga masyarakat di sekitarnya untuk memiliki media pembakaran yang bervariasi. Habis gas bisa pindah ke ayu dan tungku. Bosan dengan masakan yang biasa, mereka pun bisa beralih ke makanan yankg lebih ‘ngasap’, lebih smoky kalau istilah orang-orang kota.
Cita Rasa Autentik
Di kota besar seperti Jakarta, memasak dengan api dari kayu atau arang nyatanya masih dilakukan oleh segelintir orang. Meski sumber bahan bakar tak tersedia melimpah dan bisa didapatkan semudah di desa, orang-orang di kota juga masih ada yang mempertahankan sumber panas tradisional tersebut.
Tapi kasusnya lebih umum di kalangan para pedagang makanan, atau di restoran-restoran tertentu yang menawarkan menu makanan dengan karakter smoky.
Hasilnya pembakaran kayu hingga arang, adalah makanan-makanan dengan cita rasa smokey, istilah yang belakangan makin populer bagi peminat kuliner. Ada nasi goreng asap, mie asap, ayam asap, dan banyak lagi jenis lainnya. Sebagian makanan itu memang dimasak dengan api dari pembakaran kayu, meski pada beberapa restoran, menu-menu itu dimasak dengan teknik pembakaran tertentu dengan gas.
Smoky atau smokey sejatinya adalah kata dari bahasa Inggris. Bisa diartikan ‘sedap’ kalau dalam istilah orang-orang di desa. Keduanya istilah yang sama-sama berkaitan dengan autentisitas. Makanan-makanan tertentu yang dijajakan, terkadang dianggap autentik atau asli hanya jika dimasak dengan kayu atau arang. Misalnya, kuliner bakmi khas Solo.
Di bilangan Palmerah, Jakarta Barat, ada sebuah tempat yang menyajikan autentisitas itu. Sugeng (45 tahun), menjual sejumlah jenis makanan yang sepenuhnya dimasak dengan menggunakan bahan bakar arang. Menu andalannya adalah bakmi kuah dengan embel khas Solo.
Bakmi Jowo 138 Khas Solo milik Sugeng menyajikan cita rasa yang memang unik, hasil dari perpaduan aroma bumbu dan asap yang dihasilkan bara arang. Rasa gurih diperkuat dengan aroma asap, memberi pengalaman berbeda bagi lidah orang-orang yang sehari-hari terbiasa dengan makanan dari hasil pembakaran gas.
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi para pecinta kuliner Solo, kalau bakmi yang autentik itu hanya yang dimasak dengan bara. Jika ada pedagang yang memasak menggunakan kompor, menurut Sugeng, biasanya dianggap sudah tidak asli lagi.
“Kalau pakai gas tetap bisa. Cuma yang beli biasanya kurang, apalagi kalau orang Jawa kan, kalau dia orang Jawa ya pakai arang,” ucap Sugeng saat ditemui Validnews, Rabu (12/2).
Menurut Sugeng, di samping mengejar cita rasa, pilihan memasak dengan arang juga demi efisiensi dalam proses memasak. Panas dari bara dianggap lebih stabil, dan bisa dibiarkan terus hidup dalam waktu lama, baik ketika ada yang dimasak maupun tidak. Berbeda dengan kompor gas, misalnya, yang perlu dimatikan jika sedang tak digunakan, agar gas tidak terbuang percuma.
Selain itu, hasil dari pembakaran menggunakan arang menurut Sugeng juga memberi ketahanan suhu pada makanan. Bakmi buatan Sugeng, klaim yang bersangkutan, setidaknya akan tetap dalam keadaan panas hingga satu jam setelah dikemas dalam wadah plastik.
Kelebihan lainnya, bagi Sugeng dengan bakmi khas Solo-nya, yaitu lebih hemat secara hitung-hitungan modal. Bakmi Jowo 138 khas Solo menghabiskan sekitar satu karung arang seharga Rp50 ribu per minggunya, dengan durasi memasak 6-7 jam setiap harinya. Angka itu menurut Sugeng cukup hemat, ketika dibandingkan dengan penggunaan gas LPG 3 kg yang berkisar di harga Rp22 ribu hingga Rp24 ribu.
Belum lagi, penggunaan arang membuat usaha sugeng jadi lebih ‘aman’ karena tak bergantung pada distribusi gas LPG. Dia mengaku masih mendatangkan arang langsung dari kampung, demi bisa mendapatkan harga yang lebih murah.

Merawat Warisan Tradisional
Reno Andam Suri adalah salah satu pegiat kuliner yang dikenal luas di Indonesia. Sosok ini lekat dengan rendang, karena memang dikenal sebagai salah satu figur yang turut mempromosikan rendang dari Sumatra Barat, terutama lewat bukunya yang populer, Rendang Traveler (2012).
Reno yang mendirikan merek Rendang Uni Farah, semacam merek spesialis rendang dalam kemasan, punya perspektif lebih jauh soal praktik memasak yang merawat cara-cara tradisional, termasuk penggunaan kayu bakar. Menurut dia, mereknya berorientasi untuk menghadirkan autentisitas dengan cara menjalankan praktik semirip mungkin dengan bumbu dan praktik memasak rendang di tanah asalnya.
“Kami mau mendekatkan kepada bagaimana orang di sana gitu, kira-kira gitu ya. Jadi masaknya pakai kayu bakar, rendangnya masih pakai kacang, pakai tambahan kacang merah, terus karena versinya Payakumbuh, jadi tidak mau pakai rempah kering gitu. Jadi seperti yang diajarkan oleh orang tua saya yang memang asalnya dari Payakumbuh, itu yang kita teruskan,” papar Reno saat dihubungi Validnews, di kesemoatan terpisah.
Selain pada tataran nilai, penggunaan kayu bakar bagi Reno juga memberi proses memasak yang lebih mudah, efisien, dan juga murah dibandingkan dengan kompor gas. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Sugeng, penjual Bakmi khas Solo di atas.
Alasan lainnya tentu saja soal karakteristik makanan yang dihasilkan. Sifat pembakaran tungku kayu memungkinkan api untuk bisa diatur menyebar dan lebih merata, karena desain tungkunya yang relatif besar. Sementara jika pada kompor gas, api hanya berpusat di area lingkaran kecil sehingga tak bisa menghasilkan panas yang maksimal secara merata.
“Kayu itu dipakai sampai di tahap yang terakhir, jadi tidak menyala-nyala terus apinya. Di ujung, bisa tinggal bara saja. Jadi sesungguhnya dengan kayu itu, dia juga beradaptasi dengan masakan kita. Jadi kalau masakan kita sudah tinggal sedikit lagi, cukup dengan bara atau cukup dengan panas yang tidak se-menyala pertamanya. Jadi kayu itu bisa dibilang bisa mengikuti ritmenya (merendang),” tutur Reno.
Tentang pilihan kayu, Reno mengaku tak begitu saklek. Dia bisa menggunakan kayu apa saja sejauh memang bisa terbakar. Di Sumatra Barat sana, menurut Reno, kayu yang banyak dijadikan pilihan adalah kayu manis, karena sifat seratnya yang padat, sehingga bisa terbakar lebih lama.
Soal rasa yang dihasilkan, pembakaran kayu menurut Reno memberi aroma asap yang khas dikarenakan proses memasak yang memang di tengah-tengah asap yang menguar. Cita rasa itu menurutnya tidak terlalu bergantung pada jenis kayu yang dibakar, melainkan pada kondisi ruangan tempat memasak.
“Kalau kita masak rendang dalam ruangan gitu, bukan ruangan yang tertutup kayak gudang juga, tapi cukup lah ventilasinya, cukup bisa dibilang menjadi ruangan, maka asap itu akan berputar di sekitar itu, dan terasa ketika kita mencoba masakannya,” ujar dia.
Reno sendiri tak mempermasalahkan pilihan cara memasak masakan tradisional, apakah masih juga dengan cara-cara tradisional atau tidak. Namun bagi dia sendiri, menjaga cara-cara tradisional itu esensial, karena itu menjadi bagian dari nilai merek usahanya, Rendang Uni Farah yang bermarkas di Tangerang.
“Buat saya esensial, karena saya masaknya nggak seperti industri-industri gitu. Jadi saya masih bisa mendapatkan kayu yang cukup, saya masih bisa memberikan tagline bahwa saya masak masih pakai kayu bakar, gitu. Kalau orang-orang yang industri besar, tentu saja buat mereka lebih penting produksi banyak, gitu kan,” imbuhnya.
Rendang Uni Farah sendiri saat ini sudah dikenal luas, dengan jaringan distribusi hingga mancanegara. Informasi saja, merek yang tersedia di marketplace ini menawarkan beragam jenis rendang autentik, yang mengikuti ragam rendang di Sumatra Barat. Ada rendang daging, rendang ayam, rendang paru, rendang cubadak, rendang kacang hingga rendang jamur. Nyam!
Dilema Autentisitas
Bicara soal autentisitas makanan, tentu saja media pembakaran bukan satu-satunya ukuran. Bumbu, tata cara atau teknik memasak hingga penyajian, semuanya menjadi masuk dalam faktor yang diperhatikan untuk melihat autentisitas pada makanan. Setidaknya, itulah yang menjadi konsensus secara umum.
Namun, Dosen dari Universitas Brawijaya dan antropolog kuliner Ary Budiyanto menekankan kalau konsep autentisitas sangatlah cair. Menurutnya, secara akademik dan sejalan dengan definisi UNESCO, autentisitas itu dilihat terutama pada aspek pewarisannya. Suatu makanan dikatakan autentik jika sudah ada dan terus dibuat selama 50 tahun, atau temurun dari generasi ke generasi.
Maka autentitas dalam hal ini tak menyoal media pembakaran, alat ataupun penyajian suatu makanan, namun lebih kepada keberlanjutannya. Jika satu makanan sudah dibuat secara turun-menurun, makanan itu ‘berhak’ disebut autentik terlepas dari berbagai perubahan dan eksplorasi penyajiannya dari waktu ke waktu.
“Yang autentik yang mana? Kampung sebelah sana bilang makanan mereka autentik, kampung sebelah sini bilang autentik. Repot kan. Makanya yang lebih dilihat adalah itu tadi, bahwa makanan atau resep itu sudah terwariskan,” ungkap Ary, diwawancara via telepon, Sabtu (15/2).
Lebih jauh, Ary menyebut sejatinya tak ada makanan yang benar-benar yang autentik, karena sejak dahulu kala masyarakat di berbagai belahan dunia sudah saling berinteraksi dan saling memberi pengaruh. Rendang, misalnya, yang dianggap rendang pesisir di Sumatra Barat hari ini, adalah hasil persilangan budaya masyarakat setempat dengan para pelayar dari India hingga Arab di masa silam.
Terkait praktik memasak secara tradisional yang masih hidup di berbagai daerah, Ary menilai itu tak bersoal dengan autentisitas, melainkan pada kondisi ketersediaan sumber bahan bakar yang memang bervariasi.
Di beberapa daerah, masyarakatnya ada yang memasak dengan memanfaatkan gas dari olahan kotoran sapi atau kerbau. Di daerah lainnya, banyak yang mengandalkan tempurung dan pelepah kelapa. Sementara lainnya lagi menggunakan kayu-kayuan yang diambil dari pekarangan rumah atau ladang.
Namun Ary mengamini kalau memasak dengan pembakaran kayu menghasilkan cita rasa yang berbeda dengan memasak menggunakan kompor gas. Menurutnya, aroma asap pada makanan yang dihasilkan dari pembakaran kayu, kini pun juga sudah menjadi tren di perkotaan, yang kemudian sering kali diterjemahkan sebagai cita rasa yang autentik.
“Makanya autentik itu yang mana sih? Makanya generasi tahun 80-an autentik di kota itu ya yang dimasak pakai minyak tanah. Beda dengan misalnya jika kita makan Mie Jawa, itu yang autentik pakai arang,” ucap Ary.
“Nah, yang paling autentik sebenarnya yang mana? Ya yang paling autentik adalah yang paling lama, semakin ke belakang. Dalam hal ini ya kayu sama arang,” imbuhnya.
Kayu sebagai Alternatif atau Solusi?
Situasi kelangkaan gas LPG baru-baru ini memberi gambaran betapa praktik memasak orang-orang Indonesia hari ini sudah begitu bergantung pada LPG, terutama LPG 3 kg yang disubsidi negara. Data Kementerian ESDM, pada 2024, volume penyaluran gas LPG 3 kg mencapai 8,1 juta ton. Ketergantungan ini terutama di masyarakat kelas menengah bawah, meski ada pula orang-orang kaya yang ikut menikmati gas kemasan subsidi tersebut.
Masalahnya, tak ada jaminan kalau distribusi gas LPG akan lancar sampai seterusnya. Indonesia masih mengimpor LPG hingga saat ini, yang berarti ketersediaan di dalam negeri memang tak mencukupi. Sementara di sisi lain, permintaan atas gas LPG terus meningkat tahun ke tahun, sebagaimana data Kementerian ESDM memprediksi penyaluran LPG 3 kg tahun ini akan mencapai 8,3 juta ton.
Maka pertanyaannya, adakah alternatif untuk sumber api itu, demi memastikan dapur masyarakat tetap mengepul?
Di desa, orang-orang masih bisa menggunakan kayu bakar. Tapi di perkotaan, pilihan barangkali berkisar pada energi listrik (kompor listrik) atau jaringan gas. Dua-duanya adalah alternatif, namun belum berkembang masif karena berbagai persoalan.
Dihadapkan pada persoalan kelangkaan gas LPG, Ary menilai kayu pun bukan solusi, khususnya masyarakat di perkotaan. Desain permukiman di perkotaan menurutnya tak memungkinkan bagi masyarakat untuk memiliki dapur dengan fasilitas yang pas untuk aktivitas memasak dengan kayu atau api.
Maka, itu pun hanya menjadi alternatif, pilihan pada sebagian kalangan, seperti Reno Andam Suri yang mengelola Rendang Uni Farah, atau juga pelaku usaha lainnya. Sementara bagi masyarakat umum, pembakaran arang bisa menjadi alternatif, tapi tetap bukan solusi pengganti bahan bakar gas yang sudah kadung menjadi media utama di era ini.
Ary menyebutkan kalau kita punya tanah, masak dengan kayu mungkin jadi masuk akal. Sedang kalau di Jakarta itu umumnya mencari kayu bekas bangunan. Dan kayu itu harus benar-benar diniatkan mencarinya atau biasanya sudah langganan.
“Nah sekarang kalau mau bikin dapur yang seperti itu kan ruangannya juga nggak bisa. Nanti asapnya kemana-mana, nanti konflik sama tetangga segala. Satu-satu pilihan, kalau mau pindah, ya ke kompor listrik,” pungkasnya.